Pada ketenangan yang hening tersebut, suara ciuman terdengar sesekali.
Di saat Leah yang berpikir bahwa waktu sudah lama berhenti, Benjamin memundurkan kepalanya. Leah yang entah sejak kapan duduk tegang dengan kedua tangan mengepal di tiap sisi tubuhnya, kemudian membuka mata dan melihat Benjamin tengah menatapnya seraya mengusap bibir bawah pria itu dengan ibu jarinya. Entah kenapa Leah terpesona.
Satu kata asing itu segera menyadarkan Leah dari lamunannya. Setelah mendapatkan kesadaran penuh dan tubuhnya bisa diajak kerja sama, Leah lekas berdiri tanpa bicara dan meninggalkan Benjamin sambil lari kecil.
Benjamin tersenyum melihat kepergian Leah sambil mengingat kebiasaan wanita itu jika malu atau marah padanya. Kemudian menatap makanan di atas meja yang masih banyak. “Dia pasti lapar .…”
Menutup pintu kamarnya rapat, Leah melangkah selebar yang ia bisa menuju tempat tidurnya. Di atas kasur sudah tergeletak ponsel jadul miliknya. Dia segera duduk di pinggir tempat tidur setelah menghubungi Esther.
Di tempat lain, Esther yang sedang mengecat kuku kakinya melirik pemanggil di layar ponsel. Begitu melihat nama Leah di sana, dia segera mengangkatnya.
“Ya, Leah? Ada apa?”
“Aku ingin menanyakan sesuatu. Dan beberapa saran, mungkin.”
“Uhm … oke?”
“Ini tentang temanku.”
“Oke ….” Ketika Leah membawa kata teman, Esther otomatis tidak bisa menutupi senyumannya.
“Dia sedang makan bersama seorang pria. Itu hanya makan siang biasa seperti … ya kau tahu, makan siang biasa saja. Ada situasi di tengah-tengah mereka yang menempatkan mereka untuk makan siang bersama. Temanku ini tidak menyukai pria ini tapi entah bagaimana prosesnya temanku menyerangnya. Apa yang harus ak- dia lakukan? Mereka berakhir canggung tadi dan aku- maksudku temanku meninggalkannya. Dia hanya makan sesuap tadi dan sekarang dia lapar! Dia sangat-sangat kelaparan!” Leah menjabarkan dengan berbelit-belit dan membingungkan. Esther yang telah membutuhkan banyak waktu masih belum mengerti arah ucapan Leah.
“Leah, bisakah kau tenang dulu dan mengulanginya kembali?”
Leah menggigit bawah bibirnya gugup. Dia memejamkan matanya erat dan berkata, “Temanku mencium pria itu.”
Esther terkesiap berlebihan sambil berdiri. Dia tidak peduli lagi dengan kakinya. “Kau apa?!”
“Temanku mencium seseorang dan berakhir canggung. Apa yang harus dia lakukan?”
Tangan Esther yang bebas menutup mulutnya yang terbuka lebar.
“Apa itu tindak pelecehan? Maksudku dia baru saja mencium orang tanpa permisi. Belum lagi orang ini bukan orang yang dia sukai. Dia sangat bingung sekarang dan tidak berani keluar dari kamarnya.”
“Aku bisa membayangkannya ….” Esther mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Bagaimana bisa temanmu ini menciumnya? Hal apa yang membuatnya berani mengambil peran penting itu? Tidak, jangan jawab dulu. Aku sangat penasaran dengan pria ini. Apa yang membuat temanmu tertarik pada pria ini?”
“Bukankah aku sudah bilang jika dia tidak menyukai pria ini? Jadi tidak ada yang membuatnya tertarik dengan pria ini. ”
“Tetapi temanmu menciumnya.”
Leah memejamkan matanya dan mengerang, “Ugh, itulah hal yang aku tidak habis pikir …. Apa yang salah dengan temanku ini?”
“Memangnya kenapa temanmu tidak menyukai pria ini?”
“Karena dia tidak bagus?” jawabannya yang menggantung membuat dia sendiri mengerutkan dahinya. Dan Leah dengan cepat menambahkan ucapannya, “Dia bukan standar tipe temanku.”
“Memangnya standar tipe temanmu seperti apa?”
“Uhm … sosok yang bisa memperbaiki keturunan? Tapi, bukan berarti derajatnya terlalu tinggi dari temanku. Yang biasa-biasa saja sudah baik. Dan minimal 3 atau 4 level lebih baik dari temanku.”
“Jadi, Pak Gabriel masih belum sesuai standarnya?”
“Pak Gabriel?! Ya Tuhan, Esther. Itu terlalu berlebihan. Temanku masih tahu diri dengan wajah buruk rupa dan kemiskinannya!”
Terdengar helaan napas Esther dari seberang telepon. “Leah, aku lelah mengubah orang dalam kepalaku tiap kali kau dan aku menyebut temanmu. Bisakah kita menggunakan orang aslinya di sini daripada orang pengganti?”
Leah menggerutu sambil bergumam malu, “Bukannya kau masih baik-baik saja dengan tokoh temanku? Bisakah kau bersabar lebih lama dan mendengarkan cerita ini dalam versi temanku?”
“Maaf, Bu Leah. Tapi saya lebih baik mendengar versi Anda secara langsung. Ayo, sekarang jelaskan kenapa kau bisa menciumnya?”
Leah menunduk. “Aku tidak tahu .… Kami hanya makan siang seperti biasanya. Tidak ada hal spesial terjadi sebelumnya selain membahas tentang membeli bahan makanan. Lalu dia mengusap bibirku yang ada sisa makanan yang menempel. Aku sangat syok dan bingung karena tidak ada orang yang melakukan hal itu padaku selama ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Kepalaku benar-benar kosong, Esther. Dia kemudian menambahkan kata-kata manis seperti memuji masakanku dan—”
“Kau memasak untuk Gabriel? Wah, kau melakukan dengan sangat baik, Leah.”
“Kita tidak membahas Pak Gabriel di sini,” Leah berseru kesal.
Esther yang berpikir jika Leah masih belum siap menyebutkan nama Gabriel hanya bisa mengalah. Temannya sudah berani membicarakan dirinya sendiri itu merupakan hal yang amat langka baginy. Dan pasti akan ada waktunya untuk Leah membicarakan Gabriel secara terbuka dengannya.
“Oke. Lanjutkan. Selain memuji masakanmu apa lagi yang dia katakan?”
Leah mengambil napas dulu. “Dia juga berterima kasih padaku. Dia bilang semenjak aku ada, dia bisa makan lebih baik. Padahal apa kau tahu, jika semua hidangan yang aku masak itu menggunakan uangnya! Seharusnya aku yang berterima kasih, bukan? Bukan hanya makan siang dan malam gratis, aku mendapatkan tempat tinggal yang layak dengan harga murah. Aku bisa mandi air panas di sini, menonton televisi, dan Wi-Fi gratis. A-Aku terbawa perasaan karena keberuntungan yang aku dapatkan semenjak tinggal di sini. Kau tahu aku seperti apa kan, Esther? Ketika seseorang berterima kasih padaku dengan tulus aku menjadi rapuh. Lalu karena terlalu banyak menampung rasa terima kasihnya, seperti ada iblis di dalamku yang terpanggil dan menyuruhku melakukan perbuatan itu. Yah begitulah ….”
“Alasan kau menciumnya,” Esther melanjutkan ucapan Leah. “Dan sekarang apa kau menyesal?”
Pertanyaan sederhana dari Esther membuat Leah bertanya pada dirinya sendiri, “Menyesal?”
“Kau baru saja mencium orang yang tidak ingin kau cium. Kau tidak marah pada dirimu sendiri dan menyesal telah melakukannya?”
Leah tidak marah maupun menyesal. Dia menyadari ini setelah Esther bertanya lagi. Sejujurnya, daripada marah atau menyesal, dia lebih ke arah malu dan tidak tahu bagaimana ke depannya bila berhadapan dengan Benjamin lagi. Dan jujur saja, jika dia mengingat kembali ciuman mereka, itu … tidaklah buruk.
Di sisi lain, Esther yang tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Leah berkata, “Jika aku jadi dirimu, aku akan bersikap biasa saja ke depannya. Karena hanya itu satu-satunya supaya bisa bertahan di sana daripada mengurung diri seharian dan kelaparan. Kau bisa menjelaskan maksud ciuman itu seperti yang kau katakan padaku tadi bahwa itu adalah rasa terima kasihmu kepadanya. Kebanyakan pria selalu mengerti maksud itu. Dan dia tidak akan memikirkan itu lagi.”
“Bagaimana jika dia bukan termasuk ke kebanyakan pria itu?”
Esther tertawa di seberang telepon. “Kau cukup katakan sejujurnya, kau tidak menyukainya. Jadi masalah selesai. Sama-sama.”
Leah memikirkan ucapan Esther untuk beberapa saat cepat sebelum mengangguk walaupun Esther tidak melihatnya. “Oke, terima kasih, Esther.”
“Hmm. Hubungi aku lagi jika ada kejadian menarik lainnya.”
Leah berdecih sebal dengan godaan Esther. Namun biarpun begitu, wajahnya bersemu tipis malu.
Memutuskan panggilan, Leah menatap ponsel di pangkuannya. Kejadian menarik lainnya? Leah tidak ingin bertaruh akan hal ini. Belum sampai satu bulan dia tinggal bersama Benjamin sudah banyak hal ambigu dan canggung yang dia alami. Tapi apa salahnya berharap tidak akan ada kejadian menarik menurut versi Esther ke depannya? Dan ngomong-ngomong, menghubungi Esther dan membicarakan situasi aneh yang ia alami ternyata sungguh melegakan Leah. Padahal biasanya dia yang sering mendengarkan keluh kesah sahabatnya.
Karena situasi yang memalukan itu, Leah mengurung dirinya di dalam kamar hingga sore hari. Dia hanya akan keluar jika membutuhkan toilet.
Karena sudah mendekati jamnya mengajar les, mau tidak mau Leah keluar dari kamar. Dengan pakaian yang rapi, dia melihat Benjamin sedang mengeluarkan botol minuman dari dalam lemari es dan menyimpannya ke dalam tas bekal. Leah tidak perlu menebak asal alasan Benjamin keluar dari kamarnya, pria ini sudah pasti berada di sini karena mengetahui jam mengajar Leah. Dan Leah pun yang sudah melatih dirinya mengulangi ucapan Esther berusaha untuk bersikap biasa saja.
Benjamin menoleh ke samping ketika Leah mulai melangkah. Lalu Leah berhenti tidak jauh darinya.
Wanita itu membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara, “Tentang tadi … anu begini … uhm itu … saya sebenarnya ….”
Bodohnya kau Leah …, batinnya geram pada diri sendiri. Padahal sudah ia hapalkan sampai di luar kepala. Tapi tidak ada satu kata pun yang keluar.
“Ciuman itu tidak ada maksud lain?”
“Ya, benar!” seru Leah cepat. Dalam hati dia berterima kasih kepada Benjamin yang telah membantunya keluar dari masalah kecilnya. “Itu hanya refleks saya untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya. Saya bisa makan gratis dan mendapatkan fasilitas yang baik di sini, semua itu berkat Anda. Tidak ada maksud lain. Dan juga, saya tidak menyukai Anda. Anda sudah tahu tentang ini, bukan? Jadi, saya harap Anda tidak menganggap serius ciuman tadi.”
Benjamin tidak seperti biasanya, yang mana harus berpikir sejenak seperti memperhitungkan ucapan Leah. Kali ini pria ini mengangguk ringan. “Oke.”
Leah diam-diam menghela napas lega. Namun sedikit rasa penasarannya keluar, apakah pria ini tidak terluka setelah Leah mengatakan isi hatinya dengan tegas?
Benjamin kemudian mengambil tas bekal dari atas meja dan menyerahkannya kepada Leah.
“Apa … ini?” tanya Leah bingung.
“Kamu hanya makan sedikit tadi siang dan sekarang pasti lapar. Jadi aku menyiapkan buah-buahan dan makanan siang tadi yang sudah kupanaskan untuk mengisi perutmu di jalan. Aku tidak ingin gara-gara kejadian siang tadi, kamu kelaparan saat mengajar nanti.”
Leah menerimanya dengan linglung. Walaupun Leah sudah mengucapkan hal yang menyakitkan kepada pria ini, ternyata Benjamin masih mau bersikap baik padanya.
“… Terima kasih,” ujar Leah pelan.
Setelah itu, Benjamin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan membuat Leah mundur dengan bertanya-tanya apa yang ingin pria ini lakukan.
“Mana ciumannya?”
“Ciuman apa?”
“Ciuman ungkapan terima kasihmu.” Benjamin mengerjap tanpa dosa. “Bukannya tadi kamu bilang jika kamu mengungkapkan rasa terima kasihmu dengan ciuman? Atau yang tadi ada maksud lain? Seperti … rasa tertarik?”
Leah yang tidak bisa berkata-kata setelahnya hanya bisa menatap Benjamin dengan raut wajah kompleks.
Bukan begitu cara kerjanya!