4. Cemburu

1106 Words
Gila...!!! Ini benar-benar gila! Kenapa perasaanku mudah sekali dipermainkan? Aku bahkan masih bisa merasakan hangatnya kecupan Mas Graha di keningku, bahkan wangi parfumnya masih melekat di hidungku. Dan ya ampun, aku bahkan masih bisa mengingat dengan jelas betapa sebenarnya aku sangat menikmati saat berada di dekat Mas Graha. Apa ini artinya Mas Graha sudah menggangap aku sebagai pacarnya? Menyebutkan kata pacar, membuat mukaku terasa memanas. Tapi...bukannya dia belum ada satu kali pun mengucapkan kata-kata yang mengklaim aku sebagai miliknya? Aku rasa pikiranku sudah semakin kacau. Ingat May! Dia Sebastian Nugraha yang berumur tiga puluh tujuh tahun! Sebaiknya aku harus cepat-cepat membuang semua imajinasi bodohku. Hari ini sudah puluhan kali aku bolak balik mengecek ponsel. Kenapa dari tadi tidak ada satupun telepon atau pun pesan masuk? Biasanya jam segini Mas Graha pasti sudah mengubungiku. Astaga, kenapa Mas Graha lagi?! Apa Mas Graha baik-baik saja? Tadi katanya dia mau ke luar kota. Kenapa aku jadi gelisah seperti ini. Perasaan seperti ini benar-benar tidak enak. Rasa tidak enaknya melebihi waktu memikirkan Dion yang ketahuan selingkuh. "Kamu kenapa?" Tiba-tiba Vey sudah ada di sampingku. "Nggak...nggak kenapa-kenapa kok," jawabku gugup. "Dari tadi cuma bengong aja. Kamu lagi sakit?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. Belum saatnya Vey tahu soal hubunganku dengan Mas Graha. "Mikirin Dion lagi?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Sudah nggak mikirin Dion kok," jawabku yakin. "Mas Graha?" tanya Vey dengan suara berbisik. Tubuhku serasa menegang. "Ihhh...apa-apaan sih kamu," jawabku menahan malu. Vey tergelak. Tanpa perlu aku cerita, aku yakin Vey pasti sudah tahu. "Tuh kan, benar yang aku bilang. Mendingan kamu sama Mas Graha aja." "Kamu sok tahu," kataku sambil tertawa. "Pacaran sama cowok yang lebih dewasa itu asyik loh," kata Vey dengan nada genit. Bahkan aku saja tidak tahu apa aku dan Mas Graha sudah pacaran. "Belum pacaran kok," balasku. "Iya...iya, tapi kan sebentar lagi," Vey tersenyum jahil. "Tapi...," ucapanku terhenti. "Nggak penting umurnya, yang penting kamu ngerasa nyaman aja dengan dia," Vey seolah tahu apa yang ada di pikiranku. "Kamu tuh ya, benar-benar sok tahu banget," kataku sambil tertawa. Aku tersenyum sendiri menyadari betapa miripnya aku dengan ABG yang sedang jatuh cinta. Bukan, aku rasa aku belum dalam tahap jatuh cinta, aku baru mengagumi Mas Graha. Apalagi kehadirannya bertepatan saat aku dan Dion baru saja putus. Aku memandangi layar ponselku. Apa harus aku yang menghubungi Mas Graha dulu? Jangan-jangan Mas Graha sedang sibuk. Ah sudahlah, lebih baik aku diam dan tidak memikirkan Mas Graha untuk beberapa saat. *** Sampai tengah malam, Mas Graha belum menghubungiku sama sekali. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Masa dua malam ini aku tidak bisa tidur gara-gara memikirkan orang yang sama. Rasanya tangannku sudah gatal ingin menghubungi Mas Graha dari tadi. Tapi, gengsiku lebih tinggi. Bahkan saat masih bersama Dion, aku tidak pernah sefrustasi ini memikirkannya. Padahal aku saja belum tahu gimana perasaan Mas Graha yang sebenarnya. Apa kalau dia perhatian artinya dia cinta? Apa kalau dia selalu ada buatku, artinya dia ingin memilikiku? Seingatku Mas Graha tidak pernah membahas tentang perasaannya. Atau harus kupancing dulu ya? Ponselku bergetar pelan. Buru-buru aku membuka pesan yang baru masuk. Pesan singkat dari Mas Graha. Kangen Sumpah, rasanya aku hampir tidak bisa bernafas saking senangnya. *** Aku sudah menunggu dari setengah jam yang lalu. Bahkan sampai Didi terheran-heran melihatku yang sudah duduk di teras rumah dengan pakaian rapi. Aku tidak mau Mas Graha menungguku seperti kemarin. Aku yakin Mas Graha akan menjemputku meskipun tidak ada pemberitahuan darinya, kecuali sms singkat darinya semalam. Aku sudah mulai terbiasa dengan Mas Graha yang seperti ini, mengantar dan menjemputku ke kantor. Aku mulai gelisah ketika sudah lewat lima belas menit dari jadwal rutinku berangkat ke kantor. Apa Mas Graha lupa? Atau mungkin pagi ini dia sedang sibuk. Atau mungkin aku yang terlalu percaya diri dan mengganggap Mas Graha pasti menjemputku pagi ini. Ya, pasti aku yang terlalu percaya diri. Mas Graha tidak punya kewajiban apa-apa untuk menjemputku tiap hari. Kami bahkan belum ada hubungan apa-apa. Aku saja yang terlalu terbawa perasaan setiap Mas Graha memberikan perhatiannya kepadaku. Aku menghela nafas panjang, sepertinya aku harus bersiap-siap berangkat ke kantor sekarang. Suara derit mobil yang direm mendadak mengejutkanku saat aku sedang mengunci pintu rumah. Aku menoleh, Mas Graha! "Maaf, agak telat," kata Mas Graha. Aku tersenyum sambil berjalan mendekat ke mobil Mas Graha. Betapa bodohnya aku, kenapa ekspresiku ini menunjukan kalau aku berharap sekali dijemput Mas Graha. "Tadi Mas harus jemput Veni dulu." Senyumku hilang bersamaan saat melihat siapa yang sedang duduk di samping Mas Graha. Buru-buru aku menetralkan perasaanku dan kembali tersenyum. Apa-apaan aku ini, jangan sampai Mas Graha tahu apa yang aku rasakan. "Apa aku pindah aja ke belakang?" Wanita yang bernama Veni itu bertanya ke Mas Graha. Aku sudah membuka pintu belakang mobil Mas Graha dan duduk di dalamnya. "Nggak apa-apa kok Mbak, di depan aja," jawabku lagi-lagi sambil tersenyum. Ya ampun, kenapa kesal sekali rasanya. Siapa wanita itu? Kenapa wanita iu tidak berbasa-basi sedikit pun dengan memperkenalkan siapa dirinya? Kenapa Mas Graha harus menjemput dia? Dan bahkan kenapa Mas Graha seolah-olah tidak perduli padaku sekarang, dia malah sibuk ngobrol dengan wanita itu. Seharusnya aku tidak menunggu Mas Graha tadi. Mas Graha menurunkan aku di depan kantor. Aku mengucapkan terimakasih dan kembali tersenyum kepada wanita itu. Mobil Mas Graha berlalu dan entah kenapa sakit sekali yang kurasakan. Aku berjalan dengan cepat. Aku tahu mataku sudah terasa panas. Bodoh! Kenapa aku mesti seperti ini. Mas Graha sama sekali tidak menjanjikan akan menjemput aku pulang nanti, dia bahkan tidak memandangku saat aku mengucapkan terimakasih. Dan ya ampun, kenapa aku malah merindukan pelukannya seperti yang dia lakukan kemarin. Kenapa aku malah memikirkan perlakuan Mas Graha pada saat seperti ini. Mas Graha sama sekali tidak perduli padaku, bohong saja pesan singkat yang dikirimkannya semalam. Satu tetes air mata terasa mengalir di wajahku. Terakhir kali aku menangis sesakit ini saat Dion ketahuan selingkuh. Dan sekarang aku menangis karena Mas Graha yang bahkan sampai saat ini tidak ada hubungan apa-apa denganku. Dan aku juga bingung sebenarnya apa yang aku tangiskan? Cemburu kah? Seharusnya dari awal aku sudah membentengi perasaanku dari perhatian-perhatian Mas Graha. Lelaki seperti Mas Graha tidak mungkin mau serius denganku yang jauh berumur dibawahnya. Aku pasti hanya selingannya saja. Wajar saja, selama ini dia tidak pernah serius dengan wanita, buktinya sampai saat ini dia masih sendiri. Apa itu bukan bukti yang menunjukan dia tidak butuh wanita? Dan bodohnya aku yang begitu mudah terbawa perasaan. Seharusnya dari awal kutolak saja segala perhatiannya. Padahal rasa sakitku kehilangan Dion sudah mulai membaik. Tapi sepertinya ada satu lagi rasa sakit yang aku terima. Sepertinya aku harus cepat-cepat tersadar dari semua perasaan semu yang diberikan Mas Graha. Aku dan Mas Graha tidak ada hubungan apa-apa, wajar saja dia menganggapku bukan siapa-siapanya.(*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD