Bab 1. Akhir Sebuah Hubungan
Rani menggenggam cangkir teh yang sudah dingin di depannya. Di seberangnya, Satya duduk dengan punggung kaku, sementara seorang wanita dengan sorot mata tajam duduk di antara mereka. Ibu Satya.
“Apa kamu yakin mau meneruskan hubungan ini, Satya?” suara sang ibu terdengar tenang, tapi menusuk. “Kamu anak ibu satu-satunya. Kamu punya tanggung jawab untuk memilih pasangan yang... setara.”
Setara.
Kata itu bergema seperti tamparan bagi Rani. Sudah dua tahun dia menunggu. Dari karyawan kontrak biasa, sampai akhirnya Rani di angkat sebagai pegawai tetap. Tapi tampaknya semua pencapaiannya tak cukup di mata wanita ini.
“Ibu...” Satya tampak gelisah. Matanya melirik Rani sekilas. “Rani sudah aku kenal lama. Dia bukan orang sembarangan.”
“Tapi dia juga bukan dari keluarga yang kita kenal, Satya. Kamu tahu, keluarganya bukan siapa-siapa. Kamu ini lulusan luar negeri, kerja di perusahaan bonafide. Masa kamu mau menikah dengan perempuan yang orang tuanya bahkan tidak bisa hadir waktu pertemuan keluarga?”
Rani menunduk. Rahangnya mengeras, tapi ia tetap diam. Ia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah ia bayangkan akan sepedih ini.
“Ibu, sepertinya Ibu salah pemahaman di sini, saya pun tidak akan mau masuk ke pertemuan keluarga Ibu, pertemuan yang notabenenya adalah ajang tontonan kekuasaan." ucap Rani pelan, mencoba menjaga wibawa yang tersisa.
“Justru itu. Kamu bawa beban, Rani. Satya ini anak saya satu-satunya. Saya cuma ingin yang terbaik untuk dia. Lihat cara bicaramu. Tidak sopan! jelas kamu bukan dari kalangan terdidik." kecam Ibu Satya tegas.
Satya membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Seperti ada kalimat yang ingin dia sampaikan, tapi tak sanggup keluar. Rani menatapnya, berharap setidaknya satu pembelaan.
Tapi Satya hanya berkata lirih, “Maaf, Ran. Mungkin ini belum waktunya.”
Rani mengangguk pelan. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia menahannya mati-matian. Ia bangkit dari kursinya, membenarkan tasnya, lalu menatap Satya untuk terakhir kali.
“Terima kasih ya, Satya. Sudah membuatku percaya selama dua tahun ini. Semoga kamu menemukan yang setara, seperti yang ibumu mau.”
Ia berjalan keluar restoran itu dengan kepala tegak, bahkan saat jantungnya seperti retak. Dunia tak runtuh hari itu—tapi hatinya, iya.
---
Langkah Rani menyusuri trotoar di depan restoran, pelan tapi pasti. Tumit sepatunya menjejak basah sisa hujan sore tadi, dan angin malam meniup rambutnya yang tergerai. Tangannya menggenggam ponsel, tapi tak tahu harus menghubungi siapa.
Di tengah riuh kendaraan yang lalu-lalang, pikirannya justru sunyi. Kosong.
Namun, sepotong memori muncul begitu saja.
Hari itu, dua tahun lalu. Rani masih staf junior, baru beberapa bulan bekerja. Satya datang ke mejanya dengan senyum yang waktu itu terasa paling hangat di dunia.
“Ran, weekend ini kamu sibuk nggak?”
Rani mengangkat alis, tidak terbiasa diajak ngobrol oleh pria sepopuler Satya di kantor.
“Kenapa?”
“Aku pengin ajak kamu makan malam. Tapi bukan buat bahas kerjaan. Aku suka kamu, Rani. Serius.”
Deg.
Waktu itu, Rani hampir menolak. Ia tak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sebelumnya. Hatinya terlalu penuh dengan tanggung jawab pada ibu, pekerjaan, dan mimpi-mimpi yang nyaris tak sempat dirawat.
Tapi Satya berbeda. Perhatiannya tidak menggurui. Tatapannya tidak menuntut. Dia membuat Rani merasa dihargai, seolah-olah semua luka dan perjuangannya bukan sesuatu yang harus disembunyikan.
Maka untuk pertama kalinya dalam hidup, Rani melangkah. Dengan hati-hati tapi penuh harap. Ia percaya, mungkin kali ini, cinta bisa berpihak padanya.
Namun malam ini, langkah kakinya terasa lebih berat dari biasanya. Kepercayaan itu kini hanya jadi debu yang tertinggal di trotoar basah.
Dan yang paling menyakitkan dari semua ini—bukan karena Satya pergi.
Tapi karena Satya tak cukup berani untuk tinggal.
---
Rumah itu kecil, temboknya cat biru muda yang mulai memudar, dengan lantai semen yang dingin saat disentuh kaki. Bau kayu dan krupuk mentah bercampur jadi aroma khas yang entah kenapa selalu menenangkan. Di pojok ruang tengah, ada kipas angin tua yang berdengung pelan, berputar malas.
Rani membuka pintu perlahan. Lampu ruang tamu sudah menyala. Di atas tikar pandan, Bu Yuni sedang duduk sambil menonton TV. Tersenyum melihat putrinya pulang.
“Sudah pulang, Nduk?” sapanya lembut.
Rani mengangguk pelan, meletakkan tasnya di kursi kayu yang goyang salah satu kakinya.
“Lho, Satya mana? Kok, kamu pulang sendiri?” tanya Bu Yuni sambil matanya tetap fokus pada layar TV.
Rani diam sebentar, lalu duduk di samping ibunya.
“Bu... Tadi aku ketemu ibunya Satya.”
Bu Yuni terkejut. Matanya menoleh, penuh tanya.
“Ibunya... bilang tidak setuju aku dengan Satya. Katanya aku bukan dari keluarga yang pantas.”
Senyum di wajah Bu Yuni memudar, tapi tidak hilang seluruhnya. ia menatap Rani teduh, lalu menggenggam tangan Rani.
“Nduk...”
“Tidak apa-apa, Bu,” potong Rani cepat. Ia menarik napas, mencoba tersenyum walau tipis. “Aku hanya... ya, kaget saja. Dua tahun aku bersama Satya, aku pikir... dia akan berjuang.”
Bu Yuni mengangguk pelan. “Ibu mengerti. Tapi kadang orang yang kita kira berani, ternyata takut. Dan yang kelihatannya tegar, belum tentu kuat.”
Dari dalam kamar, terdengar suara Rifan-Adik kedua Rani berceloteh dengan adik bungsu mereka-Ragil soal lem tembak dan triplek. Rumah itu hidup dalam kesederhanaan, tapi penuh dengan usaha.
“Kamu tidak salah apa-apa, Rani. Jangan pernah merasa kamu kurang. Kamu anak yang baik, kamu pekerja keras. Kalau ada yang tidak bisa melihat itu, ya berarti dia yang buta.”
Rani menunduk. Air matanya jatuh diam-diam, menetes di tangan ibunya.
“Maaf ya, Bu. Aku belum bisa bahagiain Ibu seperti yang aku janjikan.”
Bu Yuni tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. Ia usap kepala Rani lembut.
“Kamu sudah bahagiain Ibu dari dulu, Nduk. Dari kamu kecil, kamu tidak pernah menyusahkan. Ibu bangga sama kamu.”
Malam itu, tak ada cahaya mewah, tak ada pelukan besar. Tapi di rumah kecil itu, ada cinta yang diam-diam menyembuhkan luka Rani.
---
Malam semakin larut. Rifan dan Ragil sudah masuk kamar, rumah itu mulai tenang. Rani duduk di atas kasur tipis yang dilapisi sprei bergaris biru, di kamar kecil yang ia tempati sendiri sejak SMA.
Di sudut meja belajar yang penuh buku, ada satu benda yang belum pernah ia buang jurnal lusuh bersampul coklat tua. Di sanalah Rani menyimpan serpihan pikirannya sejak dulu—tentang ayah yang meninggal terlalu cepat, tentang ibu yang tak pernah mengeluh, tentang adik-adiknya, dan sekarang, tentang Satya.
Ia membuka halaman terakhir yang kosong, meraih pulpen hitam dan mulai menulis.
> “Hari ini, hatiku seperti dipukul dari dalam. Tapi aku masih duduk di sini. Masih bisa bernapas, masih bisa menulis.
Mungkin itu artinya aku masih utuh, walaupun terasa retak.
Aku tidak marah pada Satya. Aku hanya kecewa, karena ternyata keberanian tidak selalu datang bersama cinta.
Tapi aku juga sadar...
Aku bukan hanya gadis yang gagal dilamar.
Aku adalah anak perempuan dari ibu luar biasa yang tak pernah menyerah.
Kakak dari dua adik laki-laki yang harus kulindungi.
Dan yang paling penting aku adalah aku.
Masih tetap berdiri. Dan akan terus melangkah.”
Ia meletakkan pulpen dengan hati-hati, lalu menatap langit-langit kamar.
Terkadang, kehilangan tidak membuat seseorang hancur. Tapi justru memperjelas siapa yang rela tinggal, dan siapa yang memang ditakdirkan pergi.
Rani memejamkan mata, membiarkan malam membungkus tubuhnya dalam sunyi. Ia belum tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi malam ini, ia tahu satu hal pasti.
Cinta tak selalu harus dimenangkan. Kadang, cinta cukup dikenang. Dan dilanjutkan—sendiri, jika perlu.
---