Leah mendongak perlahan dan melihat Ben baru saja duduk di depannya.
“Hidup tidak pernah adil. Giat dan gigih tidak serta merta bisa mempertahankan pekerjaanmu. Tiap pekerjaan pasti akan ada rintangan. Tapi rintangan ini bisa diatasi, bisa juga tidak. Salah satu contoh yang tidak bisa diatasi adalah di lingkungan kerjamu itu.” Ben bersandar di kursinya sebelum melanjutkan ucapannya, “Di tempatmu masih ruang lingkup kecil. Tapi pada beberapa perusahaan besar, nepotisme itu ada. Itu sebabnya orang dengan koneksi akan memiliki pekerjaan yang lebih baik dibandingkan orang yang mengandalkan kemampuannya saja. Apalagi jika itu masalah posisi atau jabatan, posisimu sudah pasti dengan mudah digeser jika itu bisa menguntungkan mereka. Alhasil kumpulan orang kaya akan semakin kaya dan bawahan tetap menghasilkan uang untuk yang kaya.”
Leah semakin lesu. Bukannya memberinya semangat, Ben malah memberinya tamparan fakta.
“Mereka adalah monster yang disebut keserakahan.”
Bisikan itu membuat Leah menatap Ben.
“Kamu boleh merasa sedih, marah, kecewa bahkan menangis. Tapi ingatlah untuk bangkit kembali. Anggap rintangan ini ada supaya kamu bisa menjadi lebih kuat dan Tuhan ingin kamu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari itu.”
Bibir Leah terbuka sedikit namun tidak mengatakan apapun.
“Aku akan coba mencari lowongan juga untukmu.”
Ketika Ben berdiri, kepala Leah mendongak mengikuti postur tubuh Ben.
“Segeralah tidur dan istirahat. Ini sudah larut.”
Dengan tatapannya, Leah mengantar kepergian Ben kembali ke kamarnya dengan membawa gelasnya. Setelah hanya dirinya sendiri di sana, degup jantung Leah mulai berdegup cepat dan pipinya terasa hangat. Bergidik, Leah segera berdiri dan mengambil air dalam lemari es. setelah meminum beberapa teguk, dia menyentuh pipinya dengan ngeri.
Sungguh mengerikan jika suasana hati yang rentan sangat mudah tersentuh hanya dengan kata-kata saja.
***
Pagi berikutnya, Leah menjemur pakaian dalamnya di balkon. Dia menatap jemurannya sekali lagi sebelum menutup pintu balkon. Pintu balkon menggunakan tirai tipis namun tidak membuat Leah bisa mengendurkan kewaspadaannya. Jadi dia menempelkan kertas besar bertuliskan 'Jangan dibuka'. Selesai, barulah dia mengambil tas dan pergi ke sekolah.
Satu jam kemudian, Ben baru keluar dari kamarnya. Dia berjalan santai menuju mesin kopi dan membuat kopi untuknya sendiri. Sambil menunggu, dia yang mengedarkan pandangannya tidak sengaja menatap kertas yang mengganggu di pintu balkon.
Membawa gelas dengan kopi yang mengepul panas, Ben mendekati pintu balkon dan membaca dalam hati kalimat pendek di kertas tersebut.
Well, sejak kapan ada yang bisa memberinya larangan di dalam rumahnya sendiri?
Dengan wajah tanpa dosa dia membuka pintu tanpa harus merusak kertas yang masih tertempel. Pintu balkon terbuka dan menampilkan pemandangan yang cerah di pagi itu. Bersandar di pintu, ekspresi tenangnya berlama-lama menatap jemuran Leah sambil menghirup kopinya.
Sungguh pagi yang hangat dan cerah.
***
Leah bersama pria yang lebih tua darinya menggeser sebuah meja kayu yang berat ke tepi jendela.
“Oke,” ujar pria tersebut membuat Leah meluruskan punggungnya yang sakit. “Terima kasih, Nak Leah. Kamu mau bantu saya bersih-bersih di sini.”
Leah tersenyum sambil mengusap pelipisnya yang berkeringat. “Tidak masalah, Pak.”
Leah melirik jam di ponselnya yang masih memiliki 30 menit lagi jam istirahat. Dia pun pamit lalu bergegas mengambil bekal makannya dan pergi ke taman gedung sekolah. Di taman sekolah tempat biasa dia istirahat bersama Esther sudah ada temannya di sana.
Begitu Leah duduk di sebelah Esther, pertama-tama dia meminum air mineral dari botol minumannya hingga menyisakan setengah botol.
“Astaga, aku akan berpikir jika kau baru saja membasuh wajahmu alih-alih berkeringat.”
Leah mengusap dahinya yang basah. “Aku membantu Pak Wahyu membersihkan ruang rapat guru.”
Esther menganga dengan ucapan Leah. Dia kemudian menggeleng dan berdecak sebelum melanjutkan makannya.
Leah makan dengan suapan besar sambil memperhatikan di kejauhan beberapa anak yang sedang bermain dengan gembira. Walaupun dia tampak makan dengan lahap, seperti Leah yang biasa, namun Esther menyadari ada yang sedang temannya ini pikirkan.
“Aku tahu kau pasti memiliki masalah, iya kan? Kau murung seharian ini. Keningmu tidak berhenti mengerut. Jadi?”
“Aku dipecat tadi malam.”
“Dipecat? Maksudmu di minimarket?”
Leah mengangguk lesu.
“Kenapa bisa dipecat? Kau bolos kerja? Mencuri?”
Leah cemberut. “Keponakan bosku ingin bekerja untuk membayar uang semesternya.”
“Lalu kau tidak mengatakan kepadanya bahwa kau juga perlu bekerja untuk memberi makan keluargamu yang hanya mengharapkan gajimu?”
Karena sudah bertahun-tahun berteman, Esther sudah tahu garis besar tentang keluarga Leah. Jadi, ketika dia menyebutkan keluarga Leah, jejak kebencian terdengar dari nada bicaranya. Esther mengetahui tentang Leah tidak akur dengan ibu dan kakak perempuannya dan setiap bulan mengirim sebagian besar gajinya kepada keluarganya.
“Mau bagaimana lagi, tokonya bukan milik pamanku.” Leah berujar pelan membuat Esther mendesah sedih.
“Kau pasti butuh pekerjaan paruh waktu lagi, ‘kan? Ayo kita cari ....” Esther segera mengambil ponselnya dan mencari lowongan pekerjaan untuk Leah dan Leah mendekatkan bokongnya agar bisa melihat ponsel Esther bersama.
“Hmm ... bagaimana dengan ini? Minimarket di dekat sini sebagai kasir. Kau punya pengalaman itu.”
“Ah mereka mencari yang berpenampilan menarik. Aku sudah pasti tidak lolos.” Leah menggeleng menyebabkan Esther menatapnya sejenak sebelum menggulir layar ponselnya.
“Kalau ini? Asisten salon. Kau tahu bentuk gunting, itu sudah cukup—”
“Mereka juga butuh yang berpenampilan menarik. Coba lihat persyaratannya itu.”
Esther mendesah mencoba bersabar. “Baiklah, ini saja. pelayan—”
“Itu persyaratannya—”
“Berpenampilan menarik,” sambung Esther jengah membuat Leah tersenyum. Dia menghembuskan napas kasar. “Serius, kenapa dengan itu?!”
“Aku tidak sesuai dengan kriteria mereka. Aku jelek dan pendek.” Leah menunduk ketika bergumam rendah diri.
“Lalu orang jelek tidak butuh makan, hah?!” Esther yang sudah tidak sabar berkacak pinggang. “Dengar, berpenampilan menarik bukan berarti harus cantik, tinggi, putih dan langsing, Leah .... Kau berpakaian cukup rapi, tidak bau badan. Kau hanya perlu berdandan sedikit. Sudah pasti kau akan diterima, oke!”
Esther tahu bagaimana pesimisnya Leah terhadap dirinya sendiri. Dan juga wanita ini mudah menyerah sebelum berusaha. Esther tidak tahu lagi bagaimana caranya agar membuat Leah mencintai dan menerima dirinya sendiri.
Tanpa mereka ketahui, seseorang tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka dari belakang. Gabriel berdiri di samping pilar dalam diam sambil memegang kardus minuman.