Chapter 2; Awal Mula

2173 Words
“Kenapa Anda tidak memberitahu saya kalau akan datang kemari?” “Aku memang berniat memberi kejutan, apakah tindakanku ini berlebihan?” “Ah, bukan begitu maksud saya … tolong jangan salah paham dulu, Yang Mulia. Maksud saya, jika Anda memberitahu akan datang kemari maka saya pasti akan merias diri dengan lebih pantas lagi untuk menemui Anda,” balas sang perempuan cepat. Dia takut dianggap tidak menyukai kedatangan tunangannya sendiri oleh para pelayan dan dayang yang ada di sekitar mereka. Semenjak insiden tersebarnya gosip tidak mengenakkan mengenai dirinya, ia memang menjadi selalu waswas dan menjaga sikap di mana pun ia berada termasuk di istana keluarganya sendiri, seperti saat ini. “Sudah berapa kali aku bilang, panggil saja aku Albern, Irina. Sebentar lagi juga kita akan segera menikah, jadi hentikan bahasa formalmu itu,” sungut Albern tak terima mendengar panggilan formal yang selalu disematkan oleh perempuan yang telah menjadi tunangannya tersebut. Irina tersenyum tipis menanggapi gerutuan Albern barusan. “Maafkan saya, Ya—ah maksud saya Albern, saya belum terbiasa dengan panggilan baru ini.” Ya, mereka berdua adalah Irina Wyanett dan Albern Winston. Sepasang kekasih yang kini menjadi dambaan dan panutan seluruh penjuru negeri. Mereka sudah bertunangan sejak dua bulan yang lalu sesuai dengan yang direncanakan oleh Raymond Wyanett. Irina akhirnya menyanggupi perintah ayahnya untuk bertunangan dengan anak kandung dari Kaisar Slovaskinia alias sang Putra Mahkota negeri ini, dan Albern pun dengan mudah  menyetujui pertunangan ini karena memang pada dasarnya dia sudah amat menyukai Irina sejak lama, jadi tanpa perlu banyak berpikir lagi dia langsung mengiakan surat permohonan yang dikirimkan Raymond pada Kaisar. Dan semenjak pertunangan mereka berdua dihelat, memang benar sudah tidak lagi orang-orang yang menggunjingkan Irina di luar sana, secara ajaib gosip-gosip yang sempat beredar luas itu hilang dengan sendirinya berganti dengan ujaran-ujaran seperti; “Ternyata Irina tidak menikah karena ingin menunggu Putra Mahkota.” atau “Pantas saja Irina menolak semua surat lamaran yang datang padanya selama ini, orang-orang yang melamarnya dulu jelas tak ada yang sebanding dengan Putra Mahkota Albern.” Begitulah kira-kira ucapan orang-orang yang sering tak sengaja Irina dengar akhir-akhir ini. Meski bagi Irina pertunangan ini tetap berunsur politik karena dia belum merasakan cinta untuk Albern, tetapi kenyataannya bertunangan dengan Albern tidak seburuk yang dulu sempat ia bayangkan. Albern Winston atau biasa disebut Putra Mahkota adalah sosok pria tampan yang gagah dan bijaksana, dia juga seseorang yang cukup menyenangkan dan sejauh ini Irina merasa nyaman jika berdekatan dengannya. Seringkali Albern ikut terjun langsung ke medan perang demi melindungi Slovaskinia dari ancaman para  musuh, sama seperti kakak laki-lakinya. Ah, omong-omong tentang kakak laki-lakinya, Irina jadi teringat jika besok adalah hari kepulangan sang kakak selepas perang dan rencananya besok dia akan menyambut kakaknya itu di wilayah perbatasan. “Besok kakak saya akan pulang.” Entah apa alasannya tetapi tiba-tiba Irina ingin sekali memberitahu hal ini pada Albern, mungkin karena dia mulai menganggap Albern berarti, jadi Irina ingin sang tunangan sedikit-sedikit mengetahui informasi yang menyangkut tentang dirinya beserta keluarganya. Albern yang tadinya sedang berjalan seketika menghentikan langkahnya sesaat setelah Irina secara mendadak memberi informasi mengenai kepulangan Louis Wyanett—kakak laki-laki Irina—besok. Sebenarnya Albern telah mengetahui hal ini sejak jauh-jauh hari, karena seminggu yang lalu Ksatria istana Kaisar yang terjun ke perang yang serupa dengan Louis mengirimi surat informasi ke istana Kaisar melalui burung pengantar surat kalau mereka akan pulang seminggu lagi. Laki-laki itu terkejut bukan karena informasi yang diberikan Irina, melainkan keterbukaan Irina yang memberitahukannya tentang kepulangan Louis esok hari. Selama dua bulan mereka bertunangan, Albern jelas tahu kalau Irina cukup menutup diri dengannya, jarang sekali bahkan tidak pernah sekali pun perempuan cantik itu menyampaikan keluh kesahnya atau bercerita tentang dirinya sendiri di hadapan Albern jika tidak dipancing terlebih dahulu oleh Albern sendiri, maka dari itu Albern sedikit terkejut dan tidak menyangka saat Irina mulai membuka diri seperti ini. “Ah, benarkah? Wah, berarti sebentar lagi aku akan bertemu dengan kakak ipar, ya?” “Bukannya Ya—maksud saya Albern sudah sering bertemu dengan Kak Louis? Kalian sering terjun bersama ke medan perang ‘kan?” tanya Irina dengan wajah bingung yang kentara. Melihat wajah kebingungan Irina, sontak saja Albern tertawa lepas dan hal itu langsung membuat Irina sedikit malu. Dia takut pertanyaannya tadi terdengar bodoh sekali di telinga Albern dan juga orang-orang yang mendengarnya. Albern menggenggam tangan Irina saat Irina sedikit beringsut menjauh darinya, setelah berhasil menghentikan tawanya yang mungkin mengejutkan Irina, Albern segera menyimpulkan senyuman dengan tangan yang menggenggam erat jemari-jemari lentik sang kekasih. “Maafkan aku, aku tertawa bukan karena menertawakan pertanyaanmu … aku tertawa karena wajahmu tadi lucu sekali, maaf ya kalau ternyata aku kelewatan,” ucap Albern dengan suara yang teramat lembut yang kali ini sukses membuat Irina salah tingkah. “Tentu aku kenal dengan Louis Wyanett, lagipula siapa orang di negeri ini yang tak mengenal anak laki-laki Grand Duke Wyanett yang terhormat itu? Maksudku tadi, ini akan menjadi pertemuan pertamaku dengan Louis sebagai calon suami dari adik perempuan kesayangannya,” lanjutnya lagi, lalu sedetik kemudian Albern kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam istana Grand Duke Wyanett sembari masih menautkan tangannya dengan tangan mungil milik Irina. Irina sedikit tersipu kala melihat jemarinya yang berada dalam genggaman Albern, walau ia sendiri yakin belum ada cinta untuk Albern sampai saat ini, tetapi Irina yakin bahwa Albern akan menjadi pasangan seumur hidup yang baik di masa mendatang. “Aku jadi tidak sabar ingin bertemu dengan Louis.” Putri bungsu Raymond Wyanett itu sontak melebarkan senyuman mendengar ucapan tunangannya tadi, jemarinya yang tadi hanya terkulai, kini balik menggenggam erat telapak tangan Albern yang besar dan hangat. “Ya … saya pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan Kak Louis.” *** Sekali lagi Anne Wyanett menahan tangan Irina dengan kedua tangannya, sebelum putrinya itu benar-benar memasuki kereta kuda. “Irina, kau yakin akan pergi ke sana, Nak?” Hari ini adalah hari kepulangan Louis Wyanett—anak pertama  Grand Duke dan Grand Duchess Wyanett—dari peperangan yang berlangsung selama delapan bulan kemarin, dan hari ini juga Irina Wyanett akan menyambut serta menjemput kakak laki-lakinya itu langsung di daerah perbatasan.     Ayahnya telah mengizinkannya pergi dengan syarat akan ada dua Ksatria yang mendampingi di samping kanan dan kiri kereta kudanya nanti, Irina yang kepalang senang karena sang ayah memberinya izin tanpa banyak protes lagi langsung mengiakan syarat yang diajukan. Hanya Anne saja yang masih tak rela melepas putri bungsunya pergi dari istana, sudah berkali-kali wanita paruh baya itu mencoba membujuk Irina untuk menunggu saja kepulangan Louis di sini, namun Irina tetap menolak bujukan ibunya dengan dalih bahwa ia akan baik-baik saja apalagi nanti akan ada Louis bersamanya.  “Aku hanya pergi sebentar, Bu. Ibu tidak perlu terlalu cemas,” balas Irina dengan suara yang sangat lembut. Dia berharap ibunya bisa sedikit merasa tenang setelah mendengar kalimatnya barusan. “Kau harus segera pulang setelah berhasil bertemu dengan kakakmu itu, ya? Ibu juga sudah sangat merindukannya.” “Tentu saja.” Saat ini dia hanya diantar oleh sang ibu dan juga kakak iparnya, Ella Willis. Ayahnya sedang pergi ke istana Kaisar untuk melaporkan banyak hal termasuk kepulangan Louis Wyanett. Irina menolehkan kepalanya ke belakang sekali lagi sebelum benar-benar masuk ke dalam kereta kuda. “Aku pergi dulu, ya, Bu, Kak Ella aku titip ibu.” “Tentu, hati-hati di jalan, Irina,” sahut Ella dengan senyum tipis tersumir di bibirnya. “Ibu akan selalu mendoakan keselamatanmu, jadi pulanglah dengan cepat dan selamat, Putriku.” Anne berusaha sekuat tenaga untuk tak menangis saat Irina mengangguk sekali lalu setelahnya pintu kereta kuda pun tertutup, dan mulai berjalan maju meninggalkan pelataran istana Grand Duke yang megah. Entah mengapa perasaan Anne sangat tak tenang semenjak Irina meminta izin pada Raymond untuk pergi menjemput sang kakak di perbatasan. Dia sendiri pun tak mengerti kenapa sampai begini, tetapi apa pun itu, Anne hanya dapat berdoa semoga perasaan ini hanyalah perasaan berlebihan miliknya, dan bukan firasat pertanda buruk yang pernah dialaminya sekali waktu Louis sekarat saat di medan pertempuran. ***. Irina yang semula tengah terduduk tenang sembari membayangkan pertemuan dengan kakaknya nanti akan seperti apa, merasa sangat terkejut saat kereta kuda yang ia tumpangi berguncang cukup kencang, dan semakin terkejut kala suara gaduh dan adu pedang di luar sana tertangkap gendang telinganya. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Dengan jantung berdebar kencang Irina baru saja akan membuka jendela guna mengecek keadaan di luar, namun belum sampai niatnya terlaksana, gerak tangannya otomatis berhenti kala suara teriakan kuda yang menjerit terdengar memekakan telinganya, suara itu lantas membuat Irina beringsut menutup telinganya sendiri dan berjongkok di sudut kereta kuda sembari gemetar ketakutan. Sungguh ia takut … apalagi saat ini dirinya sedang sendirian di dalam sini. Lalu, sedetik kemudian semuanya terjadi begitu cepat karena tiba-tiba Irina merasa kereta kuda yang membawanya ini oleng dan terguling. Saking terkejutnya, ia sampai tak dapat mengeluarkan teriakan sedikit pun.  Irina perkirakan dirinya sedang berguling ke arah jurang yang dalam dan curam karena goncangan keras yang ia alami tak juga kunjung berhenti. Apakah setelah ini aku akan mati? batin Irina pilu. Diam-diam ia menangis sendu sembari menyesali keputusannya yang tidak mendengarkan bujukan sang ibu sejak semalam. “Ibu maafkan Irina … sepertinya aku tidak dapat menepati janji untuk segera pulang ke istana,” bisiknya lirih. Tak lama kemudian kereta kudanya itu menabrak sesuatu yang keras, membuat mata Irina yang telah sayu langsung terpejam. Dia menyerah dengan kantuk yang dalam sekejap menyerang, membuatnya tenggelam dalam gelap yang mulai menyapa. *** Setelah sekian jam terlewati, akhirnya kelopak mata berbalut bulu mata lentik itu mulai mengerjap pelan, dan langsung mengernyit ketika matanya sudah dapat melihat dengan jelas, karena hanya gelap yang tersedia di depannya. Apa aku sedang berada di akhirat? Secara perlahan kedua tangannya ia gerakkan untuk meraba keseluruhan tubuhnya dan dahinya mengernyit kala menyadari ternyata dia masih mengenakan gaun terbaiknya, pun dia juga baru menyadari kalau kini dia sudah tak lagi berada di kereta kuda melainkan di rerumputan yang basah. Jadi … dia masih hidup? Dia selamat dari kecelakaan? Cepat-cepat Irina bangkit berdiri guna memastikan sekali lagi keadaannya, betapa terkejutnya Irina saat mendapati tubuhnya tak terluka sedikit pun padahal seharusnya saat ini dia telah terluka parah bahkan bisa saja mati akibat kecelakaan tadi. Tubuh dan gaunnya hanya kotor dan kumal karena terkena tanah dan rerumputan basah, namun ajaibnya tak ada luka sama sekali. Walau masih bingung setengah mati dengan apa yang terjadi, Irina paksakan dirinya untuk melangkahkan kaki mencari jalan keluar serta mencari bantuan orang-orang sekitar. Baru tiga langkah dia berjalan, netranya menangkap siluet anak perempuan kecil yang sedang berdiri tak jauh darinya sembari memegang benda bersinar di tangan. Merasa iba dan juga penasaran kenapa seorang gadis kecil bisa berada di dalam jurang seperti ini, akhirnya Irina memutuskan untuk mendekat secara perlahan agar tak menimbulkan keterkejutan. Kala jarak mereka sudah hanya tinggal beberapa langkah saja, si gadis kecil itu lantas menoleh dan secara mendadak tangisnya berhenti, berganti dengan raut terkejut juga kagum memandangi wajah Irina yang sedikit terkena noda tanah. Irina bahkan sampai malu sendiri ditatap seintens itu. “Aku tersesat …,” ucap sang gadis kecil tanpa perlu ditanya terlebih dahulu. Lagi, dahi Irina mengernyit cukup dalam saat mendengar bahasa yang sesungguhnya baru didengarnya kali ini, tetapi anehnya Irina mengerti dan paham arti dua kalimat yang keluar dari bibir sang gadis kecil. “Itu bahasa— “ Irina seketika menutup mulut dengan sebelah tangan saat ternyata dia sendiri pun berbicara menggunakan bahasa asing yang gadis kecil di depannya ucapkan. Anak itu menukik alisnya lucu sembari sedikit memiringkan kepalanya ke kiri, sedangkan netranya tetap tak berpaling dalam memandangi wajah shock Irina. “Tante bisa bantu aku cari jalan keluar?” Karena masih merasa shock, akhirnya Irina hanya dapat mengangguk kaku, dia bahkan diam saja saat gadis kecil itu menggandeng jemarinya. “Namaku Nuansa, Tante. Nama Tante siapa?” Gadis kecil yang memperkenalkan diri sebagai Nuansa tersebut berjalan sambil menoleh menatap wajah Irina dengan penuh minat, dia bahkan tersenyum kecil melihat betapa cantiknya rambut coklat panjang milik Irina.  “Irina,” balas wanita bersurai cokelat terang sepunggung itu dengan nada melamun. Batinnya sibuk menerka-nerka tempat apakah ini. Nuansa melebarkan senyuman mendengar Irina menyebutkan namanya. Dalam hati ia tak henti-henti memuji sosok Irina yang menurutnya cantik luar biasa ini, mirip tokoh-tokoh Princess favoritnya. “Tante nanti pulang ke rumahku ya!” “…” Irina memilih bungkam tak menjawab sama sekali. Setelah memerlukan waktu yang cukup lama untuk berjalan ke depan, tibalah mereka di tempat yang sepertinya jalan keluar ini, karena pencahayaan di sini tak segelap di dalam, dan sepertinya tebakan Irina benar sebab ia mulai melihat beberapa orang berlalu lalang tak jauh dari tempatnya berada. Tidak salah lagi, ini memang jalan keluar. Namun, lagi dan lagi Irina harus terkejut bukan main saat netranya berpendar ke sekitar guna menebak di mana sebenarnya ia berada kini. Tapi bukan pepohonan atau rumah-rumah penduduk Slovaskinia yang cukup dia hafal yang ada di depan matanya saat ini, melainkan bangunan-bangunan tinggi menjulang yang bersinar terang dengan bentuk yang aneh-aneh pula. Irina bisa pastikan sendiri kalau tinggi bangunan-bangunan di depannya itu bahkan lebih tinggi dari istana Kaisar di Slovaskinia. Sebenarnya ini di mana? - To be Continue -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD