Part 02: Muliya, Sang Adik Ipar

2471 Words
"Mas, udah tiga hari ini Farel jadi pemurung." Adimas dan Bram yang mendengarkan penuturan Sofi kompak mendesah panjang, jelas saja Farel jadi pemurung. Anak sekecil itu pasti merasa terguncang karna kepergian Ibunya. Adimas yang baru saja hendak menyuapkan nasi ke mulutnya langsung tak berselera, meletakkan kembali sendok ditangannya ke atas piring. "Hhh ... biar aku cek dulu, Mah." Sofi dan Bram yang melihat raut kusut dan lelah anaknya jadi merasa iba, tak pernah mereka duga kalau Adimas akan menyandang status duda diumur semuda ini. Dan lagi Adimas kehilangan istrinya karna melahirkan buah hatinya, pasti Adimas merasa tertekan beberapa hari ini. "Aku jadi gak tega sama Adimas, Pah." Sofi menghela napas pelan dengan raut muram. "Iya, nasibnya kurang beruntung. Disaat dia harusnya bahagia ngerayain kelahiran anak keduanya, dia malah ditinggalkan istrinya." Balas Bram berkomentar. Sofi dan Bram akhirnya hanya bisa saling berpandangan, dengan raut sedih yang tercetak jelas. *** Farel meringkuk dipojok kamar, lampu kamar sengaja ia matikan membuat keadaan temaram kian mencekam. Adimas yang baru membuka pintu kamar anaknya tersentak mendapati keadaan kamarnya, karna harus mengurus banyak hal membuatnya belum sempat bicara dari hati ke hati dengan Putra sulungnya ini. "Farel." Farel tak merespon, menoleh saja tidak. Adimas menghela napas, melangkah pelan mendekati anaknya. Melihat Farel yang ditutupi selimut tengah meringkuk dipojokan dengan kepala disembunyikan diantara lipatan kaki membuat perasaan Adimas langsung memberat. Lelaki 35 tahun ini sekuat tenaga menahan isakannya. Karna sekarang hanya ia yang bisa menjadi penopang keluarganya. "Farel, kamu sudah makan?" Farel makin mengeratkan selimut yang membungkus tubuhnya, seolah tak ingin diajak bicara. Adimas yang melihatnya pun mengusap wajahnya frustasi, berjongkok didepan anaknya. "Farel sayang jawab Papah..." Adimas mengusap lembut rambut Farel. "..." "Farel mau apa, hm? Atau Farel mau jalan-jalan ke kebun binatang? Katanya waktu itu kamu mau ke kebun binatang lihat jerapah yang lehernya panjang." "..." Tetap tak ada sahutan dari lawannya, seolah bocah ini sudah berubah menjadi patung batu. "Fareeel..." Adimas mendesah panjang, sudah kehabisan akal. Hubungannya dengan anaknya memang tidak sedekat itu sampai membuat Farel mau bicara dari hati ke hati dengannya, karna biasanya Farel diurus Ratna. Ratna ..... mengingat namanya saja membuat setetes bulir bening terjatuh dari ujung matanya. Kenapa begitu menyakitkan cobaan yang engkau beri kepada hambamu ini. "Gimana Mas?" Adimas menggeleng lemah, sudah tak bisa berkata apa-apa lagi. Sofi mengusap wajahnya, ia juga tidak bisa membujuk Farel. Ia pikir dengan Adimas maka Farel akan mau bicara, tapi nyatanya malah sebaliknya. "Farel jadi pemurung dan gak pernah ngomong sejak 3 hari yang lalu. Bahkan kalau makan cuma sehari sekali, ini tidak baik untuk tubuhnya." Tutur Sofi jadi cemas. Adimas mendongak, menatap ragu Mamahnya. "Apa ... sebaiknya kita bawa Farel ke psikiater?" "Astagfirullah Mas!" Sofi dan Bram memekik kompak, kaget setengah mati dengan pemikiran anaknya ini. "Farel anak kamu, jadi jangan pernah sekali-kali mikir buat bawa dia ke tempat seperti itu!!" Bentak Bram marah, jelas saja ia marah mana ada Kakek yang membiarkan cucunya dibawa ke psikiater. Apalagi kondisinya Farel cuma butuh dukungan penyemangat saja. Seharusnya sebagai Papahnya Adimas bisa membujuk anaknya. Farel mengusap wajahnya frustasi, kepalanya rasanya seperti akan meledak pecah. "Aku juga gak tau harus ngapain, aku bingung Pah." "Gimana sih kamu! Dia itu anak kamu Mas!" Sembur Bram keras. Adimas menunduk dalam, memainkan jarinya tak bisa membantah. "Biasanya Ratna yang selalu jagain Farel, aku cuma main sama Farel pas weekend aja." Jawabnya pelan, jadi merasa bersalah karna selama ini kurang memperhatikan anaknya. Sofi sudah menggeleng-geleng kaku, memang Adimas dan Ratna punya rumah sendiri sehingga Sofi tak tau kalau anaknya ini sungguh begitu bodoh. Tapi semenjak kematian Ratna, Adimas memutuskan untuk tinggal dirumah orang tuanya agar tidak kerepotan mengurus Farel. Bahkan anak keduanya saja sekarang ada dirumah mertuanya karna semua orang tengah sibuk mengurus berbagai hal. Sofi perlahan mengeluarkan HP dari sakunya, membuat Bram dan Adimas menatap penasaran. Sofi mendial nomor seseorang. "Assalamualaikum Muliya, Tante boleh minta tolong kamu kesini sekarang?" *** "Ututu ... si gembul lucu banget Buk, HAHAHA!!!" Muliya tertawa terpingkal-pingkal saat melihat respon lucu Gea yang pipinya tengah ia uyel-uyel. Jamiatun yang membawa sebotol asi ditangannya menggeleng lelah. "Adik kamu jangan digangguin terus, kasian!" Jamiatun bahkan sampai capek untuk menasihati Putri bungsunya ini. Muliya cengengesan, menyerobot botol di genggaman Ibunya dengan cepat. "Biar aku aja yang kasih asi!" Ucapnya sangat semangat. Beruntungnya tetangga mereka ada yang habis lahiran, dan tak keberatan memberikan asupan asi untuk Gea. Jadi setidaknya bayi lucu ini akan mendapatkan nutrisi yang baik. Drrrt... Drrrt... "Lia, HP kamu bunyi tuh!" Jamiatun mengarahkan dagunya ke HP yang ada diatas nakas. Muliya yang sedang asik memberi s**u Gea tak berniat menoleh. "Ibuk aja yang angkat, aku lagi sibuk." Jamiatun mendengus keras, sudah tak kaget lagi dengan sifat seenak udelnya Muliya. Ibu 45 tahun itu perlahan menggapai HP anaknya, sedikit mengernyit saat melihat nomor orang yang menelepon. "Assalamualaikum Muliya, Tante boleh minta tolong kamu kesini sekarang?" Jamiatun tersentak, belum juga dirinya berucap. Besannya ini sudah buru-buru meminta tolong. "Ehm, waalaikumsalam. Maaf Bu Sofi ini saya." "Eh, Bu Tun?! Aduh maaf Bu saya gak tau." "Iya, gak papa. Ngomong-ngomong kenapa ya Bu, Muliya disuruh kesana?" Jamiatun mengangkat alisnya heran. "B-begini Bu Tun, Farel beberapa hari ini jadi pemurung dan gak pernah ngomong. Karna saya dan Adimas gak bisa bujuk Farel, saya harap Muliya mau mencoba untuk membujuknya." Jamiatun terperanjat kaget begitu mendengar penuturan Sofi, saking fokusnya ngurus Gea ia sampai lupa dengan cucu nya yang lain. "Ya ampun! Apa parah Bu? Saya kesana sekarang!" "Bisa dibilang parah Bu, ehm ... kalau saran saya Bu Tun lebih baik tetap dirumah jaga Gea. Karna gak baik kalau bawa-bawa bayi dalam perjalanan." Jamiatun terdiam, melirik Gea yang hampir terlelap sambil ngemut dot. Muliya jadi ikutan menatap Ibunya, merasa kepo. "Hm, Bu Sofi benar. Kalau gitu saya akan suruh Muliya kesana sekarang." "Terimakasih banyak ya Bu." Jamiatun tersenyum kalem, "santai aja lah, kita kan besanan." "Hahaha, yaudah kalo gitu telponnya saya matiin sekarang ya Bu. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Jamiatun meletakkan kembali HP Muliya keatas nakas, berjalan mendekati Muliya yang sudah menunggu penjelasan. "Kamu siap-siap ke rumah Iparmu, Farel sakit." "Ha! Farel sakit apa?!" Kaget nya berjingkat. "Farel gak mau ngomong dan jadi pemurung, karna mereka gak bisa bujuk Farel jadi Bu Sofi berharap kamu bisa bujuk Farel." Muliya melotot kaget, "k-kok aku Buk?! Aku mana bisa!" Belum-belum ia sudah insecure duluan. "Coba dulu makanya! Sekarang siap-siap gih!" Jamiatun menarik lengan Muliya paksa. "Tap-" "Mau siap-siap sekarang, atau mau Ibu gantiin baju kamu disini!" Ancam Jamiatun galak membuat Muliya langsung berdiri dan berlari tunggang langgang ke kamarnya. Masalahnya Ibunya kalo udah ngancem gak main-main. Pokoknya the power of emak-emak! *** "Assalamualaikum!" Ceklek. "Waalaikumsalam." Adimas membuka pintu berbahan kayu jati didepannya, wajah kusutnya adalah hal pertama yang Muliya lihat. Jelas aja sih Adimas jadi lusuh dan kusut begini, pasti dia tak sempat mengurus diri karna situasinya sedang kacau. "Ayo masuk Lia." Adimas membuka lebar pintunya, mempersilahkan Muliya mengekor dibelakangnya. "Assalamualaikum Om, Tante." Muliya menyalami bergantian Sofi dan Bram, tersenyum tipis dengan sopan. "Waalaikumsalam." Jawab mereka bersamaan. "Maaf yha Lia, Tante jadi repotin kamu." Ucap Sofi merasa bersalah. Muliya tersenyum lebar, mengibaskan tangan tak setuju. "Santai aja lah Tan, kayak lagi sama siapa aja." Kekehnya ringan. Sofi menyunggingkan seulas senyum kalem, tingkah Muliya yang sangat berbanding terbalik dari Ratna cukup menyita perhatiannya. Muliya yang selalu ceria, santai, dan friendly berbanding terbalik dengan Ratna yang selalu kalem dan serius. "Yaudah sekarang kamu samperin Farel ke kamarnya, Mas tolong anterin Muliya!" Perintahnya pada sang anak. Adimas mengangguk, tapi Muliya langsung menyela. "Gak usah dianter-anter lah Tan, saya udah tau kok kamarnya. Saya pamit ya." Sahutnya cepat lalu sudah melenggang dengan cengiran lebarnya. Adimas yang melihat tingkah Muliya menggeleng pelan, benar-benar gadis aneh. *** "Fareeeel YUHUU!!" Muliya menyalakan saklar di kamar Farel, dan langsung bisa menemukan seonggok buntelan yang lagi nyempit di pojokan. Muliya tersenyum miris, sungguh iba dengan ponakan nya ini. "Farel kok diem aja, padahal Tante kesini mau kasih lihat dedek emesh kamu looooh~" Muliya sengaja menggoda ponakan nya ini. Farel yang masih bergelung dengan selimutnya jadi sedikit mengintip, menatap Tante cerewetnya dengan penasaran. Muliya yang melihat respon Farel jadi tersenyum geli, "aah tapi kamu kayaknya gak mau lihat ya? Yaudah deh, Tante pamit dulu kalo gitu." Muliya sengaja memancing, beneran berdiri dan pergi dari kamar Farel. "Tante!" Muliya seketika berhenti, mengulum bibir menahan senyum kemenangan. Bingo! "Kenapa?" Farel memain-mainkan tangannya ragu, "Falel mau lihat dedek nya." Gumamnya malu-malu. Muliya menahan sorakan antusiasnya, tergesa-gesa mendekati ponakan nya. Ia mengambil HP nya, menunjukkan foto candid Gea. "Nih dedek Farel gembul, kan." Mata bulat Farel mengerjap lucu, dengan bibir kecil yang sedikit mencuat. "Gembul banget Tan, kayak kucing pelihalaan Falel." Balasnya membuat Muliya langsung tertawa kencang. "Kalo Farel masih jadi pemurung, ntar dedek nya Tante ambil aja ah." Farel mendongak protes, mata bulatnya mendelik lucu. "Gak bisa dong Tan, dia dedek nya Falel!" Bantahnya jadi tak terima. "Makanya Farel jadi Kakak yang baik, harus nurut sama Tante. Nanti dedek nya bisa Farel ambil." "Gitu?" Muliya mengangguk santai, Farel terdiam sejenak entah sedang merenungkan apa. Sampai akhirnya ia menegak, menyodorkan jari kelingking kecilnya. "Mulai sekalang Falel janji bakal jadi anak yang baik!" Sumpahnya sungguh-sungguh. Muliya tersenyum simpul, mengaitkan jari kelingkingnya ke tangan mungil Farel. "Kalo Farel ingkar janji, nanti dedeknya Tante ambil." "Tanteeee..." "Hehe, makannya Farel harus jadi anak baik dan penurut mulai sekarang." Meskipun kesal Farel tetap mengangguk patuh. Melihat itu, Muliya langsung mengulurkan tangan. Menggendong tubuh mungil Farel. "Sekarang Farel makan, biar kuat dan bisa ngelindungi dedeknya." "Aaa tapi Falel gak lapel Tan!" Muliya melotot galak, membuat Farel langsung menciut tak berani membantah. Perempuan 21 tahun itu membawa ponakan nya ke ruang tengah, yang langsung membuat semua orang disana tersentak kaget. "Farel sayang!" Farel hanya diam, masih memeluk leher Muliya kuat. Muliya sadar, kalau anak ini masih butuh waktu penyesuaian. "Farel janjinya apa hayo, kalo dipanggil orang tua harus nyaut!" Tegas Muliya membuat Farel langsung mengerucutkan bibirnya. "Papah." Semua orang jelas kaget, disaat mereka mati-matian berusaha dan hasilnya gagal. Tapi Muliya malah langsung berhasil dengan mudah, dalam waktu kurang dari setengah jam. Muliya menurunkan Farel ke kursi makan, "Farel mau makan apa?" Tanyanya langsung. Farel mendongak pelan, "biasanya Mamah buatin Falel nasi goleng." Semua orang disana langsung terdiam, Adimas mendongakkan kepalanya untuk menahan air mata yang hendak merembes keluar. "Oh nasi goreng, itumah kecil. Buatan Tante gak kalah sama buatan Mamah Farel!" Ucapnya sungguh-sungguh. "Buatan Mamah paling enak, gak pernah ada tandingannya." "Belum cobain aja sih kamu masakan buatan Tante, tunggu disini yha!" Seolah itu adalah rumahnya sendiri, Muliya sudah asik masak-masak di dapur. Tak merasa canggung sedikitpun. "Adimas." Pemuda itu menatap bertanya kearah Bram, "Muliya hebat ya." Puji Bram merasa kagum. Adimas tersentak, menatap punggung Muliya yang sedang berkutat dengan bumbu masakan tak jauh darinya. "Hm, ... iya." Gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Gadis slengekan yang seperti anak-anak itu nyatanya bisa berubah dewasa seperti ini, cukup membuatnya kagum. "TARAAA!!" Beberapa saat setelahnya Muliya sudah membawa piring makanan, dengan semangat ria meletakkan masakan buatannya kedepan Farel, membuat semua orang disana menatap serentak ingin tau. "Dijamin lebih enak dari masakan Mamah kamu!" Sombongnya sudah membusungkan d**a. Adimas tersenyum miring, apakah Muliya tidak tau kalau kemampuan memasak Ratna itu yang terbaik? Muliya terlalu membanggakan dirinya sendiri. Farel menatap sejenak makanan didepannya, mulai menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya dengan gerakan lambat. Semua orang harap-harap cemas, menunggu respon yang akan diberikan Farel. "ENAK!" Adimas terperanjat sangat kaget, sedangkan Sofi dan Bram sudah adu pandangan dengan senyuman penuh arti. "Enak banget! Lebih enak dalipada buatan Mamah!" Serunya masih tak percaya, sambil terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Muliya tertawa sumbang, menyeret kursi duduk disebelah Sofi tepat didepan Farel. "Siapa dulu dong yang masak!" Pongahnya menepuk d**a. Farel mendecih, kembali menyendokkan nasi tersebut ke dalam mulutnya cepat. "Pelan-pelan Rel, ntar keselek tau rasa!" "Hm." Gumaman tak jelas Farel terdengar diiringi suara kunyahan laparnya, jelas saja anak ini makannya sangat rakus. Orang tiga hari ini ia cuma makan tiga kali. Muliya yang melihat tatapan penasaran Adimas kearah masakannya tersenyum tipis, "Mas Adimas juga sudah aku siapin makanan, ada ayam geprek kesukaan Mas juga. Mau?" Adimas menatap kaget kearah Muliya, sedikit heran karna Muliya bisa tau makanan favorit nya. "Wah di masakin tuh Mas, cepet makan tadi kan kamu belum sempet makan!" Sofi menarik lengan anaknya duduk bersebelahan dengan Muliya. "Aku ambilin dulu, ya." Muliya melenggang pergi setelah tersenyum tipis dengan kalem, mengambil makanan yang memang khusus ia siapkan untuk Adimas. "Ayam geprek, sambal matah, nasi putih anget, sama mendoan. Kesukaan Mas kan?" Hidangan selengkap ini membuat Adimas langsung teringat mendiang istrinya, yang selalu menyiapkan makanan ini setiap akhir pekan. Adimas perlahan mencuci tangannya, mencicipi hidangan yang cukup menyita perhatiannya. Matanya seketika melebar, Farel ternyata tak bohong. Masakan buatan Muliya rasanya sungguh luar biasa enak. Bahkan masakan Ratna kalah jauh, tersadar akan pemikirannya sendiri Adimas buru-buru menggeleng cepat. Kenapa ia jadi membandingkan Muliya dan Ratna? Drrrt... Drrrt... Handphone disaku Muliya bergetar, cukup mengambil atensi semua orang. Muliya merogoh sakunya, melihat nama sang pendial. "Waalaikumsalam." Muliya menyandarkan punggungnya yang terasa capek, tak sadar kalau orang-orang disana sedang menguping ingin tau. "..." "He? Enak aja lo, gue juga gak mau berangkat kalo gitu." "..." "Berani bayar berapa?" "..." Mata muliya seketika berubah hijau, "hehe, kalau gini gue baru like." "..." "Sama siapa emang ngerjain nya?" "..." Adimas melirik penasaran saat melihat raut Muliya yang tiba-tiba menegang. Apakah ada masalah? Muliya mendengus kasar, "kenapa gak bilang sih?! Gue ogah berduaan sama Rendi!" Muliya menolak mentah-mentah. "..." "Wah .. emang kudu gue ketekin idung lo Sin, lo tau gak Rendi kemarin habis gue tolak cintanya. Yang ada kalo gue pergi berduaan sama dia gue bisa di pelet!" Adimas seketika menghentikan gerakan tangannya, entah kenapa ia jadi menatap lurus kearah Muliya. "Hm ... yaudah telponin ayang beb gue dong. Suruh dia yang temenin gue!" "..." "Sayang pulsa kalo gue yang telpon hehe, yaudah lah bye. Ganggu orang aja lo. Assalamualaikum." Muliya langsung mematikan sambungan telponnya, memasukkannya kembali ke dalam saku. "Tante telnyata telkenal juga, ya." Komentar Farel menatap Muliya. Muliya tersenyum lebar dengan sombongnya, "iya dong! Banyak cowok yang antri buat dapetin Tante!" Adimas menggeleng tak habis pikir, masalah pede Muliya benar-benar jagonya. Muliya tiba-tiba menegak kearah Farel. "Kalo Farel udah gede, Farel pasti juga ngantri buat jadi pacar Tante." Adimas mendelik, "jangan ajarin yang tidak-tidak ke Farel!" Tegas nya membuat Muliya mencibir pelan. Adimas ini benar-benar tak bisa diajak bercanda. "Emang Tante mau jadi pacal Falel?" Sofi dan Bram tersentak, Adimas sudah tersedak-sedak tak karuan. Sedangkan Muliya menahan tawanya agar tak tersembur keluar. "Bisa aja sih, asal Farel harus jadi tipe Tante." "Emang tipe Tante yang gimana?" Kepo bocah itu makin ingin tau. Muliya mengerjap, mulai menerawang jauh ke awang-awang. "Hm, dia harus bertanggung jawab, dewasa, gak baperan, dan yang paling penting good looking!" Adimas entah kenapa jadi menguping, sepertinya memang ada yang tidak beres dengan dirinya. Sedangkan Farel, dia mengedip-kedip lugu kearah Muliya. Mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Berarti tipe Tante itu mirip Papah, ya." Dan seketika keheningan panjang melanda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD