Part 03: Mamahnya Farel!

2019 Words
"Uhuk-uhuk!" Muliya langsung menyabet gelas minum didepannya, menenggaknya dengan rakus. Adimas sok-sokan tuli sambil terus menunduk belagak khusyuk makan. Sofi dan Bram hanya terdiam saling lirik satu sama lain. "Tante kaget banget, ya?" Tanya Farel dengan wajah tanpa dosa. "Yaiyalah! Kamu ini kalo ngomong jangan suka sembarangan makannya!" Omel Muliya galak padahal sedang mencoba menutupi salah tingkah nya. Farel mencuatkan bibir mungil nya, mengacung-acungkan sendok yang ada di tangannya. "Halah gitu aja kaget. Lebay!" Muliya mendelik mendengar ucapan Farel, ia baru tahu kalau mulut bocah ini bisa sangat julid. "Aku ijin mau pulang dulu yha, ada urusan mendadak." Muliya berdiri dari kursinya, berjalan kearah Sofi dan Bram untuk berpamitan. "Yaaah ... disini dulu dong Tan." Cegah Farel tak rela ditinggal olehnya. Muliya tersenyum tipis, menunduk mengusap lembut surai hitam Farel. "Tante harus jagain dedek nya Farel dirumah, kalo Tante masih disini kasian dedek nya. Hayo mana janjinya yang bilang bakal jadi Kakak yang baik?" Jelas Muliya penuh pengertian, soalnya jam-jam segini Ibunya harus istirahat karna Ibunya mempunyai penyakit darah rendah jadi tidak boleh terlalu capek. Farel melepaskan rangkulannya di tangan Muliya dengan setengah hati, "iya deh Falel ngalah, tapi lain kali dedek nya dibawa kesini ya?" Pintanya memasang puppy eyes. Muliya terkekeh pelan, "iya nanti Tante janji bakal bawa dedek nya kesini deh!" Farel seketika itu juga tersenyum sumringah, menatap berbinar dengan penuh semangat. "Yaudah kalo gitu, Om, Tante, Mas, saya pamit." Muliya mengangguk sopan sebelum berbalik keluar rumah. "Eh tunggu Lia, biar Adimas yang nganterin kamu." Adimas yang ternyata sudah selesai makan mengangguk setuju, sepertinya ia memang sudah bersiap untuk mengantar Adik Iparnya ini ke rumahnya. "Nggak--" "Ayo!" Tanpa menunggu ucapan Muliya selesai, Adimas langsung melewati tubuhnya begitu saja. Membuat Muliya seketika mendecak, dari dulu sifat Adimas memang suka seenak jidat. "Mas ngapain sih nganter-nganter segala, aku bisa pesan ojol loh padahal." Gerutunya setelah mobil yang dikendarai Adimas melaju. "Nggak papa." Jawabnya tak nyambung. "Dulu sih gak papa Mas nganterin aku, soalnya Mbak Ratna yang suruh." "Emang kenapa kalo sekarang aku nganterin kamu?" Tanya Adimas santai. Muliya mengerjap pelan, membuang muka keluar jendela. "Hm, yha aneh aja gitu." Adimas tanpa sadar memelankan laju mobilnya, sebenarnya ia paham apa yang sedang Muliya pikirkan. "Lia, kamu gak usah mikir yang aneh-aneh. Anggap saja ini balas budiku karna kamu sudah berbaik hati ke Farel." Muliya yang masih tetap bertahan di posisinya tak berniat membalas ucapan Adimas sama sekali, gadis itu hanya diam tak merespon. "Lagi pula kamu kan Adik Iparku," Adimas menjeda sejenak ucapannya. "Yang udah aku anggap seperti Adikku sendiri." Dan kalimat barusan berhasil membuat Muliya menolehkan kepala seutuhnya, namun tetap tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Membuat keadaan canggung kian mencekam. *** "Lia Minggu-minggu kamu mau kemana?" Muliya yang baru turun dari lantai dua kamarnya berjalan mendekati orang tua nya. Yang langsung diberi pertanyaan oleh Jamiatun. "Aku mau keluar." "Kemana? Sama siapa?" Kali ini Suyanto yang memberondong pertanyaan. Muliya duduk di kursi makan, mencomot roti isi yang ada di hadapannya. "Gak jauh kok, ke cafe di Jl. Kenanga. Sama temen." "Heh! Kamu ini yha, jalan-jalan meluluuu!" Dengus Jamiatun. Muliya seketika cemberut masam, "ini aku mau ngerjain tugas loh Buk, makannya jangan suka suudzon sama anak sendiri!" Balasnya tak terima dengan kesal. Jamiatun terkekeh, habisnya kebiasaan Muliya yang sering hanguot bareng teman-temannya membuat Jamiatun suka nethink duluan. Tapi semenjak kematian Ratna agaknya Muliya mulai memperbaiki diri, bahkan lebih sering di rumah buat jagain Gea. "Yaudah sana berangkat, tapi gak Ibu kasih uang saku." Muliya tersenyum miring, kepelitan Ibunya ini sudah bisa ia prediksi. "No problem, aku punya uang sendiri kok." Bangga Muliya karna seperti janji Sinta kemarin, ia benar-benar memberinya uang untuk kompensasi karna gak bisa ikut mengerjakan tugas bersama. Bagi Muliya, uang itu segalanya! Suyanto dan Jamiatun kompak mengernyit, meskipun heran tapi mereka malah bersyukur. Setidaknya anak bungsu mereka ini sudah bisa cari uang sendiri. "Yaudah yha Bu, Pak. Aku berangkat dulu, assalamualaikum!" Muliya menyalimi bergantian tangan Suyanto dan Jamiatun. "Waalaikumsalam." "Hati-hati di jalan!" Pesan Ibunya yang hanya diacungi jempol Muliya dari arah pintu. "Woy elah b*****t lo! Gue hari minggu mau nge rank malah elo nyuruh nemenin ke cafe!" Baru juga Muliya membuka gerbang rumahnya, umpatan dan makian Boy langsung menguar bebas di gendang telinganya. "Dih gak ikhlas banget lo!" Dengus Muliya sambil mengambil helm yang ada di jok belakang motor dan memakainya. Boy yang sejak tadi mencak-mencak makin mengeruh, "emang gak ikhlas sih!" Muliya menyengir lebar, mengambil posisi duduk dibelakang Boy dengan nyaman. "Di ikhlasin aja biar dapet pahala." "Pale lo!" Muliya yang sudah tak mau berdebat mengguncang bahu lebar Boy tak sabaran. "Bang berangkat dong!" "Lo kira gue tukang ojek hah?!!" Ketus Boy sambil menstarter motornya. Muliya menyondongkan badan ke depan, mendekatkan wajahnya ke samping wajah Boy. "Meskipun lo udah mirip kayak tukang ojek tapi ada bedanya loh." Boy mengernyit tak paham, Muliya tersenyum simpul mencurigakan. Tak lama setelah motor melaju, kedua tangan Muliya sudah melingkar bebas di perut six pack Boy membuat pemuda itu hampir menabrak trotoar jalan saking kaget nya. "Lo bisa dapet pelukan berharga milik gue." *** "Lo mau sampe kapan peluk-peluk gue?!!" Ketus Boy setelah berhasil memarkirkan motornya. Muliya menyengir, turun dari motor dan melepaskan helm di kepalanya. "Halah lo juga seneng kan bisa gue peluk-peluk, ngaku lo!" "Cuih!" Boy mendecih jijik, meskipun aslinya sedang menutupi salah tingkahnya. "Udah ayo cepetan masuk, panas nih!" Boy melepaskan helm nya, melenggang masuk sambil merangkul santai bahu Muliya. Boy dan Muliya adalah sahabat karib sejak SMA, dulu sih mereka selalu berantem kalau bertemu. Tapi entah sejak kapan, mereka jadi makin akur begini. Meskipun banyak yang bilang kalau mereka cocok untuk pacaran, nyatanya Muliya paling tau kalau di hati Boy sudah ada wanita lain. Boy mempunyai pacar yang sangat cantik dan anggun, pokoknya sangat berbanding terbalik dengan nya. "Dih gak usah rangkul-rangkul lo!" Boy tersenyum penuh arti, lalu menjepit leher Muliya dengan lengannya yang seketika membuat Muliya mengumpat sadis. "Bwahaha ketek gue gimana rasanya?" "Cih! Asem, kecut, kayak idup lo!" Jawab Muliya jijik membuat Boy makin terpingkal-pingkal. "Muliya!" Boy dan Muliya seketika menghentikan obrolan mereka, Rendi yang duduk di salah satu kursi melambaikan tangan dengan eye smile andalannya. Melihat itu membuat Boy langsung menghadap Muliya, seolah meminta penjelasan. "Kalo bukan Rendi yang nemenin gue ngerjain tugas, gue juga kagak bakal ngajakin lo Boy." Jawab Muliya masam sambil berlalu mendekat kearah meja Rendi. Boy mengangkat sebelah alisnya, tatapannya seketika berubah tajam. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung menyusul Muliya. Kalau sejak awal Muliya mengatakan teman yang dimaksud adalah Rendi, pasti Boy sangat tidak keberatan untuk menemaninya. *** "Pah Falel bosen!" Farel merangkak ke pangkuan Adimas, memeluk tubuh Adimas seperti koala. "Mau jalan-jalan!" Rengeknya dengan suara parau. Adimas tersenyum kecil, menutup laptop yang ada didepannya. "Farel bosen? Mau jalan-jalan kemana?" Tanya Adimas lembut sambil mengelus surai halus milik Farel. Farel mendongak, tersenyum cerah dengan mata memancarkan binar bahagia. "Falel mau ke cafe di Jl. Kenanga!" Serunya antusias. Adimas mengernyit aneh, "kok kamu tau kalau ada tempat seperti itu disana?" Tanyanya heran. Farel mengerjap, seperti maling yang habis tertangkap basah. Tapi karna dasarnya bocah ini sangat pintar, dengan cepat ia bisa merubah mimik wajahnya. "I-itu Oma pelnah ajakin Falel kesana, jadinya Falel pengen kesana lagi!" Jawabnya dengan nada meyakinkan. Adimas terdiam sejenak, membuat wajah Farel tegang menunggu jawaban. "Oke deh, sekarang ayo kita siap-siap dulu!" Farel langsung meloncat senang, membuat Adimas tak bisa menahan senyum bahagianya karna melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah anaknya. Adimas perlahan turun dari kasur, menggendong Farel menuju walk in closet miliknya. Farel yang posisinya menghadap belakang tanpa diketahui Adimas diam-diam mengacungkan jempol. Kearah Sofi yang mengintip dari balik pintu kamar. *** "Ayo Pah cepetan!!" "Iya-iya sabar dong Farel." Adimas menghela napas dengan pelan, kelakuan anaknya ini emang agak aneh sejak dari rumah. Tapi selama Farel bahagia, Adimas tidak akan mengharap apapun lagi. "Pah Falel gak usah digendong, Falel udah gede!" Dengan semangat yang menggebu, Farel menarik kuat tangan Adimas dan berlari masuk ke cafe dengan tidak sabaran. Adimas tersenyum kecil sambil menggeleng-geleng, ia sangat senang saat melihat wajah Farel yang begitu cerah seperti ini. Sepertinya ia harus sering-sering mengajak Farel keluar, agar anaknya ini bisa melupakan tentang kesedihannya. Masuknya Adimas berbarengan dengan suara lonceng yang berbunyi di atas pintu cafe, beberapa orang langsung memusatkan perhatian kearahnya membuat Adimas mendesah jengah. "Wih, ada hot daddy!" "Gue mau deh kalo dia jadi suggar daddy gue!" "Liat noh, ada buntutnya jangan ngadi-ngadi lo pada!" Adimas mendesah malas, menunduk kearah Farel. "Farel sayang mau pesan apa?" "Mau yang ada coklat-coklatnya pokoknya." Jawab Farel asal sambil terus mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Adimas makin mengernyit aneh, tapi tetap menuruti permintaan Farel. Ia memesan kearah penjaga kasir yang ada di depannya. Farel yang melihat Muliya datang dari arah kamar mandi langsung melebarkan iris sempuarna, secepat kilat berlari kearah Muliya membuat Adimas terperanjat kaget karna anaknya tiba-tiba melipir sendiri. "Tantee!" Muliya hampir terjengkang saking syok nya, bayangin aja saat sedang jalan santai-santai lalu mendadak ada anak kecil yang bergelantungan di kakinya. Mirip tuyul lagi. "Farel, kamu kok disini?" Muliya berjongkok, menggendong tubuh kecil Farel. Farel mengalungkan tangannya ke leher Muliya, "Falel tadi jalan-jalan, tlus lihat Tante disini." "Farel!" Adimas terengah-engah dengan jantung seperti akan lepas, melihat anaknya yang sedang digendong Muliya rasa kaget dan bingung seketika beradu. "L-loh Muliya." "Mas Adimas? Aku kaget loh tadi Farel tiba-tiba samperin aku." Cengirnya ringan. Adimas menipiskan bibir, mengulurkan tangan ingin mengambil Farel namum bocah itu tak mau beranjak sedikitpun dari gendongan Muliya. "Fareel!" Ancam Adimas dingin. "Gak mau, enak digendong Tante. Empuk-empuk!" Adimas seketika menutup mukanya yang memerah, sepertinya waktu kecil dulu ia tak sehina ini deh. "Tante harus ngerjain tugas, Farel sama Papah ya." Bujuk Muliya sabar. Farel mendengus, pelukannya makin mengerat tak mau lepas. Kata Oma nya tadi dirinya harus bikin Tante dan Papah nya berduaan. Pokok rencananya gak boleh gagal. "T-tante hiks ... jahat." Adegan ngedrama memang Farel jagonya, sepertinya kalau besar nanti Farel bisa dapat Piala Oscar. "Maafin Farel yha, Lia. Kita jadi ganggu kamu." Ucap Adimas benar-benar tidak enak. "Eh gak gitu kok, tap--" "Lia!" Adimas, Farel, dan Muliya kompak menoleh kearah suara. Adimas mengernyit samar saat melihat pemuda dengan wajah good looking mendekat kearahnya. "Eh, Boy." "Lama banget sih lo, gue males berduaan doang sama Rendi!" Dengus Boy dengan tatapan mengarah kepada Farel dan Adimas. "Sorry yha, ada urusan bentar nih." Jawab Muliya mengarahkan dagu ke anak di gendongannya. Boy berkedip-kedip kearah Farel, membuat bocah itu memelet mengejek. "Om siapa? Jangan deket-deket sama Mamah Falel!" Adimas sudah tak bisa berkata-kata, ekspresi wajahnya benar-benar seperti sedang makan buah simalakama. "He? Jangan kibulin Om, kamu ini kecil-kecil udah jago bohong." "Apa ulusan Om sih, jauh-jauh sana. Falel alelgi olang jelek!" Ketus bocah itu mengembungkan pipi penuh lemak bayinya. Muliya tak tahan untuk tidak terbahak-bahak, membuat wajah Boy kian mengeruh. "Farel gak boleh gitu, ayo minta maaf!" Adimas maju, memperingati tegas membuat Farel tak bisa membantah. "Maaf yha Om, tapi Falel serius soal alelgi olang jelek." "Fareeel." "Hehe, canda-canda Pah." Melihat interaksi dua orang di depannya, Boy makin mengerut samar. "Anda Ayahnya?" Adimas yang merasa diajak biacara menoleh, mengangguk pelan. "Iya, saya Adimas." "Beneran suaminya Muliya?" "IYA DONG-- HMMMP!" "Nggak kok, saya Kakak Iparnya." Farel yang mulutnya dibungkam hanya bisa mendelik melayangkan protes, membuat Muliya makin terkikik-kikik geli. Boy yang mendengar pernyataan Adimas tersentak, Kakak Ipar? Berarti dia duda dong. Kan Kakaknya Muliya sudah meninggal. "Tante ayo pelgi, Falel boseeen..." Farel bergoyang-goyang di gendongan Muliya. "Eh, Boy gue cabut duluan yha. Tolong bilangin Rendi suruh balik juga. Lagian kan tugasnya tinggal dikit." Pesan Muliya menatap Boy. "Kamu tunggu di depan yha Lia, aku mau bungkus pesanan Farel dulu, sayang kalo dibuang." Muliya mengangguk kecil, setelahnya Adimas sudah berbicara pada pegawai kasir. "Ehm, elo seriusan mau pulang sama mereka? Biar gue aja yang anterin lo." Cegah Boy saat Muliya hendak berbalik. Muliya tersenyum simpul, "gak usah repot-repot lah, lagian bukannya lo sejak tadi ngeluh terus karna harus jemput Sarah? Yaudah sono j****t pacar tersayang lo." Farel diam-diam tersenyum mengejek kearah Boy, "iya Om sana jemput pacalnya, jangan gangguin Tante Falel lagi!" "Gak--" "Oke gue duluan yha, good luck lo!" Muliya menepuk sekilas bahu Boy lalu melenggang pergi. Boy tersenyum kecut, terkekeh dengan nada miris. 'Haaah, kenapa dia sangat kesal.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD