SAY - You can count on me

1453 Words
Sebuah tangan yang mungil memegang tepi pintu lalu berteriak, “Sudah aku bilang, aku bisa mandi sendiri!” “Bagaimana kalau kamu kesusahan menyikat punggungmu?” Ben memeluk Leah dari belakang dan mencoba membawanya masuk ke dalam kamar mandi. “Aku bisa melakukannya! Jadi tinggalkan aku sendiri!” Leah yang kewalahan menatap Ben dengan cepat. “Tidak bisa. Kalau kamu terpeleset—” “Kalau begitu jangan mandi saja! Ini sudah malam, aku bisa mandi besok pagi!” Ben tersenyum tipis. “Tubuhmu sudah lengket, Leah. Kamu harus mandi malam ini atau kamu tidak bisa tidur nanti. Jadi, lepaskan tanganmu.” “Tidak, sampai Anda keluar lebih dulu.” “Jangan menjadi pembangkang, Leah. Aku hanya membantumu karena kamu mengandalkanku.” “Siapa bilang aku mengandalkan— tunggu, Pak! Pak—” Benjamin mengambil tangan Leah pada satu-satunya penahan wanita itu sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Dalam waktu singkat, Leah sudah berada di dalam bathtub dengan wajah tertekuk kesal dan malu. Sedangkan Benjamin berdiri di belakangnya dengan sabun dan shower puff di kedua tangan. Awalnya Ben menyuruh Leah untuk duduk di kursi kecil yang sudah diletakkan di bawah shower, namun Leah yang malu segera masuk ke dalam bathtub dan mengisinya dengan air sampai penuh. Pria itu mulai berjongkok kemudian menyentuh punggung telanjang Leah untuk merasakan suhunya, menyebabkan Leah menegang kaku berusaha menghindar. Meliriknya, Benjamin mulai menggosok punggung Leah dengan perlahan. “Pria yang mengantarmu pulang dari mengajar les ...,” Benjamin mulai berbicara dan Leah meliriknya dari ekor matanya, “apa dia orang yang kamu sukai?” Benjamin menggeser pandangannya. Melihat semburat merah di pipi wanita itu membuat wajahnya kehilangan emosi. “Se-semua orang menyukainya,” gumam Leah yang menunduk. “... Oh.” Benjamin mengambil tangan Leah dan kembali melakukan tugasnya dengan lembut. “Apa dia orang tua anak didikmu? Aku pernah melihatnya di depan gerbang sekolah.” Leah mengangguk. “Bagaimana dengan istrinya?” “Istrinya sudah meninggal.” Gerakan Benjamin berhenti seketika. Leah memejamkan matanya dan menghela napas pelan. “Dia pria yang baik, ramah, mapan, tidak angkuh seperti kebanyakan orang kaya. Masa depannya dan anaknya akan aman sampai puluhan tahun berikutnya. Gabriel juga sangat menyayangi anaknya. Dia berusaha dengan kuat memanjakan Ara seperti tuan putri walaupun tanpa adanya seorang istri. Jadi, tidak mungkin ada wanita yang tidak menyukainya. Gabriel itu pria impian semua wanita.” Tanpa Leah ketahui, Ben sedang melamun. Raut wajahnya sedikit rumit dengan alis berkerut samar. “Memikirkan Ara, aku baru ingat aku belum membuat iklan jasa les. Menambah satu anak lagi kurasa bukanlah masalah.” Ben mengerjapkan matanya cepat. Dia mengambil tangan Leah yang lain. “Kamu sudah melakukannya dengannya?” “Melakukan apa?” “Hal yang orang dewasa lakukan.” Leah menoleh cepat. “Maksud Anda ... yang begitu?” Ben mengangguk. “Tentu saja tidak! Gabriel bukan orang yang seperti itu.” “Apa yang kamu ketahui tentang pria, Leah? Kami butuh. Begitu juga para wanita.” Leah mengerutkan dahinya tidak setuju. “Tidak semua orang membutuhkannya.” “Kebanyakan orang.” Ben menatap matanya. “Apalagi yang sudah pernah menikah.” “....” “Apa dia sudah memiliki kekasih?” Leah menggeleng. “Aku ... tidak tahu.” “Jika dia punya, itu akan aman saja. Tapi bagaimana jika tidak? Kebanyakan dari orang yang tidak memiliki pacar, mereka akan melakukannya dengan siapa pun. Bebas tanpa terikat. Bisa saja dia seperti itu juga.“ “Gabriel bukan orang—” “Kamu sangat mengenalnya?” Leah tidak menjawab. “Tidak?” Lagi, Leah tidak menjawab selain membuang wajahnya. “Perlu kamu catat, Leah. Luarnya saja tidak cukup untuk dinilai. Kamu harus mempelajari isi dalamnya juga supaya bisa menilainya lebih jauh.” “Tapi, aku sangat yakin Gabriel bukan orang yang seperti itu.” Suara pelan Leah yang mempertahankan pendapatnya tentang Gabriel hanya bisa membuat Ben mendesah dalam hati. “Aneh rasanya membicarakan pria lain denganmu.” “Lebih aneh lagi Anda yang memandikan saya.” Leah kemudian menggerutu pelan membuat Ben tersenyum, “Padahal sudah kubilang aku tidak mau mandi.” “Kamu memiliki jari yang mungil dan lucu.” Ben mengusap jemari Leah dengan lembut membuat wanita itu melirik perlakuannya. ... Lucu? Bukankah jari-jarinya pendek dan jelek? “Sudah berapa banyak orang yang menggenggam tangan ini?” gumam di belakangnya menyebabkan Leah sedikit gemetar. Leah tidak tahu mengapa, perkataan itu terdengar seolah Ben tidak senang memikirkan jumlah orang yang ada di kepala pria itu. Kemudian Ben meletakkan tangan Leah sebelum Leah bisa bereaksi. “Yah, seperti yang aku katakan sebelumnya. Itu hanya kebanyakan. Mungkin saja dia bukan salah satunya. Sekarang berbaliklah.” Sontak saja Leah menoleh ke belakang dengan panik. Padahal sebelumnya dia mendadak mengalihkan topik. Benjamin kemudian menghela napas. “Aku akan memejamkan mataku.” Leah memperhatikan Benjamin yang mulai memejamkan matanya. Merasa bahwa pria ini memegang janjinya, barulah dia membalikkan posisi tubuhnya dan menghadap Benjamin. Leah berdeham pelan menandakan dia sudah melakukannya. Dan Benjamin yang pandangannya sangat gelap, mengulurkan tangan mencoba meraba ke depannya. Ketika telapak tangannya sudah menyentuh Leah, dia seketika terdiam. Sesuatu yang dia sentuh sangatlah lembut dan berisi. Tanpa sadar Benjamin meremasnya pelan sebelum memahami apa yang dia pegang. Benjamin membuka matanya cepat dan melihat tangan nakalnya berada tepat di salah satu p******a besar Leah. Mengedipkan matanya lambat, dengan sangat perlahan Benjamin mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Leah .... Seluruh wajah wanita itu merah padam. Matanya melotot ke arahnya dan tubuhnya gemetar menahan amarah. Uh oh ... ini bukan pertanda baik. Plak ...! *** Benjamin membuka lemari di depannya dan memilih pakaian yang nyaman Leah. Sambil memilih, rasa kebas di pipi kanannya masih terasa menyakitkan. Bahkan telinganya masih berdenging. Mengambil salah satunya, Benjamin berbalik dan mendapati Leah masih melototinya dari pinggir tempat tidur. Dia kemudian meletakkannya di samping wanita itu. “Aku sudah bilang, aku tidak sengaja. Aku tidak bisa melihat.” “Oh tentu saja,” Leah menggerutu setelah mendengus kasar. Ben membantu Leah mengenakan kaos yang besar. Dia kemudian menyentuh dahi dan pipi Leah sebelum bernapas lega. Tiba-tiba saja, Ben meletakkan dahinya di bahu Leah dan memejamkan matanya. “Kamu benar-benar sembuh ....” “... Tentu saja. Dari tadi pagi saya sudah membaik. Anda saja yang memperlakukan saya seperti orang sekarat,” suara Leah sangat pelan dan agak kaku. Panggilan yang sopan dan terkesan memberi jarak itu kembali lagi, Ben tersenyum. Masih memejamkan matanya, Benjamin menyandarkan dahinya di dahi Leah. “Syukurlah .... Kamu membuatku khawatir selama kamu sakit.” Sontak saja Leah membeku. Dadanya bergemuruh kuat namun tidak terasa sakit. Dia merasa seperti ada pesta riuh di dalamnya. Perasaan apa ini? Kenapa dia bahagia karena perkataan Benjamin? Jika hari normal, Leah sudah pasti bergerak seperti cacing kepanasan agar bisa menjauh dari Benjamin. Tapi ... kenapa? Ada yang salah dengannya. “Kumohon, jangan membuatku khawatir lagi ke depannya.” Leah mendongak. Sebelum dia bisa memahaminya, Ben mendaratkan bibirnya tepat di bibir Leah. Hanya sebuah kecupan, namun kecupan yang lama. Dia kemudian menyapu bibir Leah menggunakan bibirnya, menggodanya hingga Leah gemetar. Ben membuka matanya sedikit. Dia sudah memberi waktu untuk Leah menolaknya, namun wanita itu tidak melakukan apa pun yang ia anggap sebuah persetujuan. Ben menjulurkan lidahnya. Menjilati bibir mungil dan berisi milik Leah hingga dia bisa merasakan napas bergetar Leah. Meraih tengkuknya, Ben menciumnya dalam-dalam. Tangannya mulai bergerak masuk dari balik kaos yang dikenakan Leah. Menyentuh benda kenyal yang membuat pipinya sakit dan meremasnya dengan lembut. Sambil melakukannya dia menggigit bibir bawah Leah dan wanita itu mengerang kecil seraya bergidik. Cengkeraman di bahu menyadarkannya bahwa Leah membutuhkan asupan udara. Jadi, dia melepaskan bibir Leah dan turun ke bawah menuju leher yang beraroma harum. Di saat gigi Benjamin bergerak sepanjang leher dan bahu Leah, desahan napas lolos dari bibirnya yang terbuka. Leah memejamkan matanya, menikmati hal baru yang aneh sekaligus menyenangkan itu. Sampai-sampai ia memiringkan kepalanya memberi akses lebih untuk Benjamin. “Apa kamu tidak penasaran bagaimana rasanya?” bisik Benjamin di kulitnya. “Apa kamu ingin melakukan hal yang sama seperti pria itu lakukan?” Seperti yang dia lakukan? Seperti ... Gabriel? Leah membuka matanya perlahan dan menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya mulai terasa sedikit pening. Ketika merasakan sentuhan di daerah intimnya, tatapan nanarnya dengan cepat terbelalak. Leah menahan tangan Ben. “Apa yang—” “Dia sudah pernah melakukannya. Lalu kenapa kamu tidak? Bukankah tidak adil jika hanya dia saja yang menikmati kesenangan itu?” Kese...nangan? Leah mengedip perlahan dan sedikit menurunkan pandangannya untuk membalas tatapan Ben. Ben menggeser penghalangnya ke samping lalu mendorongnya dengan lembut hingga bibir Leah terbuka kecil. “Kamu bisa mengandalkanku untuk membuatmu senang.“ Entah sejak kapan kaos besar itu terangkat dan mengekspos salah satu payudaranya. Dan pria itu mengecup puncaknya dengan mata tetap mengunci manik mata Leah. “Kamu bisa mengandalkanku, Leah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD