Ringkihnya Sebuah Komitmen

1132 Words
Wanita cantik itu mengamati Freya penuh penilaian. Sepasang matanya yang berwarna keemasan menatap Freya lekat-lekat, seolah menelusuri identitas Freya secara utuh. "Maaf?" Wanita berdarah blasteran Eropa-Jawa itu menaikkan salah satu alisnya dengan indah, jelas bertanya-tanya pada Freya keributan apa yang baru saja ia ciptakan. Ditatap oleh sepasang mata yang memukau, untuk sesaat Freya kehilangan konsentrasi. "Aku ingin bertemu dengan Banyu. Suamiku!" Menolak terintimidasi dengan tatapan wanita asing itu, Freya menegakkan punggungnya, tidak bersedia merendah sama sekali. "Banyu? Suamimu?" Wanita anggun itu menatap Freya dengan cibiran. "Maaf, apakah kita saling mengenal? Bagaimana bisa kamu datang ke vilaku dan mencari suamimu ke sini? Vila ini bukan tempat menampung suami orang!" Wanita itu menatap sosok Freya, diam-diam dia merasakan rasa krisis dan ancaman. Dia jarang merasakan ancaman. Tapi di hadapan Freya, ia seolah menemukan saingan kuat. Wajah Freya bukan hanya cantik, tapi dia juga memiliki aura khusus yang sulit diabaikan. Wanita asing itu menatap Freya, menggerakkan jari-jemarinya yang bercat merah, dan tersenyum sinis. Siapa Freya, sehingga ia terlalu percaya diri membuat masalah di sini? "Jika vila ini bukan tempat menampung suami orang, bagaimana bisa aku melihat suamiku ada di vila ini?" Freya maju selangkah, semakin menyadari betapa kuat pesona wanita tersebut. Tak heran Banyu jatuh ke dalam jerat wanita itu. Seperti firdaus, wanita itu layaknya buah terlarang yang menggoda untuk ditaklukkan. Dua orang wanita. Dua jenis kecantikan. Saling menatap dan membuat spekulasi satu sama lain. "Melihat suamimu?" Wanita itu tertawa meremehkan. "Kamu pikir kamu siapa? Bisa melemparkan tuduhan serendah ini padaku? Jadi kamu pikir suami kamu ke sini untuk berselingkuh denganku?!" tanyanya, menatap Freya seolah-olah mengolok-olok wanita tersebut atas caranya berpikir. Bibir wanita itu yang dipulas merah bata mencibir kesal. Tidak ada rasa bersalah sama sekali dalam ekspresi wajahnya. "Apakah kamu tak memiliki sedikit pun hati nurani dan rasa bersalah?" Freya masih menatap wanita itu, menyembunyikan rasa sakit yang menganak pinak. Siapa yang tidak sakit dan terluka melihat wanita yang mengambil kesetiaan suaminya? Istri mana yang tidak hancur dan tak ingin melukai balik? Namun, dengan posisi Freya saat ini, ia tahu dengan baik jika wanita di depannya bukanlah wanita yang bisa ia provokasi begitu saja. Ada aura kuat dan d******i darinya. Suatu aura yang hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuatan besar dan banyak ditempa oleh keadaan. "Rasa bersalah? Apa maksudmu? Siapa pun kamu, kamu terlalu lancang untuk masuk dan mengganggu privasiku!" "Aku butuh bertemu dengan suamiku! Di mana kamu menyembunyikannya?!" Freya masih keras kepala. Dia ingin maju dan mencari keberadaan Banyu, tetapi ditahan oleh dua satpam dengan sigap. "Kamu yakin ingin mencari suamimu?" Wanita itu menatap Freya lama, seolah menimbang-nimbang. Freya tidak mundur sama sekali saat ditatap olehnya. Tekadnya semakin besar, menolak dipadamkan. Dari dulu, Freya selalu keras kepala. Tampaknya karakter ini selalu membayanginya dalam situasi apa pun. "Lepaskan dia! Biarkan dia mencari!" Wanita itu mengibaskan tangannya, memerintahkan dua satpam agar tak menghalangi langkah Freya. Kedua satpam saling menatap, menunjukkan keterkejutan. Tubuh mereka bahkan membeku untuk sesaat. Apakah majikan mereka sungguh-sungguh mengijinkan tamu asing meng-invasi vilanya? "Tapi, Bu—" "Biarkan dia mencari. Orang akan lebih percaya saat tidak menemukan apa yang ia cari!" Tersenyum kecil, wanita itu masuk ke dalam villa, membiarkan Freya dan Sintia mengikutinya di belakang. Seseorang kadang butuh dikalahkan lebih dulu untuk memahami keadaan dengan lebih baik. Wajah wanita itu sama sekali tak memiliki ekspresi cemas. Karena sudah mendapat ijin, Freya dan Sintia mencari keberadaan Banyu dengan cepat. Wanita asing pemilik vila tersebut terus mengikuti Freya di belakang, mempersilakan Freya menggeledah tempatnya dengan tatapan provokatif. Bahkan, kamar dan balkon tempat Freya melihat suaminya b******u mesra, tidak luput dari pemeriksaan Freya. Namun, setelah menyisir seluruh tempat, Freya tidak berhasil menemukan satu pun bukti keberadaan Banyu. Orang itu seperti menghilang di tempat, keberadaannya menjadi ketiadaan secara tiba-tiba. Freya mengernyitkan kening, sadar dia telah dibodohi. Freya mendatangi balkon lagi, menatap tempat ini dengan sorot mata yang rumit. Dia tak mungkin membuat kesalahan, tapi bagaimana bisa tak ada jejak sama sekali? "Ke mana kamu menyembunyikan suamiku?" tanya Freya berapi-api. Jejak kemarahan dan putus asa muncul di manik matanya. Dia datang ke sini dengan harga diri. Dia datang ke sini, menolak untuk diintimidasi dan ingin mengonfirmasi segalanya. Pada akhirnya … semua jejak itu lenyap. Kecurangan yang ia lihat tak berbekas. Seolah-olah apa yang Freya lihat, setiap kemesraan dan cumbuan suaminya pada wanita lain, semuanya tak terjadi sama sekali. Namun, Freya tahu lebih dari siapa pun itu adalah fakta. Apa yang ia lihat, apa yang ia rasakan, pengkhianatan yang merobek hati, semua itu adalah kenyataan. "Jangan pernah membohongiku. Aku tahu apa yang aku lihat, aku tau apa yang kamu dan suamiku lakukan. Kalian b******u di balkon kamar, 'kan? Aku bisa melihat semuanya. Sekarang di mana suamiku? Di mana kamu membuatnya bersembunyi? Di mana?" Freya mulai histeris, tapi lengannya segera diraih oleh Sintia agar lebih tenang. Mendengar ini, bukannya marah, wanita itu malah tertawa kecil. "Aku tidak tahu suamimu. Tapi melihat temperanmu yang seperti ini, perlu dipertanyakan jika dia betah di sisimu. Temperanmu sangat tak terkendali dan penuh rasa posesif. Laki-laki mana yang tahan?" Mendengar ini, Freya yang sudah tidak tahan distimulasi kemarahannya, sangat ingin menampar mulut wanita itu. Namun, Sintia segera menahannya. Dia melirik ke arah Freya untuk memperingatkan. "Seberapa besar suamimu ingin mempertahankanmu, tergantung seberapa besar nilai yang kamu miliki!" Wanita itu berucap. Mendengar ini, tubuh Freya yang sebelumnya mulai rileks, semakin tegang. Dia berbalik pergi, setelah sebelumnya menatap wanita asing itu dengan penuh arti. Setelah Freya dan Sintia pergi, wanita itu menatap halaman samping melalui jendela besar, jatuh dalam kontemplasi panjang. Setelah keluar dari gerbang, Freya nyaris terjatuh di sisi jalan. Sintia yang melihat kelainan Freya, berusaha menjangkau wanita tersebut dan menahannya dengan erat. Tangan Freya gemetar hebat. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya. Dua tetes air mata bergulir, jatuh di aspal jalanan yang berpermukaan kasar. Disusul oleh bulir-bulir lainnya yang semakin lama semakin tak terhitung jumlahnya. "Frey!" Sintia cemas, menepuk punggung wanita itu dengan hati-hati. "Aku tahu itu Banyu. Aku mengenalnya sebaik aku mengenal diriku sendiri. Hanya saja … bagaimana sebuah sumpah perkawinan mampu hancur seperti ini?" Freya menatap jalanan yang sepi, sesekali kendaraan melewati mereka, membiarkan debu jalanan terbawa dan mengenai tubuh mereka berdua. "Dia lelaki yang pernah berkata demi aku, dia sanggup melakukan segalanya. Dia juga lelaki yang membuatku mampu meninggalkan banyak hal. Apa seringkih itu sebuah komitmen? Apa serapuh itu arti cinta di matanya?" Freya memukul dadanya sendiri berulang kali, untuk mengurangi rasa sakit di hatinya yang kian menjadi-jadi. "Sakit rasanya, Sin. Sakit di sini. Sangat sakit. Ada yang retak di dadaku, rasanya sakit di mana-mana!" Freya merosot lemah, menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, Freya melihat matahari yang bersinar, seperti kegelapan tanpa akhir yang menyambut masa depan hidupnya. Pernikahannya retak. Sumpah perkawinannya hancur. Hari-hari seperti apa yang masih ia miliki di masa depan? Sanggupkah ia melaluinya? Freya merasa jalan yang akan ia tempuh berubah suram dalam sekejap. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD