PROLOG

524 Words
Saat aku kecil, ibuku pernah bertanya kelak jika besar nanti, aku ingin menjadi apa. Dengan senyum malu-malu aku menjawab ingin menjadi ibu rumah tangga yang bahagia sama seperti ibu. Ibuku hanya tersenyum saat itu sembari membelai lembut kepalaku. Beliau juga berkata jika ingin begitu, aku harus mencari seorang pria ganteng dan mapan. Aku menautkan alis seolah bertanya mengapa harus ganteng dan kaya? Ibuku tidak menjawab, hanya tertawa renyah sembari menunjuk ayahku. Ibu bilang lelaki ganteng akan membuat kita betah menatapnya, semarah apapun kita padanya. Selain itu kaya, akan membuat hidup kami tidak akan kekurangan. Saat itulah, kebahagian penuh cinta akan tercipta selayaknya rumah tangga ibu dan ayahku. Namun, ibuku berpesan bahwa menjadi ibu rumah tangga juga harus memiliki keterampilan dan pendidikan yang tinggi. Jadi, jika suatu saat nanti keadaan yang tidak memungkinkan terjadi, aku bisa membantu suamiku untuk mencari nafkah bagi keluarga. Aku mengangguk mengerti dan mengutarakan pertanyaan konyol dalam benakku. Kenapa harus seperti ayah, ibu? Ibuku tersenyum. Dengan wajah merah karena tersipu malu, ibuku menjawab, karena ayahmu adalah lelaki ganteng yang bisa membuat ibu bahagia bahkan meski tanpa uang sekalipun. Saat itu-tidak! Sampai saat ini pun aku belum memahami apa maksud perkataan ibuku saat itu. Namun, satu hal yang kutahu saat aku SMP adalah ayahku jurusan IPA di SMA. Mungkin karena itulah aku sangat terobsesi untuk mendapatkan pacar dari jurusan IPA saat SMA. Berawal dari perjodohan yang dilakukan teman-temanku, aku menarketkan teman sekelasku. Namanya Alfa—bukan nama supermarket. Cowok genius yang paling pintar dalam matematika, fisika dan mata pelajaran lain yang ada hitung-hitungannya. Dia berwajah tampan, menawan dan menggirukan. Jika diibaratkan, dia sudah mirip kue tart, istimewa dengan banyak rasa. Memandangnya saja sudah menyejukkan mata. Alfa adalah teman sekelasku, unggulan utama. Dia tidak banyak bicara, pendiam dan cenderung irit dalam berkata-kata. Walau begitu, dia tidak pernah menolak saat ditanya mengenai soal-soal matematika yang sulitnya membuat sakit kepala. Saat dia menjelaskan, dunia seakan milik kami berdua. Entah gossip dari mana—aku beruntung dijodohkan dengannya, dianggap berpacaran padahal belum jadian. Dia juga belum pernah mengungkap cinta ataupun mengajakku chat atau ketemuan. Isi percakapan kami tidak lebih dari sekadar bertanya dan menjawab soal saja. Walau begitu, aku sangat berterima kasih pada si penyebar gossip. Berkatnya, aku dan Alfa dipasangkan. Meskipun setelah kejadian itu, Alfa memblokir nomerku. Menyedihkan. Cinta yang baru akan bertunas, layu dan mati sebelum tumbuh. Seminggu setelahnya, berembus kabar yang kurang menyenangkan. Alfa dikabarkan seorang homo, pecinta sesama batangan, terong makan terong atau istilah lainnya. Ini dipicu kesaksian seorang teman yang tidak mau dipublikasikan namanya—yang mengatakan kalau Alfa bergandengan tangan dengan seorang lelaki di jalan. Entah apakah kabar itu benar atau tidak, aku tidak tahu. Yang jelas, aku sangat patah hati. Bukan karena gossip Alfa homo, tetapi sejak diblokir, nilai matematikaku anjlok dan harus remidi. Tiga hari berlalu, gossip semakin tidak terkendali. Alfa tiba-tiba mengajakku bertemu setelah membuka nomerku yang sudah tidak lagi diblokir olehnya. Kebahagian berlipat karena dia mengajakku berpacaran. Walaupun dia mengajak seperti orang menawarkan cireng, aku tetap mengiyakan. Keesokan harinya, kabar kami jadian menyebar seperti kecepatan cahaya. Semua orang tahu padahal aku belum memberitahukan siapapun, termasuk Fafi, sahabatku. Sungguh mengerikan. Walau begitu—aku lebih terkejut saat tahu bahwa berpacaran tidak seindah kata orang. Sayangnya, aku terlambat untuk melarikan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD