SAY - Not her banana

1081 Words
Di dalam lift, Leah tidak berhenti tersenyum gembira sambil menatap kantong buah. Di pikirannya terlintas satu hal. “Ternyata berteman dengan Pak Gabriel cukup menyenangkan.” Sudah beberapa kali dia makan malam gratis di rumah Gabriel. Stok mie instannya juga bisa ia simpan. Belum lagi, buah-buahan ini. Well, selama beberapa hari ke depan Leah akan sarapan dengan bahagia. Tentu saja dia akan memuja Gabriel seperti kerang ajaib pada tiap gigitannya. “Biasakan untuk tidak terlalu formal denganku .…” Tiba-tiba Leah mengingat ucapan Gabriel beberapa menit yang lalu. Dia memiringkan kepalanya dan berpikir. “Apa aku harus mulai belajar memanggilnya Gabriel? Tapi kan dia lebih tua dariku? Bagaimana jika panggil kakak?” Memikirkan panggilan itu tanpa disuruh membuat wajahnya merah sendiri. “Gabriel pasti akan jijik jika aku memanggilnya seperti itu.” Gabriel …. Yah, memanggil namanya saja sepertinya tidak masalah. Seperti dia memanggil Leah tanpa embel-embel Ibu. Pintu lift akhirnya terbuka. Leah keluar sambil bersenandung dan menuju unitnya. Ketika dia membuka pintu, dia bisa mendengar suara gaduh dari dalam. Berjalan semakin dalam dia melihat pemandangan yang sedikit berantakan dengan beberapa kardus terbuka yang sudah banyak yang kosong di lantai. Dan sumber dari kegaduhan itu sedang menyusun barang di dalam kabinet dapur. Begitu Ben melihat kedatangan Leah dari ekor matanya, dia pun menoleh. “Kamu kembali lebih telat dari biasanya.” Leah mengerutkan dahinya tipis. “Jam berapa pun saya kembali saya pikir itu bukan urusan Anda. Toh saya tidak merugikan Anda, kan?” Ben tidak membalas lagi. Dia hanya berkedip sekali sebelum kembali menyusun barang di atas sana. Leah membuka lemari es dan menyimpan buah-buahan. Sambil melakukannya, dia berusaha untuk tidak mengganggu Ben. Akan tetapi mulutnya tidak bisa diajak kompromi. “Sepertinya Anda membeli banyak bahan makanan.” “Adikku yang mengantarnya kemari bersama ibuku.” Leah tidak tahu apa-apa tentang keluarga Ben. Dan dia pun tidak mau tahu. Jadi, dia tidak menanggapinya lebih jauh. Selesai menutup pintu lemari es, Leah yang memiliki kebiasaan tidak bisa melihat orang lain sibuk bertanya, “Uhm, mau saya bantu?” Menoleh, Ben menjawab, “Boleh.” “Di sini sudah saya simpan semuanya. Sisanya taruh di dalam kulkas saja,” Ben melanjutkan ucapannya seraya berjalan menuju kardus. “Oke.” Leah membuka pintu kulkas kembali dan membantu Ben menyusun bahan makanan. Ketika dia menyentuh bumbu dapur, Leah bertanya, “Anu, ini disimpan juga di dalam kulkas?” “Aku melupakan itu. Apa kamu bisa menyimpannya di atas sana?” Leah mengangguk dan berdiri. Di saat dia membuka kabinet dan meletakkan botol kecil itu di barisan bumbu sambil berjinjit, pada saat itu juga semua lampu mati menyebabkan Leah yang ketakutan jadi melompat dan berteriak. Karena panik, kakinya tidak sengaja menyenggol sesuatu hingga dia terperosok jatuh ke lantai dan memegang buah. Di sebelahnya, Leah bisa mendengar benda padat memantul dan menoleh untuk melihat benda tersebut yang ternyata adalah apelnya. Oh tidak! Apakah apelnya akan hancur? Well, untung saja dia masih menggenggam pisangnya dengan erat dan melindungi. Jadi, benda lunak ini tidak akan mudah hancur. Tapi …. Sekarang Leah memikirkan ini. Bukankah dia sudah membawa semua buahnya ke dalam kulkas? Lalu kenapa apelnya bergelinding di sebelahnya? Apakah bagian dia menyimpan mereka tadi hanyalah sebuah ilusi? Belum sempat Leah berpikir keras, lampu sudah menyala kembali. Dan dia yang sudah bisa melihat ruang dapur dengan terang menghembuskan napas lega. Dia kemudian kembali melihat apel di lantai. Itu benar sebuah apel. Dan juga pir. Leah mengerutkan dahinya. Semenjak kapan Gabriel membeli pir? Leah tidak ingat mereka mengambil buah pir di toko serba ada tadi. Dehaman dan hembusan napas kasar masuk ke indra pendengarannya membuat Leah mendongak ke atas dengan wajah polos dan alangkah kagetnya dia karena Ben berbaring dengan lengan menutupi kedua matanya. Baiklah, kenapa Ben berada di bawahnya? Tidak. Mari ubah pertanyaan yang lebih tepat, demi bumi dan langit kenapa Leah berada di atas pria ini?! Apakah pipi pria ini bersemu? Leah bisa melihat warna merah tipis di sana. “Leah, bisa kamu singkirkan tanganmu dulu?” Bicara tentang tangan, Leah mulai merasakan sesuatu yang menggeliat di dalam genggamannya. Leah pun menurunkan pandangannya ke bawah sambil bertanya-tanya kenapa pisangnya licin ataukah tangannya yang lic— “@#$%!” Oh. My. God. Jelas ini bukan pisangnya. Dengan wajah merah padam dan malu, Leah mengakui bahwa dia baru saja melecehkan seseorang! “Huaaahhhh!” Secepat itu Leah menyadarinya secepat itu juga dia beranjak dari tubuh Benjamin dan mengambil jarak. Benjamin pun bergerak duduk. Sambil duduk bersimpuh, Leah otomatis membungkukkan tubuhnya. “M-maafkan aku! Tolong jangan bawa aku ke polisi! Aku tidak sengaja melakukannya! Kumohon, biarkan aku kali ini. Aku berjanji, aku akan menghukum tanganku. Maksudku— Huaahh … maaf! Aku pikir itu pisangku!” Leah sudah panik dan pikirannya mendadak kosong. Dia hanya bisa terus mengeluarkan banyak alasan blak-blakkan sambil meminta maaf dengan wajah merah padam. Lalu, melihat Benjamin yang diam sedari dan hanya menatapnya tidak bisa membuat Leah lebih baik. Belum lagi tatapan datarnya tidak berubah. Apakah rona merah yang dia lihat sebelumnya hanyalah ilusinya? 2 kali .… Sudah 2 kali Benjamin memasang ekspresi seperti itu di situasi yang menguntungkan pria ini. Pertama, tidak sengaja mengintip Leah. Dan kedua, beberapa saat yang lalu Leah menyentuh pilarnya. Serius, apakah pria ini tidak memiliki nafsu? Apakah rupa Leah seburuk itu sampai tidak bisa menaikkan gairah seorang pria? Bukankah pria ini menyebalkan?! Leah merasa terhina. Dia kembali diingatkan bahwa tidak ada yang akan menyukai wanita jelek sepertinya. Leah menunjuk Benjamin dengan marah. “Kau. Kenapa juga kau berada di situ?! Jika kau tidak di situ, aku tidak akan menyentuhmu! I-ini semua salahmu!” Selesai mengeluarkan amarahnya, keheningan di antara mereka pun hadir untuk beberapa saat. Lalu Benjamin berkedip dan membuka mulutnya kemudian, “… Sedari awal aku memang di posisi ini.” “Aah ….” Bibir Leah bergetar. Jadi, dia tidak bisa memutarbalikkan kesalahannya? Leah menggeleng kuat. “Tidak! Berdosa! Kau berdosa! Kau mengotori tanganku yang suci ini!” “Tapi aku tidak melakukan apa pun,” Benjamin berkata sambil berpikir. Leah berdiri seketika dan berteriak keras seperti ingin menangis, “Pokoknya kau yang salah karena berada di situ!” Setelah itu Leah berlari memasuki kamarnya sambil menutupi wajahnya. “Aku?” Benjamin berkedip. Padahal dialah korban di sini tapi kenapa Leah yang terluka? Apa wanita itu tahu betapa tersiksanya Ben tadi? Sekarang saja dia masih merasakannya. Dia menoleh ke belakang, ke pintu kamar Leah yang tertutup. Pandangannya kemudian bergerak ke arah meja makan di mana tas wanita itu tergeletak di sana. “Haa …,” Ben menghela napas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD