"Sebenernya, nih, Bang ... aku sama Ibuk udah rencanain hal gila pas mau jenguk Bang Mara." Samran sepertinya mulai bosan dengan sesi belajarnya dengan Asmara.
Asmara masih fokus ke layar laptop Samran. Ia konsentrasi mengedit desain undangan pernikahan. "Rencana gila apa?"
"Jadi, aku sama Ibuk harus mastiin semua aman sebelum Bang Mara sama Ibuk kencan nonton bioskop. Ibuk nyuruh aku pura - pura jadi Bang Mara!" Samran bercerita dengan menggebu - gebu.
"Pura - pura jadi aku?" Asmara masih fokus ke layar.
"Iya. Jadi Ibuk nyuruh aku gantiin Bang Mara tidur di brankar, ditutup pakek selimut biar nggak kelihatan! Jadi lah, Bang Mara sama Ibuk kencan dengan aman dan damai dengan risiko ketahuan yang menipis!"
Baru lah fokus Asmara teralih. Pemuda itu cekikikan sendiri. "Mana mungkin Sam punya ide gila macam itu. Itu pasti ide kamu, kan?"
"Yah ... si abang nggak percaya. Itu asli idenya Ibuk, Bang. Sekarang Bang Mara tahu, kan, betapa gilanya Ibuk? Meskipun kelihatannya kalem, Ibuk punya sisi lain yang suka bikin suprise. Mungkin Ibuk punya kepribadian ganda!"
"Hus ... ngawur kamu!"
"Ya ampun, serius Bang!"
"Udah ... udah ... mending kita fokus bikin contoh - contoh undangan. Undangan kawin, sunat, tahlilan, yasinan, dan lain - lain. Bikin undangan yang keren dan beda dari pasaran. Biar orang - orang pada tertarik."
"Ish ... dari tadi Bang Mara asyik ngerjain desain - desain itu sendiri. Jelasin ke aku beberapa doang waktu inget. Ya mana aku ngerti? Aku bosen!"
Asmara tergelak. "Ya sorry, deh. Habisnya aku kudu konsentrasi penuh. Fokus kita dalam waktu dekat adalah dapet duit lebih buat biaya hidup. Kan demi kamu juga, Adek Ipar!" Asmara nyengir kuda.
Samran cemberut. "Iya ... iya ...."
Selesai membuat beberapa contoh desain, Asmara dan Samran keluar rumah membawa USB berisi desain - desain itu. Mereka menuju ke salah satu warnet untuk mencetak undangan - undangan mereka.
~~~~~ASMARA SAMARA - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Tentu saja mereka menjadi pusat perhatian. Asmara dengan kanulanya, mendorong Samran yang berkursi roda. Sungguh bukan pemandangan yang biasa. Apalagi untuk anak - anak muda tampan seperti mereka.
Asmara dan Samran tersenyum puas melihat hasil cetak undangan mereka. Ya ... walaupun kertas yang digunakan seadanya. Karena warnet tidak menyediakan banyak pilihan kertas.
"Kita langsung woro - woro ke warga, nih, Bang?" tanya Samran sekeluar mereka dari warnet.
Asmara mengangguk. "Lebih cepet lebih baik, kan? Kamu pasti kenal sama warga sini. Nanti kamu yang sosialisasi ke mereka, ya!"
Samran menggeleng. "Bukannya aku nggak mau, nih, Bang. Tapi aku emang kurang kenal sama warga sini. Mungkin hanya tahu beberapa. Mengingat aku jarang banget keluar rumah. Males banget dilihatin orang di sana - sini. Ini aja kita udah jadi bahan gunjingan orang - orang."
Samran melirik kerumuman orang dalam warnet yang menatap mereka dengan berbagai reaksi. Ada yang iba, ada yang kagum, ada yang terpesona. Belum lagi tatapan aneh dari pada warga yang sedang berghibah di teras rumah.
"Ih ... kamu, tuh, gimana sih? Justru bagus kalau kita jadi pusat perhatian. Artinya, kita nggak perlu ngotot buat cari pasar."
"Maksudnya?"
Asmara tersenyum penuh keyakinan. Bukannya menjawab pertanyaan Samran, ia malah mengambil ancang - ancang untuk lanjut melangkah.
"Mas, makasih, ya. Jangan lupa kasih tahu warga kalau aku sama Samran buka jasa bikin undangan!" Asmara bicara dulu pada penjaga warnet sebelum pergi.
Penjaga warnet berambut gondrong itu hanya menjawab dengan gestur oke, seraya mengangguk. Ia sedang sibuk melayani anak - anak sekolah yang minta tolong mengerjakan PR dengan mencari jawaban di internet.
Asmara benar - benar mendorong kursi roda Samran setelahnya. Sekarang saatnya Asmara membuktikan pada Samran, bahwa mereka benar - benar tak butuh usaha lebih untuk memasarkan desain, berkat perhatian penuh dari warga pada merela saat ini.
"Siang, Buk ...." Asmara menghentikan laju kursi roda Samran di depan rumah salah satu warga.
Samran masih belum mengerti apa maksud Asmara melakukan hal ini. Sekarang ia malah memanggil ibu - ibu itu. Terang saja mereka di sana berbisik - bisik, semakin heran dengan keberadaaan Asmara dan Samran yang sejak tadi mereka ghibahi.
Sebaliknya, Asmara tetap pasang tampang kalem, dengan senyum manis anti luntur. "Boleh minta waktunya sebentar?"
Ibu - ibu itu sibuk saling mendorong. Mereka bingung hendak menanggapi Asmara dan Samran atau tidak.
Sang pemilik rumah memutuskan untuk maju duluan menghampiri Asmara dan Samran. Diikuti ibu - ibu lain.
"Ada apa, ya, Mas?" tanyanya. Nada dan mimiknya tak ketus, justru nampak berusaha tersenyum, meski nampak aneh karena tak tulus.
"Kenalin, Bu, saya Asmara. Ini Samran. Sebenarnya kami masih punya satu kru lain namanya Samara. Tapi dia masih sekolah, belum pulang." Asmara memperkenalkan diri dengan ceria, tanpa beban sama sekali.
Sebaliknya, Samran merasa sangat tak nyaman. Ingin rasanya ia pergi sekarang juga. Ibu - ibu itu nampak bingung karena nama mereka berbelit, diputar - putar, dan hampir sama.
"Saya orang baru di sini. Belum izin RT, sih. Tapi bakal izin secepatnya. Sementara Samran dan Samara, asli sini. Mereka tinggal di rumah pojokan, tuh!" Asmara menunjuk arah rumah yang ia maksud.
Ibu - ibu itu sepertinya sudah paham. "Oalah ... rumahnya almarhum Pak Bachtiar. Kamu anaknya Pak Bachtiar yang waktu kecil pernah sakit polio, itu?" Sang pemilik rumah bertanya pada Samran.
Samran menggeleng canggung. "Iya, saya anaknya Pak Bachtiar. Tapi saya nggak sakit polio, Bu. Cuman step gara - gara panas tinggi."
"Ya pokoknya itu maksud saya. Ya Allah ... kamu kok udah gede banget tiba - tiba. Nggak pernah keluar, sih. Harusnya kamu sosialisasi biar kami kenal kamu."
Samran cengengesan. Bingung harus menanggapi bagaimana.
"Nah ... Ibu - ibu ... jadi kami ke sini tadi emang buat sosialisasi!" Asmara kembali menyerobot pusat perhatian. Memanfaatkan kata sosialisasi yang didahului oleh sang ibu.
Ia mengeluarkan binder kecil berisi desain - desain undangan. "Kami buka usaha kecil - kecilan, bikin undangan berbagai macam acara. Ini contoh - contohnya. Harganya murah meriah semua, dengan kualitas tinggi. Kertasnya nanti nggak begitu, Bu. Bisa request segala macem jenis kertas."
Asmara menyerahkan bindernya. Para ibu antusias melihat - lihat contoh desain mereka.
"Wah ... undangan yasin sama tahlil aja sebegini bagus?"
"Ini undangan kawinannya juga bagus. Simple tapi kelihatan mewah gitu. Harganya juga murah."
"Kebetulan anak saya mau sunat. Ntar pesen undangan di kalian aja, deh. Dua minggu lagi acaranya."
Betapa antusiasnya mereka, bukan?
"Alhamdulillah ...," ungkap Asmara. "Ntar Ibu langsung ke rumah aja, ya. Kita bicarain tentang desain, waktu, tempat, dan detail acaranya."
"Oke. Ntar saya ke sana sama suami."
"Bu, minta tolong, ya. Kasih tahu warga kalau kami bisa bikin undangan."
"Boleh ... boleh .... Ntar kita sampaiin. Itu, lho, kalian harusnya bikin selebaran gitu. Ditempel di tembok - tembok gang."
Asmara mengeluarkan selebaran yang dimaksud ibu itu. "Sudah, Bu!" Ia menggunakan selebaran - selebaran itu sebagai kipas.
"Wah ... kalian anak - anak muda yang kreatif dan cerdas. Meskipun sakit, tapi kalian mau berkarya dan bekerja keras. Banyak, lho, anak - anak muda yang males. Lebih milih ngamen dan minta - minta. Padahal mereka sehat wal afiat."
"Alhamdulillah, Bu .... Kami mau nyari rezeki yang berkah dan diridhoi Allah aja."
"Ih ... gemes." Ibu itu mencubit pipi Asmara tanpa ragu. "Kalau boleh tahu kalian ini sakit apa sebenarnya."
Asmara tetap menanggapi segala macam pertanyaan dengan tenang. "Saya paru - paru, Bu. Makanya bawa oksigen ke mana - mana. Kalau Samran, kakinya jadi lumpuh gara - gara sering step saat masih kecil itu." Asmara tak menjawab detail perkara penyakit mereka. Yang penting cukup untuk menjawab rasa penasaran ibu - ibu.
Mereka nampak terenyuh. "Semoga usaha kalian lancar, ya. Semoga sukses. Semoga cepat sembut juga sakitnya."
"Aamiin, makasih doanya. Saya tunggu pesanan undangan dari ibu - ibu semua dan juga warga lain," ucap Asmara final, sebelum berpamitan.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Pembuatan video perdana dengan Samara. Gadis itu nampak benar - benar menggemaskan. Sosok yang biasanya dingin, mendadak malu - malu kucing dan sangat kaku saat sedang syuting.
"Masukkan lada secukupnya aja." Samara mengatakannya dengan tampang datar.
Asmara dan Samran sampai sakit perut karena terlalu lama menahan tawa. Niatnya Samara ingin membuat video memasak ala Tasyi Athasyia, namun dengan konten makanan rumahan.
Backgroud yang digunakan juga sangat tradisional, kain batik warisan mendiang ibu.
Samara juga tak berdandan aneh - aneh. Hanya memakai jepit rambut, dan mengenakan gaun warisan mendiang ibu yang biasa ia gunakan untuk bertemu dengan Asmara.
Hasil akhirnya? Samara bukannya terlihat seperti Tasyi Athasyia, tapi malah nampak seperti arwah penasaran zaman dahulu kala, dalam film horor Indonesia berlatar belakang masa lampau.
Raut kaku Samara benar - benar menjadi ciri khas.
Tiba - tiba ....
Terjadi sebuah hal spektakuler. Lada yang dituangkan Samara bukannya keluar dari lubang - lubang kecil wadahnya. Justru tutup wadah itu terbuka sepenuhnya. Jadilah, lada tertuang semua dalam oseng - oseng yang sudah hampir jadi.
Baik Samara, Asmara, ataupun Samran ... semuanya terdiam. Masih denial dengan apa yang baru saja terjadi.
"Cut!" Asmara tersadar paling dulu. Ia segera menghentikan pengambilan gambar dari kamera ponsel ala kadarnya milik Samara, bergantian dengan milik Samran. Mengingat ponsel canggih Asmara masih disita oleh Rafi.
"Hehe ... nggak apa - apa. Kita cut bagian itu. Ntar aku edit yang bagus, nggak perlu syuting lagi kok." Asmara berusaha mencairkan suasana.
"T - tapi nanti kita, kan, nyicipin makanannya. Biar benar - benar meyakinkan rasanya enak. Kalo ladanya kebanyakan gini, rasanya ...." Samara sampai tergagap - gagap.
"Ibuk grogi banget, ya, sampek ceroboh banget gitu?" Samran heran karena tak biasanya Samara seperti ini.
Samara sudah hendak menjawab ucapan Samran. Tapi buru - buru disela Asmara.
"Nggak apa - apa." Asmara buru - buru menyendok gumpalan lada yang belum tercampur dengan oseng - oseng. Mengembalikannya ke dalam wadah.
Selesai, pemuda itu segera mencampur oseng-oseng dengan sisa tumpahan lada. Lalu menyicipinya. "Hmh ... tetep enak kok. Rasanya mantep, ya walaupun agak pedes dikit. Hacuh ...." Asmara bersin karena aroma lada.
Samran tertawa terpingkal - pingkal. Sebaliknya Samara justru sibuk mengkhawatirkannya.
"Mara, kok kamu makan pedes, sih? Udah, jauh - jauh sana, biar nggak bersin lagi!" Samara mengambil alih oseng - osengnya kembali.
"Tenang, Sam. Cuman makan sesendok. Lagian bersin nggak bikin aku mati kok. Uh ... aduh ... jantungku deg - deg - ser kamu khawatirin begitu."
Samara tersenyum malu - malu. Kedua pipinya menyemu merah.
Samran memutar bola matanya karena kelakuan dua orang itu. Ia baru ingat, setiap kali Asmara dan Samara bertemu, ia akan menjelma menjadi kambing congek. Ia jadi menyesal kemarin - kemarin mendorong Samara untuk segera menemui Asmara.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
-- T B C --