Perjuangan Menghindari CCTV

1108 Words
Seminggu berlalu, tidak ada kabar dari pihak RSJ. Sampai akhirnya ada sebuah video baru di channel mereka. Ternyata Sushi partner Rori sebelum Vanila datang sudah kembali. Ia mendokumentasikan kondisi terbaru Rori. Ternyata kambuhnya saat itu bukan main - main. Sampai Rori jatuh dalam keadaan koma.     "Ntar Bang Mara galau lagi habis nonton." Samran segera memperingatkan sebelum Asmara benar - benar kembali down seperti saat itu.    "Kalau kata aku, Mas Rori itu karena dia telat penanganan, Bang. Jadi kalau dilihat dari vlog dia, dia baru tahu sakit saat stadium kanker nya udah parah. Jadi lah keadaannya lebih nggak stabil dari kita. Kota doain yang terbaik buat dia. Tapi jangan sampai kitanya malah ikutan down dan drop kondisi." Samran segera bertutur banyak berharap Asmara bisa mengerti maksudnya.     "Iya, aku ngerti kok. Kapan hari itu aku ngerasa takut aja. Bukannya aku takut kambuh, takut mati. Aku takut kalau sewaktu - waktu kambuh, terus aku harus dibawa ke rumah sakit, terus kamu sama Sam bakal disalahin. Itu yang aku takutin." Asmara akhirnya menjawab jujur, sebuah perasaan tulus dari dasar hatinya yang paling dalam.     "Padahal aku ke sini kan atas kemauanku sendiri. Bukan kalian yang nyuruh aku ke sini. Aku ke sini murni karena aku udah bosan dengan suasana rumah sakit. Aku udah bosan sama aturan - aturan dari ayah dan bunda yang bahkan nggak pernah ada waktu buat aku. Yang bahkan nggak pernah benar - benar care sama aku."     Samran terdiam setelah mengetahui apa ketakutan Asmara yang sebenarnya. Ternyata ia begitu memikirkannya dan Samara.    "Kita pasrahkan aja semuanya sama Tuhan, Bang. Aku sama Ibuk juga pasrah aja deh kalau seandainya disalahin. Tapi aku tetep berharap semoga kondisi Bang Mara tetep stabil terus."     Asmara tersenyum mendengar ucapan tulus Samran. "Aamiin."     "Aamiin." Samran pun ikut mengaminkan. "Tapi, Bang. Kita enaknya nengokin Mas Rori nggak sih?"     "Ya seharusnya nengokin. Meskipun baru kenal sebentar, tapi kan kita terikat sama mereka tentang kolaborasi. Dan juga sebagai wujud empati kita sebagai sesama manusia."     "Iya, aku ngerti. Tapi Mas Rori kan dirawat di rumah sakit yang sama kayak kita, Bang. Nanti kalau Bang Mara ketahuan, terus diiket disuruh tetep di sana gimana?"     Asmara tergelak meski sebenarnya ia pun sangat khawatir akan ketahuan. "Ya nggak diiket juga kali."     "Terus gimana dong?"     "Nyamar lah biar nggak ketahuan."     "Emang bisa? Kanula sama tabung oksigennya Bang Mara gimana ntar?"     "Gampang itu mah."     "Jangan gampang - gampang aja. Gimana ntar?"     "Gampang, Samran. Oke kita tunggu Sam pulang, terus langsung berangkat oke."     "Duh, jawab dulu nanti gimana, Bang?"     "Cerewet, mending buruan lanjut ngedit video kita, biar cepet bisa di - upload."     Samran pun cemberut, dan pasrah kembali mengedit video konten mereka.    ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     Ketiganya mengintip dari balik dinding tempat mereka sembunyi. Ada yang berbeda, dari penampilan Asmara. Hari ini ia tidak memakai kanula dan meninggalkan tabung oksigennya. Dengan dalih, hanya sebentar. Selepas menjenguk Rori ia akan kembali memakai semuanya.    Kanula dan tabung oksigen ia letakkan di dalam tas ransel yang ia titipkan di toko buku depan rumah sakit. Asmara ingin menyamar dengan mudah saja sebenarnya, seperti memakai masker contohnya. Tapi hal itu aja semakin mengganggu pernapasannya. Karena ia tidak memakai kanula.    Asmara pun memakai topi kupluk. Menurut Asmara, jika ia berdandan terlalu mencolok, ia justru akan semakin mudah ketahuan. Makanya ia hanya berdandan biasa saja, namun menyamarkan penampilannya dengan memakai kaca mata.     "Di sana ada cctv. Kita lewat pinggir aja, biar nggak ketangkep kamera." Asmara memberi instruksi.     "Emang ICU ada di mana sih? Masih jauh dari sini nggak?" Samran terlihat paling panik, karena di antara ketiganya, penampilannya lah yang paling sulit disamarkan, karena ia memakai kursi roda.     "Lumayan masih jauh. Tapi insyaallah aman. Tenang, adek ipar. Nggak sia - sia aku di sini lama banget. Aku jadi hafal di mana mereka naruh cctv, dan hafal jalur - jalur sepi yang jarang dilewati tenaga medis."     "Benera aman kan bang?"     "Ya elah, iya Samran. Iyaaaa. Jangan panik - panik kenapa? Itu si Sam aja diem dari tadi."     "Ya Ibuk diem gara - gara nahan takut sebenarnya. Iya kan buk?"     Samara mengangguk pasrah. Hari ini penampilannya berbeda. Ia memakai gamis dan jilbab. Karena sekali lagi itu adalah usaha untuk menyamarkan penampilan mereka supaya tidak ketahuan.     "Tenang ya, Sam. Percayakan semua ke aku. Kita pasti selamat, nggak akan ketahuan. Masya Allah, duh, kamu beneran makin cantik pakai jilbab kayak gitu, Sam. Benar - benar kayak bidadari. Bidadari surgaku."     "Masih sempet - sempetnya nge gombal lagi." Samran geleng - geleng tak percaya.     Asmara hanya terkikik.     "Mara kamu nggak apa - apa, kan? Nggak sesek kan napasnya?" Samara sekali lagi bertanya. Sepertinya ia memang akan sering menanyakan hal itu sepanjang hari ini.     Asmara menggeleng. "Jangan terlalu khawatir, Sam. I'm okay. Makasih perhatiannya, ya." Asmara benar - benar bahagia diperhatikan oleh Samara.     "Oke, cus. Kita melipir ke kanan biar nggak kelihatan cctv. Cus." Asmara kembali memimpin mereka melewati jalan yang benar. Menghindari setiap cctv yang ada.     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     Mereka akhirnya sampai di sana -- tujuan mereka -- ruang ICU. Ya mereka tahu tidak akan bisa melihat kondisi Rori dari dekat. Melainkan hanya bisa melihat dari jauh melalui dinding kaca.    Vanila dan Sushi ada di sana. Menyambut mereka dengan ramah. Keduanya nampak lelah, namun berusaha tetap ceria.     "Kalian udah dateng." Vanila segera menyambut mereka. "Kenalin ini Mas Ardi. Kalian pasti udah tahu dia siapa, kan?" Vanila memperkenalkan mereka bertiga pada Sushi.     Mereka segera saling berjabat tangan dan mengenalkan diri.     "Tapi kok Ardi? Bukannya Sushi ya namanya?" Samran yang menyeletuk.    "Iya, Sushi itu nama kesayangan. Kalau nama asli, Ardi." Sushi sendiri yang menjelaskan.     Mereka bertiha hanya ber - oh ria.     "Tuh, Rori ada di sana. Dia masih belum sadar." Vanila menunjuk keberadaan Rori.     Samran, Asmara, dan Samara segera menatap ke ruangan yang dikelilingi dinding kaca itu. Rori terbaring di sana dengan kedua mata terpejam. Rautnya begitu pucat. Dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya, menyokong kehidupannya.     "Dia habis operasi ya, Mbak?" tanya Vanila, meski ia sebenarnya sudah tahu dari vlog RSJ.     "Iya, operasi pemotongan ususnya yang ada kanker. Alhamdulillah operasinya sukses. Cuman karena operasi dilakukan saat kondisinya kurang baik, dia malah koma setelahnya."     "Semoga Mas Rori segera sadar ya, Mbak."     "Aamiin."     Mereka kembali menatap Rori dalam diam.     Samran pun takut. Ia hanya diam memperhatikan. Terbayang jika seandainya ia ada di posisi Rori. Pasti Samara akan sangat sedih.     Rori punya Vanila, punya Sushi, punya orang tua yang bisa bergantian menjaganya. Sementara ia? Ia hanya punya Samara. Samara pasti akan sangat kerepotan mengurus dirinya sendirian.     Sementara Asmara pun diam. Ia kembali memikirkan seandainya ia mengalami apa yang Rori alami. Apakah orang tuanya akan menjadi peduli seperti orang tua Rori? Atau hanya tetap cuek, membiarkannya terbsring dalam keadaan koma, sendirian di dalam ruang ICU?     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD