SAY - Devil inside me

1348 Words
Ben baru saja keluar dari kamarnya ketika mendengar bunyi dari pintu unitnya. Pintu itu terbuka dan menampilkan sosok Leah yang baru pulang mengajar di sekolah. Ketika tatapan mereka bertemu, Leah dengan cepat membuang wajahnya. Wajah wanita itu sangat amat menunjukkan permusuhan yang sudah dipastikan untuknya. Leah berjalan menuju wastafel dan Ben mengambil buah apel dan pir di atas meja makan. Ketika dia selesai mencuci tangannya dan berbalik, dia melihat Ben menjulurkan tangannya yang memegang dua buah tersebut. Dia menatapnya dalam diam. “Maaf tentang kelancanganku tadi malam. Lalu aku sudah membuang pisangmu yang aku gunakan dan ini aku mengganti buahmu.” Eskpresi Leah masih bermusuhan. Namun matanya menunjukkan kilat terang walau sebentar. Well, ini seperti keberuntungan bagi Leah. Dia mendapatkan dua buah hanya karena 1 pisang. Menerimanya, Leah bertanya, “Anda tidak ingin mengukurnya lagi? Pisang saya masih banyak.” Ben menatapnya tanpa suara membuat Leah panik. Dia baru kepikiran bahwa pertanyaannya sedikit ambigu. Takut jika Ben berpikir yang bukan-bukan, Leah menambahkan cepat, “M-maksud saya, saya punya pisang berbagai macam ukuran. Mungkin Anda ingin mengukur dengan semua itu dan menggantinya—” Ben memejamkan matanya, mendesah, dan memotongnya, “Ambil saja buah-buahan di atas meja jika Anda mau.” “Terima kasih, Pak Benjamin!” Leah berseru cepat sambil membungkuk. Mendengar panggilan itu, Ben hendak membuka mulut namun tidak jadi. Dia menatap Leah sebentar kemudian menghela napas. “Jadi, kita sudah baikan?” Leah mengangguk. “Tentu saja! Saya sudah minta maaf, Anda juga. Jadi tidak perlu bertengkar lagi.” Ben berdecak pelan melihat bagaimana tidak malunya Leah setelah mendapatkan buah. Dan dia menyadari satu hal, bahwa makanan gratis sangat efektif untuk Leah. “Lalu bisakah kamu masak makan siang segera? Aku mulai lapar. Dan kamu juga, kan?” “Baik! Saya ganti pakaian dulu,” Leah berseru patuh. “Aku akan membantu memotong sayur,” Ben berujar ketika Leah berjalan cepat menuju kamarnya. Leah menggeleng. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa melakukan semuanya sendiri. Tenang saja, hanya 1 jam segalanya akan selesai. Mohon tunggu sampai makanan siap.” Sepanjang Leah memasak, wanita itu tampak dalam suasana hati yang menyenangkan. Ben yang berada di depan televisi sesekali akan melirik ke samping untuk melihat Leah yang sibuk di dapur. Dan belum sampai 1 jam, wanita itu sudah selesai masak. “Pak Benjamin ingin makan di meja makan atau di depan TV?” Sudut bibir Ben berkedut menahan kekesalan. Padahal sudah dia bilang jangan memanggilnya dengan sebutan itu. “Di sini saja.” “Oke.” Leah bolak-balik membawa piring-piring dan gelas untuk mereka. Setelah semua makanan disajikan di atas meja, mereka berdua bergerak duduk di lantai. Melihat hidangan makan siang mereka, Ben terdiam. Dan Leah yang belum bisa mengambil nasi karena pemilik rumah belum mengambil lebih dulu, bertanya, “Pak, ada apa? Anda tidak nafsu makan?” Ben menggeleng pelan. “Apa hanya aku yang berpikir jika setiap hari lauk hanya ini-ini saja?” Untuk topik itu, Leah tidak mengelak tapi hanya diam. Mereka pernah berbelanja bersama untuk membeli bahan makanan dan bumbu dapur. Namun Leah tidak mengambil apa pun karena masih malu dan membiarkan Ben yang memilih semuanya. Dia hanya membantu Ben membawa kantong belanjaan saja. “Leah, mungkin ini sedikit memberatkanmu, tapi apa bisa kamu yang berbelanja bahan makanan? Kamu tidak perlu khawatir tentang uang, aku tetap yang akan membayarnya. Aku tidak tahu banyak tentang hal seperti ini.” Seperti seorang pembantu. Itu yang Leah tangkap tentang berbelanja dan masak dengan uang Ben. Namun sisi baiknya, dia bisa ikutan makan gratis juga. Dan sisi baik lainnya, dia bisa memakan berbagai jenis makanan setiap hari! “Ya, saya bisa melakukannya.” Ben mengangguk puas. “Bahan makanan masih ada kan sampai minggu nanti?” “Masih. Anda bisa memberikan uang di minggu depan. Dan jika ada yang ingin Anda makan untuk nanti malam, katakan saja. Selepas mengajar les hari ini saya akan membeli beberapa bahan tambahan.” “Oke. Aku akan mengambil uang setelah makan.” “Oh tidak perlu. Saya akan menggunakan uang saya.” “… Sungguh?” tanya Ben dan Leah mengangguk yakin. Jika Leah mengingat kembali, selama dia makan siang dan malam dengan bahan makanan yang dibeli Ben dan beberapa kali makan malam gratis di rumah Gabriel, Leah sudah menghemat uang makannya dua minggu ini. Dan jika ini terus terjadi, Leah akan semakin bahagia dan makmur. Belum lagi uang sewa minim yang mendapat fasilitas berkali-kali lipat lebih baik dari kos lamanya, mengenai ini Leah tidak akan pernah melupakannya. Leah tidak memungkiri bahwa di balik kesialannya tinggal bersama Benjamin di unit ini, sangat banyak keuntungan yang mengalir untuk Leah. Jadi, untuk kali ini biarkan dia menggunakan uangnya untuk mengisi perut mereka malam ini. Anggap saja ini ucapan rasa terima kasihnya pada Ben. Dalam perasaan gembira itu, Leah menyuapi dirinya dengan ujung kaki bergerak senang. Sampai dia tidak menyadari bahwa sesuatu yang hangat menyentuh sudut bibirnya. Terkejut, Leah membuka matanya dan menatap Ben. Tubuhnya tidak bisa bergerak seolah-olah sesuatu sedang menahannya. Ibu jari pria itu masih berada di bibirnya. Sedikit menekan lalu mengusapnya dengan lambat seperti sedang menggodanya. Lalu sentuhan panas itu berakhir dengan Ben yang mengambil kembali ibu jarinya. Hal selanjutnya yang terjadi membuat wajah Leah terasa panas. Ben membawa ibu jarinya ke mulutnya dan menjulurkan lidahnya sedikit untuk mengecapnya. Ada suara asing namun menggoda dari mulutnya ketika dia melakukannya. Leah berkedip pelan menatap bibir pria itu. Tenggorokannya mendadak kering, dia menelan salivanya kuat lalu membuka bibirnya sedikit. “Pantas saja kamu terlihat senang ternyata masakanmu kali ini juga lezat.” Apa itu? Apa Leah baru saja mendengar alunan musik jazz yang seksi? Tidak, batin Leah yang berusaha untuk waras. ‘Benjamin sedang berbicara denganmu. Jadi, Leah, fokuskan pikiranmu.’ “Leah, semenjak kamu tinggal di sini, aku sangat tertolong. Terima kasih untuk bantuannmu, Leah. Jika tidak, mungkin aku akan kembali seperti dulu memesan makanan cepat di luar atau memasak seadanya. Sekali lagi terima kasih.” Tidak. Berhentilah mengucapkan terima kasih. Leah-lah yang harusnya berterima kasih. Dia bisa tidur nyenyak tanpa mendengar suara bising di luar kamar seperti kosnya dulu. Dia tidak perlu mengalah dan mendengar keributan maupun pertengkaran hanya karena siapa dulu yang menggunakan kamar mandi atau jemuran baju. Di sini dia tidak perlu menjadi bahan omongan karena semua tetangga sibuk dengan urusan mereka masing-masing tidak seperti di kos sebelumnya. ‘Kau sudah tahu, kan? Jadi, kenapa kau tidak menunjukkan bahwa kau sangat bersyukur padanya?’ Siapa itu yang bicara? Semacam bisikan kecil yang sangat menggelitiknya, seakan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Dan juga kenapa tubuh Leah terasa ringan? Dia merasa otot-ototnya bergerak tanpa bisa dia kendalikan. Lalu, pandangannya dengan bertahap mulai gelap. Apa yang terjadi dengannya? Sebelum Leah bisa sadar, dia merasakan kehangatan yang baru di bibirnya. Kehangatan baru yang membuatnya terkejut karena hal tersebut dengan cepat mengalir ke darahnya. “Apa kau pernah berciuman, Leah?” Leah menjadi bingung. Kenapa Esther ada di sini? Tunggu, itu hanya ingatannya ketika Esther menceritakan ciuman pertamanya dengan kekasih pertamanya. Lalu kenapa dia mengingat pertanyaan acak itu? “Bukan begitu caranya berciuman, Leah.” Leah dengan cepat membuka matanya ketika suara Ben masuk ke indra pendengarannya. Dia mendadak membeku karena begitu dekatnya wajahnya dengan wajah Ben. Mengambil beberapa detik yang masih membingungkan itu, Leah memundurkan tubuhnya. Saat itu, ia mendengar suara aneh yang sudah tidak asing seperti ketika seseorang mengecup kepala anak mereka namun lebih liar. Seluruh wajah Leah berubah merah. Eh?! Terkesiap, Leah menutup bibirnya dengan tidak percaya. Dari posisi tubuhnya yang dicondongkan ke arah Ben ... apakah dia baru saja mencium Benjamin? EH?!! Hal sialan apa yang sebenarnya baru saja terjadi?! Tanpa bicara, Leah bergerak berdiri tergesa-gesa. Dia hendak berbalik namun Ben sudah lebih dulu menangkap tangannya dan menjatuhkannya ke lantai sedikit kasar. Kemudian pria itu membelai rahang sebelah kanannya sambil memberinya perhatian khusus. Akibat sentuhan dan tatapan itu pandangannya menjadi gelisah ketika membalas tatapan Ben. Mulutnya bergetar ingin mengatakan sesuatu tapi ketika suaranya keluar, itu terdengar seperti bisikan sensual, “Aku—” “Tidak apa-apa. Aku akan mengajarimu,” Ben berkata pelan sebelum mendekatkan wajahnya ke wajah Leah. Otak Leah mendadak kosong. Dan dia hanya bisa mengumpat dalam hati, Dasar iblis sialan …!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD