“Anda—” Leah menunjuk Ben dengan tatapan kesal. “Anda tidak pernah tersenyum seperti itu dan sikap Anda sungguh aneh. Pertama dan terakhir kalinya Anda seperti ini—” mereka berakhir telanjang di tempat tidur!
Leah tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena malu. Dan hanya melipat bibirnya dengan wajah ingin menangis seolah seseorang sedang merundungnya.
“Katakan sejujurnya, Anda ingin melakukannya lagi, kan?!”
Ben terdiam sejenak. Siku bertumpu di atas meja dan telapak tangannya menyembunyikan mulutnya. Dia pun mengalihkan wajahnya dan bergumam yang mana bisa didengar Leah, “Hmm.”
Leah membisu. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mengulangi perkataan Ben, “Hmm?”
Apa dia bilang tadi?
“Hmm?!” Leah menaikkan sedikit intonasinya. Bisakah pria ini tidak sejujur itu?!
Ben kembali menatap Leah. “Memangnya kenapa? Toh, kita sama-sama ingin melakukannya lagi.”
“Siapa bilang aku ingin melakukannya lagi?!”
“Bagian bawahmu.”
“Apa—” Leah membuka mulutnya tidak percaya dengan ucapan Ben. Dia bahkan butuh beberapa saat untuk merangkai kata. Leah memejamkan matanya. Menarik napas dalam lalu menghembuskan panjang dan perlahan. Setelah itu, dia kemudian menatap Benjamin dengan tatapan tegas. “Tentang tadi malam, itu adalah sebuah kesalahan. Dan karena kita berdua sudah dewasa, kita bisa menyikapinya dengan bijak, benar? Kita bisa melupakannya. Anggap saja itu hanya kesalahan kecil sampai-sampai tidak perlu untuk mengingatnya. Saya tahu ini alasan klasik dan klise. Sangat klise malah, tapi memang itu adanya karena saya tidak mengingin—”
“Siapa bilang itu kesalahan?” potong Ben. “Jika itu kesalahan kenapa kamu sangat menyukainya?”
“Saya ti—”
“Kamu sangat cepat basah. Dan terlalu banyak cairan yang keluar karenaku. Itu artinya kamu menyukainya.”
“Mana mungkin!” Leah berteriak. Wajahnya bersemu. “Tubuhku ... mana mungkin begitu.”
“Kamu pikir aku pembohong? Kita bisa mengujinya lagi.”
“I-itu alasanmu saja!” Leah tidak bisa lagi terkejut dengan omong kosong Ben.
“Bukankah kamu sendiri yang membuat alasan di sini? Kamu menghindar tidak mau melakukannya. Padahal aku ingin membuktikannya supaya kamu tidak mengelak lagi.”
Kenapa pria ini sangat antusias dan bersemangat tentang itu?! Leah sangat ingin menangis sekarang. Tapi tidak ada air mata yang mau keluar.
“Ayo.”
Di saat Benjamin hendak berdiri, Leah segera berteriak, “Aku masih sakit! Di sana masih terasa sakit.”
Leah pikir Benjamin akan berhenti. Tapi anehnya pria itu malah tersenyum lebih lembut dari biasanya membuat Leah berdebar waspada.
“Kamu tahu arti perkataanmu, Leah?”
Leah tidak tahu dan hanya terdiam.
“Kamu tidak menolak. Karena sakit, artinya akan ada di lain waktu.”
Wajah Leah berubah suram. Kenapa dia sebodoh itu?!
“Ma-maksudku aku tida—”
“Jika kamu tidak bermaksud seperti yang aku katakan sebelumnya, artinya kamu hanya beralasan.” Benjamin memiringkan kepalanya masih tersenyum. “Jadi, yang mana yang benar?”
Leah menunduk. Membahas hal itu sungguh membuatnya tidak tahu bagaimana merespon. Otaknya seketika membeku tidak bekerja.
“Baiklah. Aku akan menganggapnya sebagai alasan.”
Leah tanpa sadar mengangguk. Sebuah alasan lebih bagus daripada memberinya lagi ke depannya. Dengan kata alasan, setidaknya Ben tahu bahwa Leah tidak ingin melakukannya lagi dengannya.
Itu yang Leah pikirkan.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tanpa aba-aba Ben mengangkat tubuh Leah menyebabkan Leah menjerit kaget dan segera berpegangan pada leher pria itu.
“Apa yang kau lakukan?!”
“Aku tidak butuh alasan untuk menguji ucapanku.”
“Apa?”
Tidak menjawab, Ben mulai melangkah yang mana membuat Leah panik.
“Turunkam aku! Aku sangat berat. Tolong, turunkan aku!”
“Kamu benar.”
Ucapan pria itu sontak saja membuat Leah menatapnya marah dan tersinggung. “Jika aku memang berat, turunkan aku!”
Ben menunduk menatap si kembar besar di bagian depan tubuh Leah. “Tapi beratmu terletak di bagian-bagian tertentu.”
Melihat arah tatapan Ben, Leah yang malu melindungi payudaranya dengan satu tangan.
“Jangan menutupinya untukku. Aku menyukai mereka.”
Leah kembali bersemu. Ada secuil kebanggaan di sudut hati kecilnya.
Ketika Ben menendang pintu kamar pria itu supaya terbuka lebih lebar, Leah menjadi bingung. Dan dia bertanya tanpa sadar, “Kenapa di sini?”
Detik berikutnya Leah menjadi malu dan mengutuk dirinya. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu.
Mungkin Ben tidak terlalu memikirkan perkataan Leah. Karena pria itu menjawabnya dengan santai, “Paling cepat sampai dan stok pengaman ada di sini.”
Ben mendudukkan Leah di pinggir ranjang. Lalu satu lututnya bertumpu di samping Leah. “Kita bisa memulainya.”
Di saat Ben ingin menciumnya, Leah menahan d**a Ben panik. “Tunggu, tunggu! Sebentar!”
Ben menatapnya dengan kasihan. Sambil membelai pipi Leah, dia berkata, “Kita tidak boleh menghentikannya.”
“K-kenapa?”
“Karena kita berdua butuh jawaban yang sebenarnya.”
“Apa maksudmu—”
“Ini maksudku.” Tangan Ben menyentuh daerah intim Leah dari luar celana yang Leah kenakan. Walaupun ada dua lapisan yang menghalanginya, namun Leah tetap bisa merasakan tangan kasar tersebut membuat dia kaget karena tidak siap.
Di saat Ben menekannya perlahan, Leah secara naluriah beringsut.
Pria itu terlihat berpikir dan mengerjap perlahan. “Oh aku merasakannya.”
“Tidak—”
“Kamu masih mengelak? Kalau begitu satu-satunya cara adalah melihatnya secara langsung.”
“Jangan bercanda, Ben!”
Mendengar namanya tanpa embel-embel Pak membuat Ben terpesona dan mematung.
Di saat Leah ingin melarikan kakinya, Ben mengerjap cepat dan menahan kakinya kembali.
Ben berdecak pelan dengan kening mengkerut seolah sedang berpikir serius. “Ini buruk. Jika kamu bergerak terlalu banyak, kamu akan mengeluarkan lebih banyak.”
Mendengar itu sontak saja membuat Leah mematung. “Sungguh?”
Bukannya menjawab, Ben dengan cepat menurunkan celana panjang Leah beserta dalaman yang ia kenakan.
Dan Leah yang baru menyadari bahwa Ben membohonginya supaya bisa memudahkannya melepaskan celananya, dia segera mengutuk Ben. “b******n, ucapanmu itu tidak pernah ada yang benar! Aku menyesal mendengarmu!”
“Benarkah?” Hanya itu tanggapan Ben yang mana membuat Leah semakin naik pitam.
“Aku sungguh akan mencabik-cabikmu jika— Oh Tuhan!” Leah secara naluriah melihat ke bawah di mana jari-jari Ben berada.
“Apa yang kau— Ergh!” Lagi, Leah tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Ben sengaja menggerakkan tangannya. Sambil melakukannya, pria itu tersenyum menyaksikan Leah yang berusaha untuk bertindak normal.
“Lihat, Leah. Jariku masuk dengan mudah. Apa sekarang kamu masih mengatakan bahwa kamu tidak cepat basah?”
“Itu karena kau menggodaku!”
Ben membelai pipir Leah lalu tangan bebas itu bergerak ke tengkuk Leah dan menahannya. “Bagaimana dengan ini?”
Gerakan tangan Ben mulai berubah dari tempo lambat yang menggoda menjadi cepat yang penuh akan kemauan dan ambisi.
“Tunggu— Ben, astaga—” Kedua tangan Leah memegang pergelangan tangan Ben. Dia pikir dia bisa menghentikan tangan Ben yang sangat sibuk di sana. Atau tidak, menahannya. Akan tetapi, Leah tidak bisa fokus.
Ben mendekat dan menjilat daun telinga Leah hingga wanita itu menggigil. “Kamu mendengarnya? Leah, kamu mendengar suara itu, kan? Suara yang kamu buat.”
“Berhenti ... bicara.” Leah menunduk malu. Suara aneh itu benar-benar membuatnya malu.
“Jangan begitu, Leah. Suara itu benar-benar mengagumkan, kamu tahu? Benar-benar merangsangku.”
Gerakannya menjadi lebih cepat dan Leah menjerit kecil. Tubuhnya tersentak beberapa kali ketika euforia itu datang menerpanya. Selang beberapa saat berikutnya barulah tubuhny menjadi tenang.
Ben menarik tangannya, menjulurkan lidahnya dan membawa jarinya ke bibirnya. Lalu tangan lainnya mengurai rambutnya ke belakang. “Selalu nikmat dan tidak pernah mengecewakan.”
Entah karena masih ada sisa-sisa euforia tadi atau apa, tapi ketika melihat Ben menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, memperlihat dahinya yang jarang Leah lihat. Ditambah lagi pria itu menjilat jarinya yang dibaluti cairan cinta. Sungguh membuat Leah tertegun, gerah dan bagian di sana berdenyut.
Apa ini?
Apa yang salah dengannya?
Kenapa dia merasa bahwa Ben terlihat panas ketika seperti itu?
Ben memegang kerah t-shirt yang dia kenakan lalu menariknya keluar. Sambil melakukannya, dia merangkak di atas Leah hingga wanita itu terbaring ke belakang dengan terpaksa.
Seperti magnet, ketika Ben mendekati wajahnya Leah secara naluriah menerima bibir Ben.
Dengan cepat dan tepat dia melepaskan semua kancing atasan Leah. Dan setelah membuang semua penghalang di tubuh mereka, Ben memegang kekerasannya lalu menggunakan pengaman. Dengan kekerasannya, dia membelai Leah, menggosoknya sebelum mendorongnya ke dalam kehangatan wanita itu.
Ketika persatuan itu selesai, Ben memejamkan matanya dengan bibir sedikit terbuka. Sedangkan Leah berusaha menahan erangannya yang hampir lolos.
Tidak seperti tadi malam, kali ini Ben bergerak cukup bersemangat.
Tiap kali Leah ikut bergerak, dia menyadari bahwa payudaranya yang besar juga ikut bergerak. Maka dari itu kedua tangannya di silangkan di depan dadanya dan menahannya. Hal itu sungguh membuat Ben tidak puas. Padahal dia menyukai pemandangan tersebut.
Jadi dia memegang kedua tangan Leah dan menahannya di tiap sisi kepala Leah. Karena malu, Leah hanya mengalihkan wajahnya ke samping.
“Bukankah sangat baik? Aku bisa merasakan kamu meremasnya. Astaga, aku berharap bisa tetap berada di dalam dan tidak pernah keluar.”
Dorongan demi dorongan pinggul Ben sungguh membuat Leah merasa nyaman dan baik. Dia juga bisa merasakan kekerasan Ben semakin membesar di sana. Apalagi perkataan m***m pria itu. Namun rasa nyaman dan baik itu bukanlah apa yang Leah inginkan.
Leah mencoba memikirkan banyak hal berharap tidak akan terlalu fokus dengan Ben yang bekerja dengan giat. Seperti contohnya mendengar Esther memarahinya karena rajin membantu guru lain. Dia harus memiliki pengalihan agar tidak terlalu terbuai oleh Ben.
Sementara itu, Ben menyadari jika pikiran Leah berada di tempat lain. Tangannya menangkup wajah Leah seketika dan memaksanya untuk menatapnya. “Jangan memikirkan apa pun, dengarkan saja aku. Yang perlu kamu lakukan adalah merasakannya. Rasakan aku, Leah.”
Menatap mata gelap Benjamin, Leah menjadi lebih fokus dengan apa yang mereka lakukan. Perasaannya menjadi lebih sensitif ketika Ben bergerak lebih cepat dan semakin cepat.
“Tidak ada lagi alasan.” Ben bernapas cepat ketika berbicara. Pinggulnya semakin liar dan Leah kesusahan untuk menahan jeritannya. Kesenangannya sudah berada di ujung. “Jangan berbohong bahwa kamu tidak menginginkannya. Itu yang lebih klise, Leah.”
Euforia itu datang lagi. Kali ini mereka bersama-sama. Dan Leah kembali menggigil hingga tersentak.
Ben mendaratkan ciuman di bawah tulang selangka Leah. Dia bergerak ke atas dan berhenti di bibir Leah yang terengah-engah berat. Ben berbisik di sana, “Kita akan melakukannya lagi dan lagi, kapan pun, di mana pun, karena kita menginginkan satu sama lain.”
Dan Ben menutup ucapannya dengan ciuman yang panjang.