Nahla si Gadis Sederhana

1012 Words
Wanita itu berdiri dalam kegelapan malam di sebuah rooftop gedung bertingkat. Matanya memandang gemerlap bintang-bintang yang jauh dimata. Hitamnya langit seolah berkabu dengan sepinya relung hati. Hijab yang terjulur panjang menutupi d**a itu tertiup angin malam. Tiba-tiba atmosfer sekitar menjadi sangat dingin. Dia adalah Nahla Faina Raydan. Orang tuanya pernah berkata arti namanya adalah seorang gadis bermahkotakan kesederhana untuk keluarga Raydan. Sederhana, kata itu benar-benar mendeskripsikan siapa dirinya. Gadis biasa-biasa saja dengan penampilan yang apa adanya itu melonggok ke bawah. Tiang-tiang listrik menjulang tinggi. Deratan mobil-mobil mewah berpadu dengan sepeda motor berbaur menjadi satu di sempitnya jalan raya. Pergi jauh dari hiruk pikuk kehidupan yang menyulitkan membuatnya bisa bernapas lega. Matanya terpejam erat sebelum memandang layar ponselnya. Hari ini adalah titik terendah dalam dirinya. Semuanya seolah lepas dari genggamnnya. Nahla ragu untuk menekan tombol telepon dari ponselnya. Nomor Ibunya menjadi nomor yang paling sering dia hubungi. Ada kerinduan tersembunyi dalam diri Nahla. Hari ini seorang lelaki yang orang tuanya percaya telah melepas ikatan dengan Nahla. Hati Nahla tercabik-cabik. Tak pernah terbayang bahwa Nahla akan berada pada posisi ini. Mengetahui kabar ini saja sudah membuat hati Nahla lebur, apalagi untuk memberitahu orang tuanya. Cukup membayangkannya saja Nahla tak sanggup. Setelah menghela napas panjang, Nahla menguatkan tekad menelpon Ibunya. Ponsel itu berbunyi nyaring ditelinga Nahla. Tangan kiri Nahla mengenggam selembar kertas yang keluar dari sebuah amplop berwarna putih. Kertas itu sudah ternoda dengan tinta hitam. Tinta yang sudah terukir dengan kata-kata yang menyayat hati. Nahla meremas kertas itu. Membaca rentetan kata yang terpampang dalam kertas itu membuat gejolak tersendiri dihati Nahla. Diri Nahla seolah terguncang hebat. Siapapun dia, sungguh luar biasa dia mampu membuat Nahla jatuh ke palung yang paling dalam. Panggilan yang Nahla hubungi tidak bersambung. Panggilan Nahla pun beralih pada Bapaknya tercinta. Dan semua sia-sia. Panggilan itu tak terhubung sama sekali. Harus bagaimana Nahla sekarang? Maklum saja, Bapak Nahla adalah seorang nakoda kapal internasional. Kali ini memang kedua orang tuanya pergi berlayar bersama. Entahlah, sudah sejak dua tahun terakhir Ibunya selalu ikut kemana Bapaknya pergi berlayar. Mengarungi lautan berdua. Nahla menjatuhkan ponselnya pasrah. Matanya terpejam sampai air mata turun satu persatu. Dadanya sesak memikul beban yang begitu berat, bahkan Nahla sampai terduduk tak mampu menompang tubuhnya sendiri. Luka yang dibuat lelaki itu mengangga. Kesakitan, itulah yang Nahla rasakan. Untuk pertama kalinya hatinya patah. Kepala Nahla tertunduk merapat pada kedua lutut yang tertekuk. Air matanya tenggelam larut bersama malam. Mimpi-mimpi yang dibayangkan selama ini hancur lebur. Alangkah malangnya nasib gadis berlesung pipi ini. Lafaz istighfar terlantun dari bibir gadis manis ini. Nahla menarik napas panjang. Kembali ia tegakkan punggungnya berdiri melawan angin. Nahla masih punya Allah, Dia tak akan pernah meninggalkan Nahla sendirian. Semua masalah dapat terselesaikan jika Allah selalu libatkan dalam hidup. Katakan pada dunia bahwa kita punya Allah, Tuhan semesta alam. Alquran menerangkan‘laa tahzan innallaha ma’ana’ kutipan ayat At-Taubah ayat 40. Janganlah bersedih sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Jadi untuk apa bersedih padahal sang Pencipta akan memberikan kebahagian yang lebih besar? Nahla merobek asal kertas itu. Nahla pun memajukan dirinya melonggok ke bawah sana. Dengan tekad yang mantap Nahla bersungguh-sungguh tak akan mengingatnya lagi. Nahla melemper kertas itu sembarang. Angin membawa sobekan kertas itu terbang. Ini seperti bagaian terbaik dalam seriel televisi dimana aktris utamanya mampu bangkit dan melawan ketidakmampuan diri. Mata Nahla mengikuti kemana angin membawa kertas laknat itu. Ia begitu berharap, angin juga membawa lukanya pergi. Dengan lirih Nahla berkata, “Selamat tinggal....” *** Langkah lunglainya membawa Nahla kembali ke sebuah rumah di komplek dekat pusat kota. “Assalamuaikum...” ucap salam Nahla. Rumah ini bukan milik Nahla. Namun, milik Tante tersayangnya, Tante Dilla. Tante Dilla hidup sendirian tanpa suami. Sebab suami Tante Dilla meninggal sekitar 8 tahun yang lalu akibat kecelakaan mobil, sejak saat itu Nahla sering berkunjung untuk menghibur Tante kesayangannya, Tante Dilla. Ditambah dengan kedua orang tua Nahla yang sibuk berlayar, Nahla jadi tinggal di rumah ini selama orang tuanya pergi. Tante Dilla sendiri hanya hidup bersama putra kembarnya Fikran dan Fikri. Dua buah hatinya itu memang tidak jauh berbeda jika berbicara rupa, namun dilihat dari sisi sifat mereka bagai langit dan bumi. Nahla sangat memahami perbedaan itu. Sekarang Fikran anak laki tertua Tante Dilla telah menikah dengan gadis modis nan shalihah, Billa. Jadi di dalam rumah itu hanya ada Tante Dilla, putra bungsu Tante Dilla, Alfikri dan Nahla. Yang paling mendominasi persamaan yang ada diantara keluarga mereka adalah lesung pipi. Lesung pipi itu adalah sebuah kecatatan dalam dunia medis. Sebuah kecatatan yang sempurna. Bagaimana tidak? Terlihat sedikit saja, manis sampai ke dalam hati. Bisa diabetes yang melihatnya.  “Walaikumussalam warahmatullah...” sambut Tante Dilla. Nahla langsung berjalan menuju kamarnya. Tante Dilla mencekal tangan Nahla cepat. “Nahla, kamu udah tahu tentang—“ “Sudah, Tante.” jawab Nahla cepat. Tatapan Tante Dilla begitu tulus, tangannya mengapai pipi Nahla. Mata Nahla berkaca-kaca. Perlahan Nahla mulai terisak. Tante Dilla memeluk erat Nahla. Ini benar-benar fase dimana Nahla terpuruk. “Allah Maha Tahu, Sayang. Menangislah jika itu membuatmu tenang. Ingatlah, Allah akan selalu mengganti semuanya dengan yang lebih baik lagi.” Nahla tak mampu mempungkiri hatinya yang remuk. Benar-benar remuk. Nahla bahkan tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Orang tua Nahla bahkan belum tahu masalah genting ini. Air mata Nahla seperti kran yang tak mampu berhenti mengeluarkan air. Hingar bingar kebahagian yang didambakannya lenyap dalam semalam. Semuanya hancur hanya karena pernyataan dalam selembar kertas itu. Seharusnya Nahla tidak menerimanya! Tante Dilla membawa Nahla naik ke lantai dua kamar Nahla. Ia menutupi tubuh Nahla dengan selimut hangat. Sebagai kakak dari Bapak Nahla, dia mengantikan posisi adik iparnya sebagai Ibu Nahla.  “Puaskanlah menangis, Sayang. Namun hanya untuk hari ini saja, hari ini. Tidak untuk selanjutnya. Mari kita tata hati ini hanya untuk sang Ilahi. Semoga Allah selalu meridhai langkah kamu, Nahla.” Bahkan ponsel Nahla bergetar sejak tadi tak diketahui Nahla. Sebuah nama yang begitu dekat dengannya terpampang dilayar ponsel. Ya, itu sahabat Nahla. Gadis di ujung sana menanti-nanti Nahla mengangkatnya, namun nihil. Di sini Nahla malah mengeser tanda panggil merah. Nahla masih enggan untuk berbicara. Nahla hanya bisa memelukkan hangat Tante Dilla, sebab bibirnya bergetar untuk mengungkap sebuah kata saja. Mata dan hatinya begitu lelah sekarang.Keperihan hati dan kerinduan pada kedua orang tuanya membuat hatinya menjadi sakit dua kali lipat. Ya Allah, sungguh cobaanmu tiada habisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD