Chapter 3; Biankara

1630 Words
Kelopak mata yang dibalut oleh bulu mata lentik itu mulai mengerjap pelan kala sinar matahari perlahan masuk ke dalam kamarnya dan akhirnya merambat mengenai wajahnya. Ah, ternyata sudah pagi, bisik perempuan berparas cantik tersebut dalam hatinya. Saat matanya telah terbuka sepenuhnya menampakkan manik hazel yang terlihat bersinar saat ditempa cahaya dan kesadarannya telah terkumpul utuh dalam raga, dengan segera ia pun bangkit duduk seraya menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, setelahnya barulah perempuan itu mengedarkan pandangan ke sepenjuru kamar lantas mendapati para pelayan dan juga dayang-dayang yang setia menemaninya sudah berdiri dengan rapi di sisi ranjang yang menjadi singgasananya saat ini. ‘Kebiasaan sekali, bukannya langsung membangunkanku mereka hanya diam saja sampai aku terbangun sendiri,’ batinnya lagi kali ini diiringi gerutuan sebal. “Selamat pagi, Nona Irina,” sapa para pelayan dan juga dayang secara bersamaan. “Kenapa tidak ada satu pun dari kalian yang membangunkanku terlebih dahulu?” Bukannya menjawab sapaan tadi, Irina justru bertanya dengan nada yang pura-pura ia buat kesal. “Mohon maaf Nona Irina, tetapi kami tidak ingin mengganggu jam tidur Nona yang teramat berharga itu,” balas salah satu dayangnya yang bernama Tia lembut. Melihat senyum lebar yang diberikan para dayang untuknya, membuat Irina mau tak mau ikut tersenyum juga. Selalu seperti ini, dia tidak pernah dapat berlama-lama memendam kesal kepada para bawahannya. Saat kakinya mulai menapaki lantai, seorang wanita paruh baya yang merupakan seorang kepala dayang yang telah mengabdi pada keluarga Wyanett sejak Irina masih bayi pun nampak berjalan mendekati Irina dengan gerakan sopan dan hati-hati. “Gaun terbaik yang Nona minta sudah saya siapkan.” Sang kepala dayang berucap pelan sembari masih mempertahankan senyuman hangatnya. Mendengar perkataan Sira—sang kepala dayang—sontak membuat Irina melebarkan senyum kala otaknya mengingat alasan mengapa hari ini ia ingin memakai gaun terbaik yang ia miliki. Sebab hari ini adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu sedari lama, hari di mana kakak laki-laki kesayangannya akan pulang setelah hampir dua tahun tidak kunjung pulang lantaran harus memimpin pasukan perang dalam melawan kekaisaran sebelah.  Irina sudah sangat merindukan kakaknya itu dan dia benar-benar tak sabar ingin segera menjemput sang kakak di wilayah perbatasan hari ini. Dan untungnya Irina juga telah mengantongi izin dari sang ayah, jadi ia tak perlu takut lagi jika kepergiannya hari ini akan membuat risau seisi istana. Lagipun nanti ia akan didampingi para ksatria pilihan yang pastinya dapat diandalkan untuk menjaganya.   Setelah puas tenggalam dengan pikirannya sendiri, Irina lantas bergegas membersihkan diri dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya dengan perasaan yang berbunga-bunga segera memakai gaun terbaiknya yang berwarna hijau muda, gaun ini nampak mewah namun tak berlebihan. Sangat pas di tubuhnya yang ramping, tentu dia tak melakukan itu semua sendirian, Sira dan Tia ikut membantu walau telah berkali-kali ia tolak. Beberapa menit berselang akhirnya Irina menyelesaikan urusannya dengan gaun cantik ini, saat mematut diri di cermin dia dapat melihat wujud penampilannya yang cukup memuaskan, bagian yang paling ia sukai dari keseluruhan penampilannya adalah rambut coklat terangnya yang tersanggul rapi. Sira dan Tia memang tak pernah mengecewakannya sama sekali. “Bagaimana dengan penampilanku hari ini?” “Cantik sekali! Meski setiap hari Nona Irina memang cantik, tetapi hari ini Nona sepuluh kali lipat lebih cantik dari biasanya!” ungkap Tia dengan mata berbinar sembari bertepuk tangan sendiri. Dia sendiri seperti tak menyangka jika dirinya telah melayani perempuan secantik Irina setiap hari selama beberapa tahun ini, Tia bahkan sampai berpikir kalau di kehidupan sebelumnya dia pasti manusia mulia yang berjasa menyelamatkan suatu kerajaan karena di kehidupan sekarang ia diberi kesempatan utuk melayani seorang Irina Wyanett yang sempurna ini. Irina dan Sira hanya dapat tertawa pelan menanggapi pujian penuh semangat Tia barusan. “Tuan Louis pasti tidak akan menyangka melihat adik kesayangannya datang menjemput dengan penampilan secantik ini.” Kali ini Sira yang berkomentar tulus memuji sang Nona. “Terima kasih pujiannya, Tia, Sira.” Irina menguntai seutas senyum manis di bibirnya menanggapi pujian kedua dayangnya yang setia. “Aku menjadi semakin tidak sabar.” Lalu mereka bertiga saling melempar senyum cerah, membuat suasana dalam kamar luas tersebut semakin menghangat. Inilah alasan kenapa Irina sangat dicintai oleh para penghuni istana Grand Duke Wyanett, dia tak pernah memperlakukan para dayang atau pun pelayannya dengan semena-mena. Cenderung seperti keluarga dan teman dekat, meski demikian hal itu tak membuat  para dayang dan pelayan menjadi kurang ajar kepada Irina, mereka justru menjadi lebih segan dan sangat menghormati sang nona muda. “Irina?” panggil seseorang dari balik pintu kamarnya. Mendapati seseorang memanggil namanya membuat Irina menoleh senbelum kemudian berbalik dan berjalan pelan ke arah pintu. “Iya, Kak,” sahut Irina sembari mengangkat sedikit gaunnya yang panjang ke atas agar tak terinjak oleh langkahnya sendiri. Dia memanggil seseorang di balik pintu titu dengan panggilan ‘Kak’ tanpa ragu, karena dia tahu yang ada di depan sana adalah kakak iparnya, Ella Willis. “Apa kau sudah siap? Kereta kudanya sudah menunggu di depan istana.” Ah, ternyata sudah tiba saatnya untuk berangkat. Irina sudah dapat membayangkan ibunya pasti masih tak rela melepas kepergiannya, namun dia sudah lebih dari siap untuk berangkat menjemput sang kakak. Dengan senyum mengembang di wajah, Irina pun menjawab, “Ya … aku sudah siap, Kak.” ‘Kak Louis … tunggu aku.’ Irina sama sekali tak tahu jika seseorang di balik pintu kamarnya kini diam-diam tengah tersenyum miring mendengar jawabannya tadi. Irina bahkan tak menyadari kalau setelah ini dia akan mengalami kejadian paling tak terduga dalam hidupnya. *** “Papa mana ya, Tante? Tadi pagi udah janji lho sama aku sama Miss Miya bakal jemput,” ucap anak perempuan yang masih setia menggenggam jemari Irina dengan nada sebal. Wajahnya merengut dengan bibir yang mengerucut. Irina tahu anak ini pasti sedang kebingungan mencari keberadaan orang tuanya yang entah sedang ada di mana sekarang. Andai Irina sedang dalam keadaan ‘normal’ mungkin ia akan berusaha menyampaikan kata-kata penenang agar anak perempuan cantik ini tak cemas lagi. Sayang kondisinya sendiri pun tak lebih baik dari anak yang mengenalkan diri sebagai Nuansa tersebut. Karena jujur, keadaan aneh yang dialaminya sekarang cukup mengguncang kesadarannya. Jantungnya hampir melompat dari rongganya saat sebuah benda panjang yang bersinar di bagian depannya melintas dengan kecepatan yang tak bisa dibilang pelan, untung saja anak perempuan yang dia gandeng saat ini segera menariknya ke tepi. Eh? Tadi itu apa? “Tante jangan berdiri di situ, nanti ketabrak mobil,” ucap Nuansa lagi sembari mendongak menatap wajah kebingungan Irina. Irina segera menundukkan kepala guna membalas tatapan intens Nuansa pada wajahnya. Otaknya benar-benar tak dapat berpikir dengan jernih, seakan tumpul dan sulit untuk mencerna segala situasi yang dialaminya saat ini. Mobil? Sebenarnya ia sedang ada di mana? Kenapa rasanya tempat ini sangat asing? Baru saja Irina akan membuka mulut untuk bertanya kepada anak perempuan di sampingnya, tiba-tiba suara teriakan laki-laki memanggil nama anak perempuan itu dengan lantang. “NUANSA!” Mereka berdua lantas menoleh secara bersamaan ke sumber suara, dan dapat mereka lihat seorang pria berbadan tinggi tengah berlari menghampiri mereka. Berbeda dengan Irina yang masih kebingungan, anak perempuan yang tangannya masih dalam genggaman Irina justru tersenyum lebar melihat seseorang yang telah dia tunggu sedari tadi. “Papa!” Anak itu berloncat-loncatan menyambut sang papa yang memasang wajah khawatir dan kalut. Saat jarak di antara mereka sudah sangat dekat, laki-laki yang dipanggil papa tadi langsung menggendong Nuansa dan membawanya ke dalam pelukan erat. Dengan napas tersengal dia tak henti-hentinya mengucap syukur saat dapat bertemu kembali dengan putrinya yang telah menghilang selama satu jam lebih di malam hari seperti ini. “Kamu nggak apa-apa ‘kan? Ya ampun. kamu dari mana aja sih, Sayang? Kamu nggak tau ya betapa takutnya Papa tadi.” “Asa tersesat, Pa. Tapi Asa nggak papa kok,” balas Nuansa sembari mengalungkan kedua tangan mungilnya di leher papanya. “Kenapa kamu bisa terpisah dari Miss Miya?” Nuansa tersenyum malu sebelum menjawab dengan takut-takut. “A-aku tadi lihat burung kecilll, Pa, terus aku kejar sampe jauhhh, eh kejauhan aku lupa jalan keluar.” Pria itu berdecak pelan mendengar ungkapan tersebut, ternyata begitulah alasan mengapa putri satu-satunya ini dapat tersesat. Mereka sepertinya belum menyadari kalau ada seseorang yang memerhatikan interaksi di depannya dengan wajah bingung, mau menyela pun dia sungkan karena tak ingin mengganggu momen antara ayah dan anak di depannya. Tiba-tiba Nuansa tersentak kala dirinya seakan baru mengingat sesuatu, dengan cepat ia mengurai pelukan dan segera menoleh ke belakang. Seketika Nuansa tersenyum semakin cerah saat mendapati keberadaan tante cantik yang ternyata masih berdiri tak jauh darinya. Menangkap gelagat aneh putrinya, ayah dari anak perempuan itu pun ikut menoleh ke belakang dan tanpa bisa dicegah dirinya langsung mengerutkan kening melihat sesosok perempuan dewasa yang mengenakan gaun kotor yang panjangnya menjuntai sampai ke tanah berdiri di belakang Nuansa. Matanya lantas memicing curiga, dia tak bisa tak curiga akan keberadaan sang perempuan asing yang berpenampilan aneh dan mecolok malam-malam begini.   Merasa kurang nyaman dengan posisinya, akhirnya laki-laki itu membalikkan badan guna menghadap lurus ke arah Irina yang mulai kedinginan akibat terkena angin malam, sedangkan keberadaan gaunnya saat ini tak membantu sama sekali mengingat betapa terbukanya gaun yang tengah ia kenakan. “Siapa?” tanyanya dengan suara rendah yang terasa sedikit menakutkan bagi Irina, terbukti dengan dirinya yang otomatis mundur satu langkah sesaat setelah mendengar pertanyaan yang terlontar untuknya barusan. Nuansa memukul kencang bahu sang papa saat mengetahui papanya malah membuat takut tante cantik yang telah menolongnya tadi. “Papa nggak boleh gitu! Tante cantik itu yang udah nolongin Asa keluar dari sana!” Pria tersebut langsung meringis tak enak setelah mendengar gertakan barusan, bisa-bisanya ia menakut-nakuti wanita yang telah menolong putrinya. Untuk menutupi rasa bersalahnya, ia pun mengulurkan tangan, berniat memperkenalkan diri sekaligus mengucapkan kata terima kasih. “Biankara.” -To be Continued-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD