Membuka pintu unit, Leah masuk sambil memijit kepalanya sebentar. Sepanjang rapat bersama orang tua para murid, kepala Leah tidak berhenti berdenyut. Badannya juga tidak berhenti menggigil. Padahal dia sudah suruh Pak Wahyu untuk menurunkan volume pendingin ruangan tapi pria tua itu tidak mendengarnya.
Ben baru saja keluar dari kamarnya tepat saat itu dengan sebuah gelas di tangannya. Sepertinya dia ingin mengambil air minum lagi. Pandangan pria itu tidak berhenti menatap Leah. Sebelum Leah bisa melangkah sempoyongan, Ben mendekatinya dan berhenti di depannya.
“Ada apa?” tanya Leah dengan dahi berkerut.
Ben menggenggam tangan Leah dan berkata, “Ayo ke kamarmu.”
Wajah Leah seketika menjadi waspada. Ucapan ambigu Ben mengingatkannya pada apa yang ada di pikiran Esther tadi pagi. “Aku tidak ingin melakukannya denganmu! Benda itu milik Esther, bukan punyaku!”
Sudut bibir Ben yang tersenyum berkedut. “Leah, aku tidak akan melakukannya sekarang. Kamu sedang sakit. Ayo aku antar ke kamarmu.”
Leah mengerjap seperti orang bodoh. “… Oh.”
“Ayo,” ujar Ben lembut dan mengajak Leah ke kamar wanita itu.
Di belakang, Leah hanya bisa bekerja sama dan menatap punggung belakang Ben.
***
Melihat angka 37,8 derajat celsius di termometer, Ben melirik Leah yang meminum obatnya. Ketika selesai, dia kemudian mengambil gelas tersebut dan meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur.
“Apa kamu merasa pusing?”
“Sedikit,” Leah menjawab dengan tubuh menggigil dan Ben segera menyelimutinya.
“Ingin ke rumah sakit?”
Leah menggeleng seraya mendorong Benjamin yang duduk di pinggir ranjangnya untuk pergi dengan tangannya yang lemah. “Hanya demam ringan. Setelah minum obat saya akan sembuh. Maaf merepotkan Anda. Anda bisa kembali ke kamar Anda.”
Dan Ben tidak bergerak sama sekali. “Aku akan tetap di sini sampai kamu tidur.”
“Bagaimana jika Anda melakukan tindakan asusila terhadap saya saat saya sedang tidur?” Walaupun suara Leah terdengar pelan dan lemah, namun wanita ini masih waspada terhadapnya membuat dia tersenyum simpul.
“Kalau begitu kamu tidak perlu tidur.”
Dengan balasan Ben yang menyebalkan, Leah bahkan tidak memiliki tenaga untuk memutar matanya sekarang.
Ponsel Leah berdering saat itu. Dan Ben dengan sigap mengambil tas Leah di bawah kaki wanita itu. Ketika dia membuka tas tersebut, dia terdiam dengan tatapan masih pada isi tas.
“Ponsel saya, Pak.” Leah mengingatkan Ben dengan dahi berkerut tipis mengingat ponselnya tidak berhenti berdering.
Ben menyerahkan ponsel Leah dan meletakkan tas Leah di pangkuannya.
“Halo, Pak Rahmat? .... Ah ya, nanti akan saya kerjakan .... Iya .... Baik.” Meletakkan ponselnya, Leah melihat Ben yang menunjukkan bungkus foil pengaman dengan wajah sedikit terhibur. Leah memejamkan matanya dan mengerang sakit. “Saya bersumpah, saat ini saya tidak punya tenaga untuk adu mulut dengan Anda, Pak Benjamin.”
“Aku tidak mengajakmu adu mulut. Aku hanya penasaran, kenapa kamu membawa hal seperti ini ke sekolah? Apa anak-anak umur 5-6 tahun sudah belajar tentang ini? Atau kamu ingin mempelajari ini denganku?”
“Sudah saya bilang itu bukan punya saya. Itu punya teman saya.” Leah menatapnya. “Jika Anda ingin berdebat, Anda boleh keluar dan biarkan saya mengumpulkan energi dulu.”
Dan untungnya kali ini Ben bekerja sama dengannya. Pria itu mengedikkan bahunya tidak peduli dan meletakkannya kembali ke tempat asalnya. Dia menatap Leah dan mengusap dahi Leah yang berkeringat.
“Sekarang tidurlah. Aku janji, aku tidak akan melecehkanmu.”
Suara yang tenang itu bagaikan sihir membuat Leah merasakan betapa beratnya kelopak matanya. Dia mulai memejamkan mata dan beberapa saat berikutnya dia segera terlelap.
Hampir 2 jam lamanya, Leah akhirnya membuka matanya. Dia mengedarkan pandangannya ke nakas untuk mengambil gelas bertepatan dengan pintu kamarnya yang terbuka.
“Kamu sudah bangun? Kebetulan buburmu sudah datang,” Ben berkata sambil membawa kantong makanan pesanannya.
Dia kembali duduk di pinggir ranjang dan membantu Leah duduk bersandar. Dia memberikan Leah mangkuk dan sendok lalu mendengar ucapan terima kasih lemah dari wanita itu.
“Bagaimana? Masih pusing?”
Leah mengangguk.
“Habiskan buburmu lalu kembali istirahat.”
Leah mulai makan dengan lambat dan Ben tanpa bosan memperhatikannya yang mana sedikit mengganggunya.
“Anda pasti sibuk. Anda bisa keluar dari kamar saya, Pak.”
“Tenang saja. Aku tidak sibuk hari ini.”
“Siapa pun tahu jika saya sedang mengusir Anda secara halus, Pak Benjamin.”
“Tapi aku bukan siap apun.”
Melihat dahi Leah yang kembali berkerut kesal seperti dulu membuat Benjamin merasa agak tenang. Wanita ini sudah mendingan.
“Anda tidak akan meminta ciuman terima kasih dari saya, kan?” Raut wajah curiga yang tidak asing lagi juga semakin membuat Benjamin menjadi tenang.
“Kamu bisa membalasku ketika aku sakit.”
Leah mengangguk lemah. “Itu perdagangan yang sangat baik.”
Kembali menyuapi dirinya, Leah yang penasaran dengan alasan Benjamin menyewa kamarnya pun bertanya, “Kenapa Anda mencari teman serumah, Pak? Apa Anda tidak mampu membayar uang sewa unit ini? Padahal harga sewanya lumayan memuaskan dari yang saya kira.”
“Kamar ini terbiasa ditempati. Sebelumnya itu teman kuliahku. Tapi dia sudah menikah makanya kamar ini kosong untuk beberapa minggu. Lalu kamu orang kedua yang menempati kamar ini.”
“Kalau saya hitung, sewa unit ini tidak sampai dua juta perbulan, ya? Di masa depan, saya ingin punya rumah sendiri. Mungkin dari sekarang saya harus mulai menabung. Membeli unit yang lebih kecil dari ini juga tidak apa-apa.”
Kali ini Ben tidak menanggapi ucapan Leah. Ketika Leah ingin mengambil gelas minumnya, Ben yang tidak melepaskan pandangannya pada Leah secara naluriah mengambilnya dari nakas sebelum menyerahkannya kepada Leah.
“Selain di depan, apartemen ini juga punya taman di bagian kiri dan belakang. Kebanyakan yang memiliki hewan peliharaan sering membawa peliharaan mereka ke sisi kiri apartemen. Jika kamu ingin suasana yang damai, kamu bisa pergi ke belakang apartemen. Siapa tahu kamu ingin menikmati waktu pagi atau sore hari. Di sana jarang ada warga karena tamannya tidak seindah di bagian depan dan kiri.”
Leah mengangguk tanda mendengar dan mencatatnya di dalam kepalanya. Kapan-kapan ketika dia sedang banyak pikiran dia pasti akan pergi ke belakang apartemen.
Bicara tentang taman, Leah seketika mengingat kerjaannya. Dia pun melirik ke sana kemari mencari ponselnya. “Jam berapa sekarang? Aku harus menghubungi Gabriel kalau aku tidak bisa mengajar hari ini.”
“Aku sudah melakukannya.”
“Apa?” Leah dengan cepat menatap Benjamin.
“Maaf untuk ketidaksopananku. Tapi dia menghubungimu terus menerus dan aku takut akan membangunkanmu. Jadi aku mengirimnya pesan bahwa kamu sedang sakit.” Ben memberikan ponsel Leah. Kemudian Leah melihat ruang obrolannya bersama Gabriel. Dan apa yang Ben katakan memang benar. Leah pun mengucapkan terima kasih padanya.
“Ada yang ingin kamu makan nanti malam? Katakan saja.”
“Hmm ....” Leah memiringkan kepalanya berpikir. “Entahlah. Saya tidak pernah pilih-pilih makanan. Apa pun yang ada di depan mata, pasti akan saya makan.”
“Tidak boleh begitu.” Ben menggeleng keras. “Orang sakit dan mereka yang merayakan sesuatu memiliki hak spesial. Pasti ada sesuatu yang ingin kamu makan, kan? Tolong jangan katakan mie instan.”
Untuk pertama kalinya, Leah tertawa pelan di depannya membuatnya tersenyum tipis.
“Nasi goreng?”
Ben mengangguk. “Mau pakai ayam bakar?”
“Boleh?” tanya Leah dengan mata besar penuh harap.
“Ya, tentu saja. Ada lagi yang kamu inginkan?”
“Hmm ... kue ulang tahun.”
“Kue ulang tahun?” Benjamin mengangkat alisnya.
“Hm. Saya ingin makan kue.” Leah mengangguk. Lalu menambahkan dengan cepat, “Tapi tidak perlu dipaksakan kalau—”
“Oke.”
Leah mengangkat alisnya tinggi melihat betapa mudahnya Benjamin setuju. Mengambil suapan berikutnya, Leah seketika menyadari apa yang terjadi pada mereka hari ini. Ben saat ini tidak membuat Leah kesal seperti sebelumnya. Apakah karena pria itu dihadapkan dengan orang sakit? Yah, paling tidak Ben cukup peka dengan kondisi Leah yang tidak bisa berargumen dengannya hari ini.
Ben yang melihat Leah terkekeh pelan sambil mengaduk buburnya tidak bisa tidak bertanya, “Ada apa?”
Wanita itu mengedikkan bahunya singkat. “Kita kembali berdamai seperti sebelum Anda menjadi pria yang menyebalkan.”
Sudut bibir Ben berkedut. “Jadi, kita berbaikan sekarang?”
“Tidak, setelah Anda mengembalikan kunci cadangan kamar saya.”
“Pintu kamar ini sering tidak bisa dibuka dari dalam. Apa kamu mau terkunci dari dalam dan tidak bisa membukanya? Jadi, kunci cadangannya memang harus aku yang pegang. Begitu juga kamarku, kamu juga harus memegang kunci cadanganku. Aku akan memberikannya kepadamu setelah ini.”
Ketika Leah menyipitkan matanya, Ben mengalihkan tatapannya sambil berkata, “Jangan mencurigaiku berlebihan. Kamu sedang sakit, kepalamu tidak akan cukup menampung pikiran negatifmu. Lagipula ini juga untuk kebaikan kita berdua.”
Karena Ben yang sangat tenang mengatakan itu, Leah pun tidak memperpanjang permasalahan tersebut. “Asal Anda tidak masuk sembarangan seperti terakhir kali.”
Beberapa detik menunggu dan tidak ada jawaban, Leah mengangkat wajahnya. “Anda berjanji, kan?”
Melihat mangkuk Leah sudah bersih, Benjamin mengambilnya dan bertanya, “Kamu ingin buah? Aku membeli semangka saat kamu tidur. Tenang saja, ini gratis. Aku akan memotongnya sekarang.”
“Sungguh?” Leah tersenyum lebar. “Terima kasih, Pak Benjamin!”