Berada di ruangan kepala toko, Leah yang baru saja mendengar ucapan pemilik tokonya tidak bisa berkutik untuk beberapa saat lamanya.
Apa yang baru saja pria ini katakan tadi? Leah … dipecat?!
“… begitu, Leah. Yah, saya bukannya mengatakan bahwa kinerjamu selama ini tidak bagus. Malah cukup memuaskan. Kamu sangat kompeten dalam pekerjaanmu, kamu bekerja keras dan selalu menyibukkan diri untuk menyusun barang jualan dengan rapi ketika jam tidak sibuk pembeli. Juga, jarang ada yang mau menjadi pegawai toko untuk shift malam, apalagi yang bekerja itu perempuan seorang diri. Tapi … aduh, bagaimana ya menjelaskannya ….”
Pemilik toko berdecak karena kesusahan untuk mencari kata-kata yang lebih baik seraya menatap Leah.
Leah termenung. Dia masih ingat wajah wanita kasir tadi. “Apa wanita yang berada di kasir yang menggantikan posisi saya, Pak?”
Mata pria itu bergeser sebentar sebelum menghela napas pelan. “Maaf, Leah. Tapi itu keponakan saya. Dia membutuhkan uang tambahan untuk biaya kuliahnya. Maka dari itu aku harus memberhentikan salah satu dari kalian.”
Itu sangat buruk, mengerikan, dan mengecewakan bagi Leah. Apa yang bisa dia lakukan agar bisa mempertahankan pekerjaannya?
Tidak ada.
***
‘Berpenampilan menarik.’ Dua kata yang selalu ada di tiap persyaratan melamar pekerjaan. Tidak memiliki wajah cantik, setidaknya memiliki berat dan tinggi badan yang proporsional.
Masih tidak termasuk ke kategori itu? Buktikan bahwa kau orang yang termasuk ke golongan pekerja keras, rajin dan cerdas.
Lalu, bagi pemimpin yang tidak bijak, terkadang dia lebih mementingkan keindahan. Pertama, memilih karyawan yang cantik. Cerdas dan rajin urusan belakangan. Kedua, memiliki orang dalam.
Sudah jelas bukan, Leah tidak termasuk ke dalam dua golongan itu untuk di sini?
Mengambil tumpukan kertas di bawah meja kasir, Leah mendesah panjang. Akhirnya, inilah batasannya bekerja di minimarket ini. Dia baru tahu ternyata peraturan tentang orang dalam juga berlaku pada toko kelontong seperti ini.
“Maaf.”
Suara manis yang terdengar manja hinggap ke indra pendengaran Leah. Leah mendongak untuk melihat keponakan pemilik toko sedang duduk manis. Malam ini tiba-tiba ramai pembeli tidak seperti malam-malam sebelumnya Leah bekerja. Sambil melayani pembeli, Leah membantu wanita itu cara mengoperasikan proses transaksi dan administrasi di komputer.
Leah tidak tahu harus mengatakan apa selain tersenyum tipis. Padahal ini adalah pemasok uang tambahannya. Tapi mau bagaimana lagi?
Setelah dipikir-pikir, Leah sekarang tahu alasan orang-orang cantik yang berada di barisan depan kantor, bank dan sebagainya. Mereka sungguh memanjakan mata, tidak seperti kehadiran Leah.
Leah berdiri dan menyerahkan tumpukan kertas yang dia ambil tadi kepada wanita itu. “Jika ada stok yang kosong atau sisa sedikit, jangan lupa dicatat dan serahkan kepada pemilik toko.”
“Baik.” Wanita itu berkata dengan ceria. “Ngomong-ngomong, Tante. Sudah berapa lama Tante tidak melakukan perawatan?”
“....”
Oh hebat. Tinggal bersama lawan jenis, lalu dipecat, dan sekarang dia dipanggil Tante hanya karena wajahnya yang tidak berkilau dan bercahaya. Sungguh hari yang sempurna untuk Leah Winata.
Menatap wanita muda itu, Leah tidak bisa berkata-kata.
***
“Argh …!” jerit Leah ingin menangis. Tidak hanya dipecat, dipanggil Tante, dia juga dikatakan memiliki wajah tua. “Memangnya kenapa jika tidak melakukan perawatan?!”
Untuk kehidupan sehari-hari saja Leah harus berhemat. Sabun muka dan moisturizer sudah cukup untuknya. Dia tidak bisa menghamburkan uangnya untuk hal yang tidak perlu seperti merawat wajah!
Leah mendongak dan menghembuskan napas panjang di tepi jalan. Dia merasa lelah. Sungguh. Saat ingin kembali melangkah, Leah tidak sengaja menoleh ke samping di mana kaca depan sebuah salon menampilkan wajah lusuhnya.
Well, Kulit wajahnya memang bersih. Akan tetapi tampak kasar dan pucat.
Tiba-tiba saja, Leah berteriak lagi, “Aku juga perlu, Sialan! Hanya saja hartaku tidak memadai!”
Hal itu sontak saja menimbulkan kekagetan dari dalam salon. Semua orang yang sibuk melakukan perawatan rambut secara naluriah menoleh keluar akan tetapi Leah sudah tidak peduli.
“Kau pikir siapa yang mau memiliki wajah tua? Tante? Hah, aku baru berumur 30-an. Kita hanya berbeda beberapa tahun. Apa tidak kasar memanggilku tante?!” Sambil berjalan cepat menuju apartemen, Leah bergerutu marah dan mendengus tidak percaya. Beberapa orang yang berdiri atau berjalan santai dari arah yang berlawanan dengan Leah hanya bisa menatap Leah dengan penasaran dan bingung.
***
Ben tampak fokus ketika menghadap layar monitor di depannya dengan jari-jari yang menari cepat di keyboard tanpa jeda. Lalu, beberapa saat berikutnya jemarinya berhenti. Menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi, Ben menatap monitor tanpa minat. Seperti biasa, dia bisa menyelesaikan pekerjaannya tanpa kendala.
Ben melirik jam di atas meja yang sudah menunjukkan pukul 12:40 kemudian meregangkan tubuhnya. Dia beranjak dari kursinya dan membawa gelasnya yang sudah kosong.
Ketika membuka pintu kamar, dia melihat sosok kecil di meja makan yang temaram. Wanita itu menunduk dengan tubuh lesu membuat Ben berpikir wanita ini pasti punya banyak pikiran.
Ben mulai melangkah mendekati lemari es. Dan sepertinya Leah baru saja menyadari kehadiran Ben karena wanita itu berdiri tergesa dan ingin pergi jika Ben tidak menghentikannya.
“Gunakan waktu Anda. Saya hanya ingin mengambil air.”
Leah terdiam beberapa detik sebelum kembali duduk dengan kedua tangan saling menggenggam di atas pangkuannya,
Mengambil air mineral dari dalam lemari es lalu menuangkannya ke dalam gelasnya, diam-diam Ben menoleh ke belakang. Kembali menatap gelasnya, dia bertanya dengan nada tidak peduli, “Saya pikir Anda akan pulang subuh.”
Dalam ruangan yang redup, bibir Leah membentuk senyuman miris. “Saya baru saja dipecat.”
Gerakan Ben yang ingin meletakkan botol air mendadak berhenti di udara sejenak. Dia menoleh ke belakang lagi menatap punggung Leah dalam diam.
“Keponakannya membutuhkan pekerjaan jadi saya dipecat begitu saja. Yah, dia wanita muda yang cantik. Sangat cocok untuk di bagian depan. Tidak seperti saya. Mau menyusun barang di bagian atas rak saja saya perlu menggunakan tangga. Dia pasti bisa melakukannya tanpa bantuan.”
Tidak ada alasan untuk Leah menyembunyikan berita ini. Toh mulai ke depannya Leah tidak akan pergi malam dan kembali subuh-subuh lagi. Daripada menghindar atau berbohong tiap kali Ben bertanya, lebih baik baginya untuk jujur tentang kondisinya. Leah mengatakan ini juga bukan untuk menarik rasa simpatik dan kasihan dari Ben. Dia hanya ingin melakukannya saja tanpa alasan.
“Tapi ...,” Leah membasahi bibirnya. “apa harus seperti itu?”
Ben menutup lemari es dan sekarang tubuhnya menghadap Leah.
“Jika saya membuat kesalahan sekecil saja, saya bisa menerimanya. Tapi alasan saya dipecat karena keponakannya-” Leah memejamkan matanya. “Itu tidak adil ....”
“Memangnya kapan hidup itu adil?”