5. Marah

1023 Words
Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi hari ini. Setiap pekerjaan yang kukerjakan tidak ada satu pun benar. Sosok Mas Graha menari-nari di pikiranku. Wajahnya seperti melekat dengan jelas di pikiranku dan sulit untuk kuabaikan. Rasanya mirip seperti beberapa hari yang lalu. Bedanya kali ini, setiap sosoknya muncul di pikiranku, saat itu juga aku merasakan sakit hati. Memikirkan dia membawa wanita yang tidak kukenal membuatku kesal. Bagaimaa jika memang seperti itu yang sering dilakukannya, berganti pasangan tanpa ada ikatan yang pasti. Bagaimana caranya melupakan Mas Graha dengan cepat? Kedekatanku dengan Mas Graha saja baru dalam hitungan hari, seharusnya aku bisa melupakan Mas Graha dengan cepat. Ini akibatnya jika aku terlalu terburu-buru menyerahkan perasaanku. Bodoh! Padahal aku baru saja dikecewakan Dion, seharusnya aku tidak secepat ini percaya dengan lelaki, apalagi dengan yang namanya cinta. Lelaki seumur Mas Graha seharusnya sudah menikah dan mempunyai anak. Jika sampai saat ini dia masih sendiri, berarti ada yang salah dengannya. Seharusnya dari awal aku sudah curiga, bukannya malah terbawa permainannya. Ya Tuhan, kalau bisa aku ingin memundurkan waktu dan memperbaiki kebodohanku beberapa hari yang lalu. Seharusnya Mas Graha tidak boleh hadir di kehidupanku. Aku benci dia, aku benci karena dia telah mengambil hatiku. *** Jam dinding telah menunjukan jam sembilan malam. Aku terkejut sendiri, tidak menyangka ternyata sudah selarut ini. Dari tadi aku sengaja menyibukan diri dengan berbagai macam kerjaan. Di saat aku diam, yang ada di pikiranku cuma Mas Graha. Benar-benar menyebalkan. Kepalaku pusing dan mataku terasa bengkak, mungkin efek menangis tadi pagi. Sepertinya aku harus segera pulang. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Aku tertawa miris, kenapa aku masih memikirkan Mas Graha yang akan datang menjemputku? Rasanya sungguh menyedihkan mengalami pataj hati dalam waktu yang berdekatan. Apa memang sudah seperti itu yang seharusnya terjadi padaku? Dengan gontai aku menuju pos satpam untuk memberikan kunci ruanganku.Sepertinya akulah karyawan yang paling terakhir pulang hari ini. "Mbak May, ada yang nungguin dari tadi," kata satpam kantorku saat aku memberikan kunci kepadanya. "Siapa?" tanyaku penasaran. "Nggak tahu, Mbak. Sudah lama dia nungguin Mbak. Tadi saya mau teleponin Mbak May, tapi katanya nggak usah." "Oiya sudah, makasih ya Pak," sahutku. Mungkin Mas Graha, bisikku dalam hati. Semoga dia tidak betah menungguku dan sudah pulang. Aku melihat ke sekeliling, tidak ada mobil Mas Graha yang terparkir. Syukurlah dia sudah pulang. Aku melintas ke seberang jalan. Biasanya jam segini taksi sudah mulai berkurang. Kalau sampai setengah jam belum ada taksi yang lewat, mungkin aku akan menelepon Didi untuk menjemputku. Rupanya kali ini nasib baik sedang berpihak padaku. Sebuah taksi berhenti di dekatku, aku sampai memicingkan mata menghindari lampunya yang menyilaukan. Bergegas aku menghampirinya. Pintu depan terbuka perlahan. "Kenapa ponselnya dimatikan?" Mendadak aku terdiam dan seluruh tubuhku terasa menegang. Mas Graha! "Duduk di depan," katanya lagi. Aku baru saja membuka pintu belakang mobilnya. Rasanya seperti kejadian tadi pagi, bedanya tadi pagi Mas Graha sama sekali tidak memintaku duduk di depan. "Kenapa ponselnya nggak aktif?" Kali ini dia menganti kata-katanya yang menurutku isi pertanyaannya sama saja. "Nggak bawa charger," jawabku asal. Mas Graha menarik dan menghembuskan nafas panjang. Sepertinya dia marah. Masa bodoh, aku bahkan lebih marah lagi daripada dia. Buat apa juga dia marah padaku, aku juga bukan siapa-siapa buatnya. Mas Graha menjalankan mobilnya tanpa berkata-kata lagi. Aku menatapnya diam-diam. Ya ampun, kenapa aku masih saja terpesona dengannya. Sadar, May!!! Aku tidak berniat memulai pembicaraan dengan Mas Graha. Aku harap ini terakhir kalinya aku berhubungan dengannya. Lagi-lagi aku harus jujur, berhubungan dengan Mas Graha benar-benar menguras pikiran dan perasaanku. "May marah sama Mas?" tanyanya tiba-tiba. Aku melirik sekilas. Awalnya aku ingin mendiamkannya dengan tidak menjawab pertanyaannya tapi setelah dipikir sepertinya aku terlalu kekanak-kanakan. "Nggak, ngapain juga marah," sahutku dingin. Kemudian diam lagi. Hampir saja aku ikut-ikutan menghela nafas seperti yang dilakukannya. "Makasih sudah jemput May, besok Mas nggak perlu jemput May lagi kok," kataku ketika mobilnya berhenti di depan rumahku. "Kenapa? Oiya, besok kan sabtu ya," sahutnya. Dasar lelaki tidak peka, aku mengumpat dalam hati. Rasanya sungguh kesal saat tidak ada satu pun permintaan maaf keluar dari mulutnya. "Maksud May, Mas nggak perlu antar jemput May lagi....selamanya," jawabku sambil membuka pintu mobilnya. "Tunggu! Apa maksudnya?!" Mas Graha menarik tanganku. "May cuma beban buat Mas. Mas nggak ada kewajibanku buat antar jemput May tiap hari," jelasku sambil berusaha membuka pintu mobilnya. Sial, rupanya Mas Graha telah mengunci pintu mobilnya. "Kenapa hari ini May aneh banget, seharian nggak aktifin ponsel, terus sekarang tiba-tiba aja ngomong aneh kayak gini. Sebenarnya ada apa?" Aku menggeleng dan menyembunyikan wajahku, rasanya sebentar lagi air mataku akan keluar. "May nggak mau jadi beban buat Mas, " jawabku tertahan. "Itu sama sekali nggak pernah terlintas di pikiranku, May. Kamu bukan beban buatku." Sekarang Mas Graha berbicara menggunakan aku-kamu. Sepertinya dia sudah benar-benar marah. Aku tidak perduli, berdebat dengannya hanya membuat perasaanku terasa sakit. "Mas berhak kok ngabisin waktu dengan wanita-wanita lain, bukan dengan May," kataku. Sekilas aku melihat kilatan di mata Mas Graha. Toh memang benar yang aku ucapkan, dia adalah lelaki bebas. Jadi terserah dia mau berhubungan dengan wanita mana pun. "Jadi kamu maunya aku seperti itu?" tanyanya. Tubuhnya sudah mendekat ke arahku. Aku bisa merasakan aura kemarahan Mas Graha. "Dengar May, kalau wanita yang kamu maksud tadi itu adalah kamu, aku masih berhak bukan?" Mas Graha berbisik di telingaku. "Nggak, May nggak mau! Mas suka mempermaikan perasaan May." Rahang Mas Graha terlihat mengeras dan matanya menatapku tajam. Tangannya kemudian ditekan ke sandaran kursiku, dia mengunciku sehingga aku tidak bisa bergerak. "Lepas, Mas! May mau pulang," pintaku. Tiba-tiba saja sesuatu yang hangat menyentuh bibirku. Beberapa detik kemudian, aku baru tersadar kalau bibir Mas Graha sudah menekan bibirku. Aku mendorong tubuhnya, tapi dia tidak bergeming. Malah sekarang dia memeluk tubuhku erat sekali dan lidahnya menjelajahi rongga mulutku. Ciumannya terasa sarat akan emosi. "Maaf," seperti tersadar dia melepaskan ciumannya. "Maaf sudah membuat May kesal hari ini, maaf sudah membuat May menangis," katanya lagi. Mas Graha menyentuh pipiku dan menghapus air mata yang sudah tidak bisa kutahan lagi. "Pulanglah, May pasti lelah hari ini." Mas Graha mengelus kepalaku dan membukakan pintu buatku. Aku mengganguk. "Nyalakan ponsel, jangan berpikiran buruk lagi. Langsung tidur ya," lanjutnya. Sepertinya aku sudah jatuh terlalu dalam padanya. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD