SAY - Euphoria

1355 Words
“Berbaringlah.” Bisikan berat Benjamin di telinga Leah membuat Leah mengikuti perintahnya. Dan Ben duduk di antara dua kali Leah yang terbuka di atas pahanya. Di saat Ben ingin melepas kaos Leah, Leah dengan cepat menahannya. “Apa kamu malu?” Leah mengangguk pelan tanpa suara. “Kalau begitu aku akan memulai dulu.” Benjamin menarik kaosnya dari leher lalu membuangnya ke lantai samping tempat tidur. Dia memperlihatkan postur halus yang memesona hingga Leah tidak berkedip tanpa dia sadari. “Giliranmu.” Kembali sadar, Leah mengerjap cepat dan mengalihkan wajahnya. Ben tersenyum. Dia tahu bahwa Leah masih malu. Jadi dia mengulurkan tangannya dan mengusap lembut rahang bawah Leah. “Euforia.” Wanita itu kembali menatapnya. “Ada artikel yang mengatakan kita akan merasakan kesenangan bersama-sama jika melakukannya di waktu yang tepat. Yang artinya saat melakukan pertama kali pihak wanita tidak akan terlalu merasakan sakit yang amat banyak.” Jari-jari kasar dan kuat itu meluncur ke bawah. Ketika melewati lengan bagian atasnya, Leah menjadi kaku dan gemetar kecil. “Bukan umur yang dibicarakannya, melainkan proses ketika melakukannya.” Ben mengunci mata Leah. “Pemanasan.” Jari Ben bergerak semakin ke bawah dan berhenti di antara paha bagian dalam Leah. Dia bisa merasakan seberapa tegangnya Leah hanya dari sentuhannya. Tangannya bergerak melakukan gerakan memutar dengan sensual hingga erangan tertahan lolos dari bibir Leah. “Melakukan foreplay yang banyak akan memberi reaksi yang lebih baik untuk kedua pihak.” Ben menundukkan pandangannya untuk melihat daerah intim tersebut. Dan dia membuang penghalang yang digunakan Leah. Tatapan tajam Ben pada tubuhnya membuat Leah berdesir. “Dan berkat pemanasan yang banyak, wanita akan merasakan euforia yang luar biasa.” Berkat Benjamin, Leah mulai membayangkan euforia itu. Dan berkat tangan Benjamin, Leah menjadi sensitif dan tergelitik. “Kau sudah sering melakukan ini?” tanya Leah. “Belum pernah,” Ben menjawab dengan tenang. “Bagaimana denganmu?” Leah menggeleng kaku membuat Ben tersenyum lembut. Pria itu membawa tangannya untuk mengusap kepala Leah dengan penuh perhatian dan tangan satunya lagi juga mengusap di daerah intimnya. “Kalau begitu mohon kerja samanya, Leah.” Leah sungguh tidak tahu apakah dia harus mengangguk atau apa. Kepalanya terasa semakin pening dan dia bingung apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dia tidak bisa fokus antara bibir atau tangan pria itu dan cara menahan desahan yang ingin keluar dari mulutnya. Apa yang dilakukan Ben benar-benar mengganggu konsentrasinya. Tidak butuh waktu yang lama, ada sengatan listrik mengalir ke seluruh tubuhnya. Dan sesuatu yang asing menghampirinya. Tidak bisa berbicara karena malu, Leah mencoba berpegangan pada seprai dan memejamkan matanya erat. “Klimaks pertamamu,” Ben mengumumkan. Leah diam-diam mempelajarinya. Itu tadi benar-benar mengagumkan. Dan setelah itu ada perasaan lega namun kosong yang ia rasakan. Leah tidak tahu kenapa dan dia hanya bisa mengerutkan dahinya bingung akan kekosongan tersebut. Tiba-tiba tanpa peringatan, Benjamin menundukkan wajahnya hingga Leah terkejut. Sebelum dia bisa menghentikan pria itu, Benjamin sudah melakukan hal gila pada tubuhnya. Secara naluriah Leah kembali mengerang sebelum menutup mulutnya kuat. Dia tidak memiliki tenaga untuk menghentikan Benjamin. Kedua kakinya dikunci oleh kedua tangan Benjamin. Tangannya menahan suara aneh dari bibirnya, tangan lainnya mencoba menggapai rambut Ben namun tidak sampai. Dan sesuatu yang sama datang lagi. Namun kali ini lebih intens dari sebelumnya sampai-sampai jeritan menyedihkannya sedikit tertahan. Menatap langit-langit kamarnya, Leah bernapas seperti baru saja selesai berlari. Dia mengedipkan mata beberapa kali dan menatap Ben ketika pria itu kembali menegakkan tubuhnya. “Rasamu sangat nikmat.” Jejak basah di sudut bibir Ben tampak bersinar membuat Leah bersemu. Dan Leah segera mengalihkan wajahnya. Ben mendekatinya dan berbisik di telinga Leah, “Ingin mencobanya?” Sebelum Leah bisa menjawab tidak, Ben sudah memblokir bibir mungil Leah. Menggoda dan mengajaknya mencicipi rasanya. “Bagaimana rasanya?” Melihat Leah yang mengerutkan dahinya linglung, Ben terkekeh pelan. Dengan gerakan santai Ben melepaskan celananya. “Aku pikir kita harus melakukan pemanasan lebih banyak lagi tapi sepertinya kita tidak perlu. Kamu cepat sekali basah.” Leah bersemu. Ben membuka bungkus pengaman yang tidak asing lagi di mata Leah dengan giginya. Leah tidak tahu entah sejak kapan dia mengambil benda itu dari dalam tas Leah. “Ucapkan rasa terima kasihku untuk temanmu. Berkatnya, stokku bertambah walau hanya satu.” Ben menatap Leah dengan tatapan lembut. “Baiklah, Leah. Kamu sudah siap. Begitu pula aku.” “Melakukannya lagi?” Leah bersuara walau sedikit mencicit. Tatapan matanya tampak gelisah dan menunggu dalam antisipasi. Ben tersenyum tipis. “Kita belum memulainya, Leah.” Mulanya Ben hanya menggoda tubuh Leah dengan miliknya hingga Leah sedikit menjauhkan dirinya karena naluriah alaminya. Lalu dia mendorong porosnya dengan perlahan dan menggeram pelan sambil mempelajari ekspresi Leah. Leah mengerutkan alisnya dalam-dalam dan tersentak. itu ... sedikit benar adanya. Apa yang dikatakan Ben sebelumnya tentang pemanasan ternyata sungguh berdampak banyak pada proses penggabungan mereka. Leah memang masih merasakan sakit, namun tidak separah seperti yang dia pikirkan selama ini. Dan juga, rasa sakit dan kesenangan itu terasa tidak biasa. “Bagaimana perasaanmu?” “... Sangat aneh,” jawab Leah jujur. “Kalau begini?” Benjamin perlahan keluar dan melihat tanda wanita Leah di bawah sana lalu masuk kembali sama lambatnya. “Masih.” “Kamu akan terbiasa.” Ben memberikan tatapan lembut lagi dan memanjakan hingga Leah terlena. “Sudah terbiasa?” Leah mengangguk secara otomatis. “Ya.” “Aku akan bergerak sekarang.” Apa itu euforia? Seperti kembang api, bintang jatuh, bom yang meledak di dalam tubuhnya. Sesuatu yang diwaspadai namun sangat menyenangkan sampai membuat Leah bersemangat untuk menyalakan yang kedua dan seterusnya. Leah berusaha menahan desahan dan erangannya karena Ben bergerak dengan sangat baik. Pria yang berkata baru pertama kali melakukannya, tapi seperti orang yang sudah lihai. Leah tidak yakin apakah dia harus mempercayai ucapan Ben. Leah menatap pria di atasnya. Keringat mulai bermunculan di dahi Benjamin namun ekspresi wajahnya masih tampak tenang. Dia hanya tersenyum. Selain pinggulnya yang bergerak, dia juga menyibukkan tangannya. Kaos Leah masih digunakan Leah, akan tetapi bentuknya sudah tidak karuan. Kaos tersebut sudah terangkat dan menunjukkan kedua benda besar, kenyal dan menggoda. Dan Benjamin memijat mereka secara adil. Leah tanpa sadar mengangkat tangannya ke arah Ben. Ben mengambil tangan tersebut dan membawa telapak tangannya di bibirnya. Perasaan berdesir kembali hadir sampai-sampai dia bergidik. Dan gelombang kesenangan itu kembali lagi. Kali ini lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Lebih intens, lebih ekstrim, lebih tinggi hingga Leah tidak bisa menahan jeritannya. “Oh Tuhan!” Tubuhnya melengkung kemudian gemetar hingga jari-jari kakinya ikut melengkung. Leah mencengkram bahu Benjamin dan menancapkan kuku-kuku pendeknya sampai kesenangan itu berakhir. Leah melemah. Tangan dan kakinya yang menegang tadi kini mulai kehilangan tenaga. Dia telentang begitu saja. Bahkan untuk merapikan kaosnya, tangannya tidak bisa diajak bekerja sama. “Tidak menakutkan, iya kan?” tanya Benjamin yang bernapas lewat mulutnya sama seperti Leah. “... Hmm.” Malah, Leah merasa itu cukup manis. Leah memejamkan matanya. Karena itu, indranya menjadi sensitif. Dia merasakan Benjamin memegang pinggiran kaos. Ketika dia membuka matanya, Benjamin sudah mengangkat sedikit tubuh bagian atas Leah dan menarik kaosnya dengan cepat. “Karena kamu sudah terbiasa, kali ini aku tidak bisa berjanji apakah tetap melakukannya dengan lembut atau tidak.” “Kali ini?” Leah mengulanginya dengan menautkan kedua alisnya. “Ya.” Ben mengedipkan matanya. “Kamu pikir kita hanya melakukannya sekali saja?” “A-aku pikir itu sudah cukup ....” Leah menatap Ben dengan gugup. “Jadi hanya sekali lagi, kan?” “Benar juga. Ini pertama kalinya kamu.” Ada kerutan samar di dahi Ben membuat Leah menjadi lebih gugup. “Tunggu, kau berpikir ingin melakukannya lebih dari dua kali?” Mengedipkan matanya tanpa dosa, Ben menjawab. “Tentu saja.” “Apa?! Tunggu—” Terlambat, Ben sudah kembali mendorong pinggulnya sedangkan Leah berusaha untuk fokus menahan erangan agar tidak keluar dari bibirnya. Dan malam yang panjang berakhir dengan Leah yang kelelahan. Benjamin keluar dari kamar mandi masih tidak mengenakan apa pun dan kembali ke kamar Leah. Berbaring di samping wanita itu, dia dengan lembut membelai punggung telanjang Leah. Sebuah senyuman tipis terpatri di wajahnya menunjukkan ada jejak kebahagiaan. Melihat jam yang sudah pukul 3 pagi, dia kemudian menutupi tubuh mereka dengan selimut. Sambil memeluk Leah, Ben mulai memejamkan matanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD