Duduk di belakang meja guru, Leah seperti tubuh tanpa roh. Bahunya lesu. Tatapan matanya kosong. Dia melamun.
Dia merasa dirinya yang sebenarnya sudah mati dan hancur berkeping-keping. Ingatan tentang tadi malam mengingatkannya kembali bahwa apa yang mereka lakukan tadi malam bukanlah sebuah mimpi atau ilusi.
Mau bagaimanapun Leah mencoba menepisnya, tubuh telanjang mereka berdua pagi ini tidak bisa ia sangkal. Dan tidak tahu bagaimana menghadapi Ben, Leah segera siap-siap ke sekolah sebelum Ben bangun.
Tiba-tiba saja Leah menegakkan tubuhnya.
Tadi malam adalah suatu kesalahan.
Leah masih sakit dan dia tidak bisa berpikir jernih. Dia tidak tahu mana yang baik dan tidak untuknya karena dia belum sehat. Orang sakit susah berpikir. Karena dia sakit, dia sangat mudah dihasut ....
Terdiam, Leah mengedipkan matanya beberapa kali. Detik berikutnya tubuhnya kembali lesu. Mau dilihat dari mana pun, kelihatan sekali Leah mencari-cari alasan untuk menutupi kebodohannya. Tapi memang benar bahwa Leah masih tidak terima dengan apa yang telah dia lakukan tadi malam!
Leah mendesah panjang sambil mengacak-acak rambutnya. Tanpa dia sadari, guru-guru yang sudah datang menatapnya aneh.
Well, ya. Leah memang bodoh. Leah sungguh bodoh karena mau saja menghabiskan malam bersama Benjamin. Dengan pria seperti itu? Astaga, di mana dia simpan daftar tipe pria impiannya, hah?!
Jelas sekali sosok seperti Benjamin tidak ada dalam daftarnya!
“Oke, aku sudah berdiri di sini selama 5 menit hanya untuk melihat kau mengacak rambutmu seperti orang gila. Jadi, katakan padaku, kau berhutang dengan rentenir yang mana, Leah?”
Suara Esther membuat Leah mendongak.
***
“Pengalaman pertamaku?” Esther memiringkan kepalanya.
Ketika melihat kedatangan Esther di ruang guru, Leah segera mengajak Esther ke lapangan kosong sekolah yang sepi. Dan dia bertanya tentang pengalaman pertama Esther.
Menjawab pertanyaan balik Esther, Leah mengangguk.
“Tentu saja aku melakukannya dengan orang yang kucintai saat itu. Mana mungkin aku melakukannya dengan orang tidak aku cintai.”
“... O-oh.” Kan, apa yang Leah pikirkan benar! Pengalaman pertama harusnya diberi kepada pria yang dia cintai! “Lalu, ada berapa banyak orang yang kau cintai hingga sekarang?”
Pertanyaan aneh Leah sontak saja membuat Esther menyemburkan tawa singkat. “Jika aku hitung dengan benar hingga saat ini ... hanya dua. Mantan-mantanku yang hanya beberapa minggu pacaran saja, tidak mungkin aku beri.”
“Oh ....” Leah mengangguk pelan. “Bagaimana perasaanmu ketika pertama kali melakukannya, Esther? Jika melakukannya dengan orang yang dicintai pasti menjadi kenangan yang tidak bisa dilupakan, iya kan?”
“Yah, bisa dibilang seperti itu. Tapi aku akan jujur padamu, percobaan pertama kami benar-benar buruk.”
Leah mengedipkan matanya bingung. “Buruk?”
Esther mengangguk. “Rasanya sangat mengerikan seperti dicolok banteng.”
Mata Leah melebar dengan ucapan Esther.
”Kali pertamaku sungguh sakit. Sakit sekali. Tapi alasannya bukan karena perbedaan umur. Mantanku seumuran denganku. Miliknya juga belum berkembang pesat.”
Ketika Esther berbicara blak-blakan, Leah malah malu sendiri. Tapi, Leah menjadi bingung. Kenapa Esther merasa sangat sakit sedangkan Leah berpikir dia tidak perlu menambahkan kata sangat dan banteng untuk pengalaman pertamanya.
“Yah aku tidak bisa menyalahkannya juga. Saat itu kami sama-sama masih muda tidak begitu mengerti apa itu pemanasan. Tidak tahu jika harus memulai persiapan terlebih dahulu sebelum melakukan proses persatuan. Karena kurangnya pengetahuan, aku merasakan sakitnya. Dan sampai sekarang aku masih mengingatnya.”
“... kita akan merasakan kesenangan bersama-sama jika melakukannya di waktu yang tepat ...,”
Oke, sekarang Leah memahami betapa pentingnya pengetahuan sebelum memulainya.
Pantas saja Leah tidak merasakan begitu perih. Sampai Leah hampir saja berpikir jika Esther terlalu berlebihan ketika membayangkan rasanya.
Esther tiba-tiba mendengus. Wajahnya berubah kesal dan dia menggerutu, “Dia bahkan tidak tahu untuk melakukannya dengan perlahan di awal. Dia pikir jika bergerak cepat seperti kereta api ekspres di kali pertama, si wanita akan mengaguminya. Benar-benar bodoh dan naif.”
Leah memikirkan Ben. Sekarang, Leah mulai mengingat segalanya dengan rinci.
Pria itu tidak melakukannya dengan tergesa-gesa. Dia tahu apa yang baik di kali pertama mereka. Dia tahu bagaimana membuat Leah tidak takut. Dia tahu bagaimana menyenangkan seorang wanita.
Dan perlu diingat, tidak ada jejak trauma yang timbul di diri Leah setelah percintaan mereka.
Entah kenapa, Leah merasa lega setelah mendengar kesan Esther tentang pengalaman pertama wanita itu. Setidaknya kesan pertama Leah tidak begitu buruk.
Bicara tentang Ben, Leah bergumam tiba-tiba, “Dia mengucapkan terima kasih kepadamu.”
“Hm? Siapa?”
Membeku, Leah mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum menggeleng kaku. “Apa ... aku mengatakan sesuatu?”
Esther berdecak pelan. “Sekarang, aku yang akan bertanya. Kenapa cara jalanmu sangat aneh tadi?”
Leah menegang mendengar nada rendah Esther. Dia mengangkat matanya dengan sangat perlahan dan bertemu dengan manik mata Esther yang menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Berdeham, Leah mengalihkan pandangannya. "Pinggangku sakit jatuh di apartemen saat mengambil kardus di atas kabinet.
"Oke .... Pertanyaan berikutnya—”
Oke, sepertinya Leah tahu apa yang akan Esther tanyakan. Maka dari itu, sebelum Esther bisa berbicara, Leah seketika berdiri.
“Esther, sebentar lagi kelas akan di mulai! Aku harus mengambil buku gambar anak-anak ....”
Menatap kepergian Leah, Esther kembali berdecak sambil menggelengkan kepalanya.
***
Jam pulang sekolah, Leah kembali ke unit. Begitu dia masuk, dia melihat Benjamin sibuk di meja depan televisi mengeluarkan makanan dengan paper bag berlogo restoran cepat saji.
Pria itu mendongak dan tersenyum lembut. “Kemarilah. Kamu pasti sudah lapar, kan? Untuk hari ini tidak perlu memasak karena aku ingin sesekali kita makan seperti ini.”
Leah membuang wajahnya canggung dan berbicara pelan, “Umm, a-ada yang harus saya urus di kamar—”
“Aku tidak bisa menghabiskan ini semua. Ayo, belum lagi ini semua masih hangat,” potong Ben. “Ini sungguh enak ....”
Leah memejamkan matanya erat. Tanpa perlu Benjamin jelaskan, Leah bisa mencium aroma makanan dari posisinya berdiri. Dari aromanya saja, Leah bisa tahu seberapa enaknya itu. Dan bunyi perutnya menyetujui pendapatnya.
“Leah,” panggil Ben dengan sabar.
“Aku datang.” Leah membuka matanya dan melangkah mendekati Ben.
Duduk di sisi samping meja, Leah memperhatikan Ben diam-diam. Pria itu meletakkan air soda dan burger yang tebal untuk Leah lalu untuknya. Di tengah-tengah meja ada segunung ayam goreng dan kentang goreng.
“Ada ... perayaan apa?” Leah bertanya. Dan sebelum Benjamin menjawab, Leah segera berkata, “Jika karena tadi malam, aku bersumpah akan menyirammu dengan minuman ini.”
Benjamin mengulum senyum. “Tidak ada. Hanya ingin saja.”
“... Bohong.” Leah menatapnya tajam membuat Ben menghela napas.
Bukankah dia sendiri yang ingin Benjamin untuk tidak mengatakan kejujuran?
“Aku tidak ingin kamu memasak untuk hari ini. Dan juga, aku sedang malas mencuci piring.” Ben berharap alasan ini bisa diterima Leah. “Apakah masih terasa sakit? Tadi malam aku tidak terlalu kasar, kan?”
Leah masih tidak bisa menyeimbangi seorang Benjamin. Pria ini sangat suka mengganti topik dengan cepat. Dan tiap topik itu selalu mengejutkannya.
Leah menunduk. Kemudian berdeham sebelum menjawab, “Sedikit.”
Ben mengambil paha ayam dan menyerahkannya kepada Leah. “Kamu suka paha ayam jadi aku memesan paha semua. Ambillah.”
Leah terdiam. Dan Ben yang sabar tetap menunggu dengan tangan terangkat ke udara.
Leah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merespon. Setelah menerima ayam, Leah memakannya dengan perlahan.
Mengunyah dalam diam, tiba-tiba saja jari Ben menyentuh bibir bawahnya.
“Kamu selalu seperti ini.” Ben tersenyum lembut sama seperti senyuman tadi malam. Dan dia membawa ibu jarinya ke bibirnya sendiri.
Seketika ayam yang Leah pegang jatuh dengan bunyi teredam.
Ah sial, dia kembali mengingat momen tadi malam.
Melihat senyuman manis pria ini kenapa Leah tidak bisa memarahinya?