BAB 1

2101 Words
Kring.. kring.. kring.. Bunyi alarm yang cukup nyaring itu mengusik ketenangan tidurku. Indera pendengaranku mengalami pencemaran suara sehingga menyebabkan secara otomatis mataku terbuka. Aku mencoba mengulurkan tangan, mengambil benda berbentuk Doraemon yang berada di meja dekat ranjangku. Aku raih dengan sekuat tenaga dan mematikannya dengan sempurna. Perlahan-lahan kumulai membuka mata dan menghela napas panjang saat kutahu ini masih jam empat pagi. Hari ini adalah hari Rabu, so aku olahraga, sehingga harus datang pagi-pagi sekali. Tutt.. tutt... tut.. Ada telpon masuk, aku segera mencari handphone yang selalu diletakkan di bawah bantal. Setelah itu, aku mengangkat telpon masuk itu dengan menekan tombol hijau. “Na,” Suara di seberang sana langsung menyambar kayak kilat. “Apa?” sahutku masih rada males. “Kamu masih hidup kan? Jangan lupa, hari ini kita olahraga,” jawabnya yang membuatku meringis. Maksudku info itu sudah basi—semua juga sudah tahu. Namun, tetap saja membuat senang karena dia sudah perhatian. “Aku tahu, kenapa memang?” “Bareng yuk! Aku antar!” Alfa—cogan unggulan yang sudah menjadi pacarku sejak seminggu yang lalu memberikan penawaran yang cukup menggiurkan. Namun, aku mendadak ingat kalau dia suka datang lebih pagi untuk pemanasan dengan lari keliling lapangan. Ogah! Lemak-lemak di tubuhku bisa protes. “Nggak mau, ntar kau dateng kepagian. Ngapain coba datang ke sekolah jam 5 pagi? Mau jadi penunggu?” tolakku. Alfa terdengar mendecih kesal. “Diperhatiin bukannya baper malah ngomel. Kamu nggak kasihan sama tubuhmu yang mulai berlemak dan melonggar? Jangan nyebelin, dong!” gerutunya kesal. Aku mengerucutkan bibir kesal. Aku bukannya nggak tahu diri, hanya saja, aku masih di kategori kurus, belum gemuk atau over weight. “Bukan gitu, aku hanya nggak mau datang pagi dan lari pagi. Nanti perutku sakit,” sanggahku. “Tauk ah! Udah ya, ntar pulsaku habis. Bye,” katanya ngambek lalu menutup telpon. “Bah, malah ngambek. Maunya apa coba?” omelku BT. Telanjur bangun, mataku susah merem lagi. Jadi, aku keluar kamar dan langsung eneg saat melihat seorang lelaki yang sedang melakukan ‘ritual’ paginya. “Pagi, Na,” sapanya sambil masukin tangan kanan ke lipatan b****g. “Ayah jorok!” teriakku BT. Ayah hanya senyum, ngeluarin tangan trus sengaja dicium-ciumin. Sumpah jijay banget, geli-geli gimana gitu liatnya. Lelaki itu--Yups! Ayahku. Seorang lelaki paruh baya yang demen banget mager dan main game. Ayahku berprofesi sebagai dosen di salah satu niversitas swasta di kotaku. Di kampus terkenal banget sebagai dosen killer. Padahal di rumah longor parah. Aku jadi meragukan ucapan ibuku. Apa iya, lelaki seperti ayah itu termasuk dalam kategori suami idaman? “Ina olahraga kan?” tanya ayah. “Iya, Yah!” “Kalau gitu ayah mandi duluan,” kata ayah lalu berjalan ke kamar mandi. “Heh?” Aku hanya melongo, enggan menanggapi ayahku yang memang rada absurd dan geje. Aku rasa ayahku itu adalah nenek moyang Alfa di masa lalu. Sama banget kelakukannya. Nyusahin! *** Aku tiba di sekolah tepat waktu walau sempat terhambat karena keusilan ayah yang masih ngerengek agar dibuatin sarapan. Aku pun buru-buru bergabung di barisan dengan teman kelasku yang lain. Fafi, sahabatku, nyaris mengintograsiku ketika melihatku yang baru datang tetapi diurungkannya ketika Pak Ayong mulai bersiap untuk mengajar olahraga. Kami pun mulai fokus pada pelajaran yang cukup menguras tenaga ini. Pelajaran olahraga selesai setelah satu jam berlalu. Materi olahraga kali ini adalah lompat jauh. Pak Ayong hanya memberi materi tentang dasar-dasar melakukan lompat jauh serta memberi kami kesempatan untuk dua kali percobaan. Soalnya minggu depan penilaian. Setelah itu pak Ayong membubarkan kelas, aku dan Fafi pun meninggalkan lapangan. Kami berniat ke kantin untuk mengisi perut kami yang sudah keroncongan. Di tengah jalan, aku menghentikan langkahku membuat Fafi keheranan. Aku menunjuk cowok yang udah terlihat dari kejauhan. Fafi melihat ke cowok yang aku maksud. Sahabatku yang tidak memiliki lemak sama sekali di tubuhnya itu menutup mulutnya, menahan tawa, entah karena geli atau emang nggak nyangka sama sekali. “Hai,” sapa Alfa saat sudah berada di depanku. Sejak tadi, aku berhasil menghindari Alfa karena cewek dan cowok diberikan materi secara terpisah. Namun melihatnya mendatangiku sungguh di luar ekspektasi. “Ngapain?” tanyaku. “Kamu lapar kan? Belum sarapan kan? Mau ke kantin ya?” tanyanya bertubi-tubi. “Iya, kenapa emang?” tanyaku dengan perasaan yang mendadak nggak enak. “Sarapan sama aku, yuk. Sudah aku buatin yang spesial,” jawabnya dengan senyum mencurigakan. Aku bergidik lalu menoleh kea rah Fafi.  “Aku ke kantin duluan, deh. Bisa-bisa aku mual kalau terus bareng pacarmu yang ternyata alay kuadrat ini,” sindirnyalalu berlari pergi ke kantin. Aku hanya mengangguk menanggapi sindiran Fafi. “Mau kan? Mau ya?” Alfa maksa. Aku terpaksa mengangguk mengiyakan. Meskipun ragu dengan makanan yang harus aku makan nanti. Alfa menggandeng tanganku lalu membawaku ke depan aula. Cowok ganteng itu mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. Tak lupa dia juga mengeluarkan sebuah botol minuman. Aku hanya duduk pasrah di dekatnya. “Ini apa?” tunjukku pada kotak bekalnya. Penasaran apa isi di dalamnya. “Roti bakar ala Alfa,” jawabnya sedikit songong. Sepertinya dia begitu percaya diri dengan masakannya. “Ini apa? kok hijau pekat? Jus alpukat ya?” tanyaku lagi sembari menunjuk ke botol minuman yang dia bawa. Alfa tidak menjawab, hanya nyengir. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. Walau nggak mau berburuk sangka, eksprwesi muka Alfa seperti tersangka di komik Conan yang diam-diam memberikan sianida kepada korbannya. “Minum aja, entar tahu sendiri. Dijamin sehat,” jawabnya dengan yakin. ALfa membuka kotak bekalnya dan terlihatlah “roti bakar ala Alfa” yang sumpah berantakan. Penampilannya sungguh mengecewakan. Bisa dibilang sama ancurnya kayak roti bakar buatan ayah. “Ini yakin bisa dimakan?” tanyaku ragu. Alfa manyun. “Aku bangun jam empat cuma buat masakin kamu, lho. Kok bilang gitu, sih?” Alfa sepertinya ngambek. Aku hanya menghela napas, mencoba meyakinkan batinku kalau aku nggak akan mati setelah makan roti bakar buatan pacar sendiri. Aku mulai mengambil sedikit roti bakar itu, dengan ragu aku lakukan gigitan pertama. Bibirku sedikit bergetar ketika lidahku begitu kuat merasa olesan mentega yang sangat tebal dan menumpuk. Sekuat tenaga aku coba menahannya dengan melakukan kunyahan pertama. Keberadaan s**u cokelat di roti itu sedikit membantu, hingga akhirnya proses pengunyahan selesai dan kutelan roti bakar itu hingga masuk ke kerongkonganku. Semoga ia mendarat dengan selamat di lambung. “Gimana? Enak, nggak?” tanya Alfa dengan wajah polos. Nggak ada tanda-tanda kalau dia sengaja ingin membunuhku. Aku menghela napas panjang, menahan rasa mual dan sesak yang menyeruak bersamaan, sudah mirip orang asma tahap pertama. (Dia oon atau emang mau ngerjain aku, ya? Entahlah, mungkin dia emang oon.) Aku nggak menjawab pertanyaan Alfa, hanya berusaha mencubit-cubit kecil roti bakar buatannya. Aku memisahkan bagian roti yang udah gosong dan nggak terselamatkan. Aku hanya memakan bagian roti bakar yang menurutku masih layak dimakan. Sebenarnya aku sudah merasa eneg di gigitan pertama, tetapi melihat kesungguhan Alfa untuk membuatkan aku sarapan harus dihargai. Untungnya, dia hanya membuat satu roti bakar. Kalau dua, aku mungkin sudah pingsan atau sekarat. Aku melirik botol minuman yang ada di dekatnya, sedikit ragu untuk minum, tapi haus, tenggorokanku terasa penuh dan sesak karena roti bakar buatannya. “Mau minum, ya? Nih!” katanya sambil memberikan botol minumannya. Mungkin dia sedikit paham telepati cewek. Aku terima botol minumannya, membuka tutup botolnya dan tercium bau yang sangat kuat. Aku menjadi semakin ragu untuk meminumnya. “Aman dan sehat, kok. Minum aja,” katanya meyakinkanku. Aku meyakinkan diriku dan mulai meminum apa pun isi di botol minuman itu. Satu tegukan dan aku langsung nyembur. Sumpah, pahit banget. “Apaan nih?!” ujarku sambil menyeka sisa-sisa minuman yang telanjur masuk di mulutku. Lidahku mendadak kelu dan mati rasa karena minuman itu. “Eh? Sepahit itu, ya? Ini jus sehat lho aku lihat di internet,” kata Alfa sambil memasang wajah heran plus bingung. “Memangnya ini jus apa?” tanyaku penasaran. “Ini campuran dari bayam, bunga kol dan sedikit buah apel.” Aku langsung mendadak ingin muntah mendengar jawabannya. “Maaf, aku ke toilet dulu,” kataku lalu ngacir duluan, meninggalkan Alfa yang masih stay di tempat duduknya. Rasanya aku harus menguras habis isi perutku sebelum mati keracunan karena makanan dan minuman buatan Alfa. Cukup sekali aja, deh mencicipi masakan pacarku yang beracun dan mematikan itu. (Dia beneran mau membunuhku? b*****t sekali.) *** Bel istirahat berbunyi, aku masih diam nggak bergerak di Kasur UKS. Fafi yang menemaniku sejak tadi hanya tertawa geli. Di jam kedua, aku sudah keringetan semua dan wajah pucat mirip vampire. Pak Komar yang biasanya jahat, langsung mengirimku ke UKS. Dia bilang nggak mau aku menularkan penyakit ke teman yang lain. Fafi pun dengan senang hati mengawalku dan nggak balik ke kelas lagi. (Modus tuh dia, biar nggak ikut pelajaran.) Di UKS, aku diberi obat oleh Bu Ummi, dokter jaga UKS sekaligus guru BK (Bimbingan Konseling). Setelah diperiksa dan minum obat, aku membaik. Herannya, Bu Ummi bilang aku dehidrasi padahal seharusnya aku didiagnosa keracunan. Sungguh cowok b*****t itu membuatku makin yakin kalau dia sebenarnya iblis yang menyamar jadi cogan di dunia untuk mengambil jiwa-jiwa cewek nggak berdosa sepertiku. Ok, lupakan. Itu terlalu berlebihan. “Gimana keadaanmu, Na?” tanya Fafi ketika melihatku udah sadar setelah tidur karena pengaruh obat. “Lumayan,” jawabku sambil berusaha bangun. Fafi meletakkan handphonenya lalu membantuku duduk. Setelah itu, dia ambil lagi handphonenya dan asyik main. Sahabatku itu sejak tadi menemaniku sekaligus ngelanjutin war-nya di ML. Entah sejak kapan, dia mulai kecanduan nge-game. “Kamu nggak ke kantin?” tanyaku heran melihatnya masih stay di UKS padahal udah istirahat. “Nggak. Pacarku nggak masuk, jadi aku di sini aja,” jawabnya masih sambil nge-game. “Eh? Sauqi nggak masuk? Sakit?” tanyaku heran. Fafi menggeleng. “Kagak. Dia ikut lomba debat Bahasa Inggris,” jawabnya sambil senyum. “Heleh, bangga nih ye pacarnya ikut lomba bergengsi,” godaku. Fafi meletakkan handphonenya lalu menoleh ke arahku. “Emangnya kau pikir hanya pacarmu yang punya otak encer. Pacarku juga, tauk!” ujarnya songong. “Iya dah, yang baru jadian,” sahutku mengalah. Fafi senyum, sepertinya sahabatku itu benar-benar bahagia. “So, kamu kenapa sampai tumbang? Si alfa ngapain?” tanyanya penasaran. Aku hanya nyengir, nggak berani bilang kalau hampir menjadi korban percobaan pembunuhan pacar sensdiri. “Na” Alfa nongol. Fafi langsung cabut. “Aku balik ke kelas duluan ya, Na. Pacarmu udah datang,” ujarnya lalu keluar dari UKS. “Kau sakit, ya? Kenapa?” tanya ALfa dengan polosnya. Aku hanya senyum. Nggak tega bilang kalau aku nyaris mati karena makanan buatannya. “Pulangnya gimana? Bareng aku aja ya, sepedamu taruh di sekolah,” katanya memberikan saran. Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Cepat sembuh,” katanya dengan tulus sembari tersenyum manis membuat jiwa coganku meronta-ronta. Dia memang menggemaskan, nggak tega rasanya buat marah ataupun benci. Walau dia sempat akan mmembunuhku hari ini. Aku maafkan. Merasa sehat dan baikan, aku kembali ke kelas setelah jam istirahat usai. Alfa secara khusus menemaniku sampai ke kelas. Setelahnya, kami fokus ke pelajaran. Sialnya, aku lupa, kalau jam ketiga ada ulangan Biologi. s**l, aku pasti remidi lagi. Nggak belajar sama sekali. Ah, menyebalkan. *** Pulang sekolah, aku pulang dengan Alfa, sudah janjian pulang bersama tadi. Jadi, kami menuju parkiran bersama-sama. Sebelum naik ke sepeda motornya, Alfa melihatku sebentar, memerhatikan dengan seksama. “Aku nggak suka,” katanya. “Apanya?” tanyaku bingung. “Kamu terlalu cantik, kalau banyak yang suka gimana?” jawabnya dengan wajah serius, nggak ada tanda-tanda dia bercanda. “Lagi ngegombal?” tanyaku ragu-ragu. Alfa menggeleng. “Nggak, tuh. Itu ngengombal emangnya?” katanya balik nanya. Aku menggaruk-garuk kepalaku. (Ini aku yang terlalu ke-GR-an atau emang dia yang rada-rada?) “Yaudah, naik, gih!”suruhnya. Aku pun naik dan sepeda motor pun mulai melaju pelan. Di tengah jalan tiba-tiba Alfa menepi. “Kenapa?” tanyaku heran. Aku turun dari sepedanya, lantas mulai paham kenapa sepeda motornya berhenti dan terasa aneh. “Wah, bannya bocor,” kataku sambil menunjuk ban sepeda motornya yang udah nggak tertolong. “Duh, gimana nih?” Alfa mulai oon lagi. “Yaudah dorong. Cari tambal ban,” ujarku memberi solusi. Alfa manyun. “Duh mana jalanannya sepi lagi, udah jam segini. Emang masih ada tambal ban yang buka?” Alfa pesimis. “Ya coba aja dulu.” Alfa hanya menghela napas lalu turun dari sepeda motornya. Dia menuntun sepeda motornya sementara aku berjalan di sampingnya. Cukup jauh kami berjalan dan masih belum ada tanda-tanda keberadaan tambal ban. “Ada orang tuh. Nanya gih tambal ban di mana,” suruhnya sambil menunjuk seorang cowok yang lagi duduk di gardu. “Hah? Aku yang nanya, nih?” tanyaku setengah protes. “Iya, sana nanya. Aku udah pegel, nih,” pungkasnya membuatku ingin menonjoknya. “Kan cowok. Kau lah yang nanya.” Aku masih bersikukuh dengan pendirianku. “Yaudah, pegang nih motornya,” akhirnya ia mengalah. Aku menggantikan posisinya lalu cowok itu berlari menghampiri si cowok yang tadi ditunjuknya. Alfa terlihat berbincang-bincang dengan cowok itu., kemudian dia berlari pergi ke arah lain membuatku jadi kebingungan dia tinggal sendiri. Lima belas menit berlalu, Alfa belum juga nongol. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya. “Halo?” “Oi, Jalan kira-kira 1 km ke utara. Ada tukang tambal ban di sebelah kiri. Nah, aku ada di dekat sana,” jawabnya to the point. Telpon pun terputus, aku bahkan belum menjawab apa pun. Aku hanya menghela napas dan menuntun sepeda motor ke arah yang dia maksud. Mendadak aku jadi laper lagi. Akhirnya aku sampai di tujuan, kuberikan sepeda motor itu ke tukang tambal ban tapi anehnya tak ada Alfa di sana. “Oi, Na!” Teriakan itu membuatku menoleh. Di seberang sana, entah sengaja atau tidak. Aku lihat pacarku yang lagi nyantai sambil minum es degan. Seandainya saja aku punya tenaga yang tersisa, aku udah membantainya detik itu juga. Aku menggigit bibir bawahku, menahan kesal yang udah sampai di ubun-ubun. Aku bersabar karena baru jadian. Setelah menahan amarah selama dua puluh menit, akhirnya sepeda motor Alfa selesai ditambal. Kami pun pulang. Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam rumah. Malas nanggapin Alfa yang bikin aku capek jiwa dan raga. Ayah yang melihatku dekil mulai jail. “Na, kok dekil gitu, sih? Bukannya sekolah, malah bajak sawah ya?” sindir Ayah. Aku hanya melirik lemah ke ayah. “Yah, jangan macem-macem, Ina lagi nggak mood. Takutnya kesurupan trus nonjok ayah sampai bonyok,” jawabku lalu masuk ke dalam kamar. Tepar. Hayati lelah, Tuhan. Alfa yang diharapkan, nggak seindah pangeran impian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD