BAB 2

1060 Words
Hari Jumat yang damai. Dari pagi sampai siang ini, dari aku berangkat sekolah sampai pulang lagi, hidupku penuh dengan kedamaian. Alfa asli nggak muncul sama sekali. Pacarku yang sangat menyebalkan itu hari ini seolah hilang ditelan bumi. Nggak sih, dia masih hidup, hanya saja nggak masuk karena karena mendapat dispensasi untuk persiapan lomba besok lusa. Alfa merupakan salah satu siswa kebanggaan sekolah. Sudah banyak piala dan prestasi yang dia torehkan untuk sekolah. Otaknya memang cerdas, segala macam lomba diikuti, dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai nasional. Bahkan, dia pernah memenangkan lomba lari kelereng sekelurahan. Ya, itu adalah prestasi yang paling wow menurutku. Lomba matematia, fisika, TIK dan lain-lain, itu sudah biasa. Sebagai siswa cerdas, Alfa bisa dibilang sangat terkenal. Reputasinya di kalangan cewek-cewek tidak bisa diremehkan. Walau sempat beredar gosip kalau Alfa itu homo, padahal sampai sekarang nggak ada bukti yang jelas ataupun klarifikasi yang bersangkutan, gosip itu mereda dan hilang dengan sendirinya seolah tidak pernah ada. Hal itu, tidak lain tidak bukan karena Alfa pacaran denganku. Entah dia benar-benar suka atau hanya menjadikanku tameng, aku tidak peduli. Seharunys aku mencaritahu dulu, tetapi malas. Aku sangat menyukainya, dulu. Setelah pacaran sehari, aku baru menyadari bangsatnya seorang Alfa. Dia memang bukan playboy atau fuckboy, tetapi kelakuannya udah setara sama setan. Setelah selesai sholat, aku mengempaskan tubuhku di kasur, merasakan ‘kedamaian’ yang seolah pergi dari hidupku sejak jadian dengan Alfa. Dia berbeda dengan pa yang aku bayangkan. Walau begitu, aku nggak mau putus, sudah telanjur sayang. Nyaman, aku merasakan lembutnya kasur empukku ditemani angin sepoi-sepoi dari kipas angin di kamar. (Sumpah, kamarku adalah surgaku. Nyaman banget.) Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kulihat penelponnya, ternyata si pacar b*****t. Aku mengabaikannya, enggan menanggapi. Handphone-ku berbunyi lagi. Kulirik lagi, Alfa lagi. Aku tak acuhkan lagi. Pesan w******p masuk di handphoneku. Terpaksa kubuka dan membaca isinya. COWOK BANGSAT Pacar, angkat telponnya! PENTING! DARURAT! Aku bangun dan duduk di kasur. Mulai menunggu telepon dari Alfa lagi. Lima menit, nggak ada. Sepuluh menit, masih nggak ada. Akhirnya aku putuskan menelponnya. “Halo?” “Na,” suara di seberang sana terdengar, tetapi anehnya suara seperti orang yang mau menangis. “Hah? Ada apa?” tanyaku khawatir. “Lama amat sih nelponnya,” protesnya. “Hah? Katanya angkat telponnya. Ya, aku tunggu kau nelpon,” ujarku melakukan pembelaan. “Ya, itu maksudnya angkat telponmu terus nelpon aku,” katanya masih dengan nada yang sama membuatku makin khawatir. “Ada apa?” tanyaku lagi. “Tolongin aku. Hancur semua,” jawabnya dengan nada sedih dan terdengar bingung. Mendengar jawaban Alfa, aku jadi makin khawatir. “Hancur semua? Lah, kau kenapa? Di mana sekarang?” tanyaku bertubi-tubi. Sungguh aku sangat khawatir padanya. “Cepetan ke rumah ya. Aku sendirian!” rengeknya dengan nada manja. “Lah, di mana? Aku nggak tahu rumahmu,” tanyaku heran. “Cepetan! A…..!!!” Prangg. Tutt..tutt. Eh? Itu suara apa? Aku berdiri dari dudukku, kucoba hubungi Alfa sekali lagi. Aku hubungi beberapa kali tetapi tidak diangkat, malah handphonenya tiba-tiba mati. Kekhawatiranku makin meningkat. Aku segera menelpon Iqbal, sahabat dekat Alfa, memintanya mengirimkan alamat Alfa padaku. Setelah mendapatkannya, aku segera mengambil sepedaku. Dengan baju seadanya dan rambut berantakan, kukayuh sepedaku sekuat tenaga menuju rumah Alfa.  Tentu saja, dengan bantuan google maps dan tekad yang separuh bulat. Aku takut dia kenapa-kenapa. Kakiku lelah setelah menempuh setengah perjalanan. Aku berhenti sebentar, mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bisa melanjutkan perjalananku. Aku dehidrasi. Kulihat penjual minuman di tepi jalan. Aku ingin beli minuman, tetapi dompetku ketinggalan karena tadi buru-buru. Kucoba mencari uang di saku celanaku, nggak ada. Akhirnya, aku hanya bisa melongo. Berharap banget hujan biar bisa minum meski dikit. Aku mulai mengayuh sepedaku kembali. Ketika tiba di perempatan, ada mobil yang ngebut. Aku mencoba menghindar sekuat tenagaku dengan membanting stir ke arah yang berlawanan. Aku selamat tetapi sialnya malah nyungsep di got terdekat. “Aduh!” rintihku kesakitan. Beberapa orang yang melihatku masuk got tertawa geli sebelum akhirnya berempati untuk menolong. Sebagian dari orang-orang itu ada yang mengambilkan sepedaku, ada pula yang membantuku berdiri. “Nggak apa-apa, Dek?” tanya seorang lelaki yang aku rasa umurnya sama kayak Ayah. “Nggak apa-apa, Pak,” jawabku sambil membersihkan air comberan yang nempel di bajuku. “Mau numpang bersihin badan dulu di rumah bapak?” tanya bapak itu menawariku dengan ramah. Aku menggeleng pelan. “Nggak usah, Pak. Terima kasih. Saya buru-buru,” jawabku menolak dengan sopan tawaran dari bapak itu. “Yaudah, adek minum dulu. Pasti shock kan habis jatuh,” ujar seorang wanita yang sepertinya istri dari bapak yang menolongku barusan. Ibu itu menyodorkan segelas air putih padaku, aku pun menerimanya dengan senang hati. Aku meneguk habis segelas air putih itu. (Rasanya aku hidup lagi setelah minum. Ah, segar banget sumpah). “Makasih, Bu,” ujarku sambil memberikan gelas itu kembali pada si Ibu. Ibu itu mengangguk pelan. Dia mengambil gelas dari tanganku. Setelah beristirahat sebentar, aku melanjutkan perjalanan lagi. Setelah perjuangan yang berat, menahan rasa sakit karena lecet dan juga tenaga yang udah lowbat, akhirnya aku sampai di tujuan. Aku langsung memarkirkan sepedaku, dan buru-buru mengetuk pintu rumah Alfa. Aku tidak salah alamat karean sudah dipastikan kepada tetangganya. Aku khawatir dia kenapa-kenapa. “Fa! Alfa!” seruku sambil mengedor-ngedor pintu rumah Alfa.. Agak lama ditunggu, belum juga ada jawaban. Kekhawatiranku makin berlipat ganda. Aku mengambil napas panjang dan menghempaskannya pelan-pelan. Aku berniat untuk mendobrak pintu rumahnya. Aku sudah nyaris menendang pintu rumahnya seandainya nggak tiba-tiba terbuka. Alfa nongol dengan wajah nggak berdosa. Cowok b*****t menggunakan kolor keroppi dengan baju dalaman putih tanpa lengan. Rambutnya basah, seperti baru selesai mandi. “Lho? Kok pose begitu?” tanyanya heran. Aku tegapkan kembali tubuhku dan memandangnya dengan kesal. “Kamu belum mati?” tanyaku dengan nada kesal. Emosi. “Hah? Emang kenapa kok aku bisa mati?” katanya balik nanya dengan wajah bingung. “Tadi katanya hancur semua. Aku bahkan mendengar suara piring pecah. Handphone-mu juga mati,” kataku menjabarkan alasanku. Alfa diam, loading bentar lalu tiba-tiba ngakak. “Oh, itu. Tadi aku buat mie instan, karena kelamaan rebusnya. Aku tinggal mandi, jadi hancur semua. Mau aku pindahin ke piring, eh malah piringnya jatuh. Handphone-ku juga nggak sengaja kena siram air panas, the end, deh,” ujarnya menjelaskan dengan detail. “Kok kau lusuh gitu? Bau juga, habis ngapain? Main-main ke comberan?” ledeknya. Aku hanya mengusap d**a. Sabar-sabar. (Ingat, Na, baru jadian. Harus bisa kontrol emosi.) “Oiya, rumahku kosong. Ayah, ibu dan adikku pergi ke rumah tante, mungkin malam baru balik,” ujarnya lagi. “Terus?” tanyaku nggak paham. “Tolong buatin aku makanan. Sekalian bersihin piring pecah dan bekas mie di dapur,” jawabnya sambil senyum. Aku menggatubkan bibir rapat-rapat. Rasanya kepalan tanganku udah nggak tahan untuk nonjok wajahnya. “Oh satu lagi, kamarku berantakan tolong rapiin, ya. Kalau udah selesai bilang. Aku ada di lantai dua, main PS. Thanks Ina cantik” kata Alfa menimpali. Alfa berjalan masuk ke rumahnya. Sementara aku hanya berdiri kesal. Sedetik kemudian, aku juga masuk ke rumahnya,.menutup pintu dan memandang punggung pacarku yang sedang naik tangga untuk ke lantai dua. Tuhan, boleh nggak aku bunuh dia sekarang? Mumpung nggak ada orang. Sumpah, kesal berkubik-kubik diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD