Seharusnya pulang tadi aku langsung terlelap tanpa memikirkan apapun. Tapi saat ini aku malah masih tetap terjaga dan ini sudah dini hari. Aku mengubah posisi tidurku, membalikkan tubuhku, begitu terus dari tadi sampai kantukku terasa lenyap.
Rasanya begitu membingungkan. Perasaan gelisah dan salah tingkah bercampur menjadi satu. Sepertinya inilah penyebab utama kenapa mataku terpejam juga.
Kantuk belum juga menyerangku. Padahal waktu tidurku tinggal beberapa jam lagi. Mataku terasa perih, mungkin karena sudah saatnya mataku terpejam tapi aku masih memaksanya terbuka.
Seharusnya tidak kubiarkan Mas Graha mempermainkan perasaanku seperti ini. Napasku terasa berat saat mengucapkan nama itu. Tadi Mas Graha tiba-tiba memelukku tepat di depan rumah pada saat mengantar aku pulang. Tanpa bicara apa-apa, tanpa menjelaskan apa maksudnya. Sebelum sempat bertanya, dia sudah bergegas pulang. Dan gilanya lagi semua yang dilakukannya membuatku salah tingkah.
Pelukannya terasa hangat dan membuatku merasa nyaman. Sejujurnya aku malah ingin dia memelukku lebih lama lagi. Tapi lagi-lagi akal sehatku sepertinya lebih berperan
Kenapa dia tiba-tiba memelukku? Dan berbagai pertanyaan lain yang nggak bisa kutemukan jawabannya.
Jujur, aku shock dan berdebar-debar. Aku ingat perasaan seperti ini, seperti perasaan sedang jatuh cinta. Tidak, semoga kali ini aku salah. Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang dari tadi tidak berhenti berdetak dengan kencang.
Kupejamkan mataku, sosok Mas Graha malah seolah menari-nari di kelopak mataku. Aku benci dengan perasaan ini. Perasaan tidak nyaman yang membuatku kesulitan memejamkan mata, perasaan grogi yang membuatku salah tingkah saat di dekatnya.
Matanya yang menatap dalam mataku, senyumnya yang misterius. Entah kenapa terbayang-bayang terus. Suara beratnya terdengar indah di telingaku. Bahkan hangat tubuhnya saat memelukku masih terasa.
Sepertinya sebentar lagi aku akan gila.
Ini benar-benar terlalu cepat. Aku nggak mau Mas Graha cuma sebagai pelarianku, aku nggak bisa membayangkan orang yang bisa mengalihkanku dari Dion adalah Mas Graha. Mas Graha terlalu baik jika kuanggap hanya sebagai pelarian.
Jika waktu bisa kuputar, mungkin aku berharap Mas Graha lah orang yang aku kenal terlebih dahulu daripada Dion. Dua tahun bersama Dion, yang tersisa cuma rasa sakit. Sepertinya pilihanku pada Dion hanya sebuah kesalahan.
Aku berusaha memejamkan mataku lagi. Ini benar-benar gila, kenapa pikiranku dipenuhi oleh Mas Graha. Nggak...aku tidak bisa seperti ini terus. Aku harus menolak apapun perasaan itu.
***
Aneh sekali, aku sama sekali tidak merasa mengantuk. Rasanya aku cuma tertidur dua jam, setelah alarm ponselku berdering nyaring.
"Mbak May, ditunggu Mas Graha di bawah tuh. Buruan!" Suara Didi terdengar jelas dari luar kamarku. Aku tersentak. Mas Graha???!!!
"Sebentaaaaar!" teriakku.
Mendadak otakku serasa lumpuh, aku kebingungan apa yang harus aku lakukan. Astagaaaa! Aku bahkan belum mandi!!!
Kepanikan bertambah saat aku kebingungan menentukan pakaian yang akan aku gunakan untuk bekerja. Hal yang sangat jarang terjadi karena aku termasuk sangat mempersiapkan diri untuk hal sekecil itu.
Sepertinya aku menghabiskan waktu setengah jam untuk membereskan semuanya ditambah membereskan perasaanku yang tidak karuan.
Ya ampuuuun! Apa-apaan Mas Graha muncul di pagi seperti ini. Dia tidak tahu apa aku sama sekali tidak membutuhkan kehadirannya di pagi ini. Dia benar-benar sudah mengacaukan hariku.
Aku sudah terbiasa pergi ke kantor sendiri semenjak putus dengan Dion. Dan sekarang mendadak Mas Graha menawarkan dirinya, tentu saja aku merasa aneh.
Aku turun dengan hati berdebar. Sudah sepi, Didi pasti sudah dari tadi berangkat ke sekolah, Mbak Rere dan Mas Beri apalagi, sudah dari subuh tadi pasti berangkat. Kalau Mama, jangan ditanya, jam segini dia pasti sudah ada di toko. Kenapa disini seolah-olah aku yang paling pemalas ya?
Semuanya kulakukan dengan terburu-buru. Aku sampai lupa rutinitas yang biasa aku lakukan saat pagi hari. Yang ada di kepalaku hanya Mas Graha.
"May nggak terlambat apa jam segini ke kantornya?" Aku menghentikan langkahku saat suara berat itu terdengar. Dan...tepat seperti dugaanku, debaran di dadaku mulai menggila dan membuat wajahku bersemu.
"Eh...memang biasa jam segini kok, Mas," sahutku gugup. Aku tidak berani membalas tatapan matanya sehingga yang kulakukan hanya menunduk sambil memperhatikan ujung kakiku.
"Seharusnya Mas nggak jemput May, nanti Mas yang telat loh," lanjutku. Mas Graha cuma tersenyum. Duh! Senyumnya lagi-lagi membuatku berdebar.
"Tenang aja, buat hari ini peraturan perusahaan nggak berlaku." Dia tersenyum lagi. Ya ampun, lama-lama aku bisa meleleh kalau seperti ini terus. Senyumnya berpadu dengan penampilannya pagi ini seperti suatu hal yang akan membuat ketagihan.
"Enaknya yang punya perusahaan sendiri," ledekku. Mas Graha tertawa pelan.
"Mau langsung berangkat atau kita sarapan dulu?" tanyanya.
"Langsung ke kantor aja, Mas. May lagi nggak pengen sarapan," jawabku. Aku menolak tawaran Mas Graha bukan karena aku tidak lapar, tapi aku tidak tahu apa aku masih bisa bertahan sebentar lagi jika ada Mas Graha di dekatku. Mendingan nggak sarapan daripada kenyang dengan perasaan berdebar.
"Kenapa? Nggak lagi sakit, kan?"tanyanya.
"Pagi ini ada meeting, May takut telat kalau kita sarapan dulu," kilahku.
"Tapi nanti sarapan ya, jangan nggak."
Ini bukan pertama kalinya Mas Graha mengantarku ke kantor. Tidak ada yang berubah dari status kami, masih seperti dulu. Bedanya hanya kali ini perhatian Mas Graha berkali-kali lebih manis. Dan entah kenapa hari ini aku benar-benar grogi dan kehilangan bahan pembicaraan. Sepanjang perjalanan aku cuma diam, begitu juga Mas Graha. Kami seperti sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku hanya memandangi jalan di luar sana yang terlihat macet karena aktivitas orang-orang di pagi hari. Kehilangan bahan pembicaraan menbuatku seperti orang yang sedang kebingungan.
"Nanti Mas nggak bisa jemput ya, siang ini mau keluar kota lagi. Mungkin pulangnya malam," katanya setelah memberhentikan mobilnya tepat di depan kantorku.
Padahal aku juga nggak berharap Mas Graha jemput. Lagipula aku bukan pacar atau istrinya yang harus diberitahu mau kemana dia hari ini.
"Iya, nggak apa-apa kok, Mas. May bisa pulang pakai taksi," jawabku.
Aku baru mau membuka pintu mobil, tiba-tiba Mas Graha menarik tanganku pelan. Karena kaget, aku hanya terdiam saat wajahnya semakin mendekat. Atau mungkin sebenarnya aku sudah kehilangan cara untuk menjauh darinya
"Kerja yang benar ya, jangan lupa makan," Mas Graha tiba -tiba mencium keningku. Aku terdiam beberapa saat mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Saat tersadar, aku buru-buru menarik badanku yang berjarak begitu dekat dengan Mas Graha. Wajahku terasa memanas dan semuanya memicu jantungku berdebar semakin kencang.
"May kerja dulu ya, makasih buat tumpangannya," kataku buru-buru membuka pintu mobilnya.
Keningku terasa panas. Bukan...bukan cuma kening, seluruh tubuhku terasa memanas.
--