Bab 2

1538 Words
“Maaf karena baru datang sekarang, Tante,” ujar Leon dengan berat hati. Kini ia duduk di ruang tamu rumah Zoya dengan diapit kedua orangtuanya. Sesuai rencana yang telah mereka susun kemarin, Leon dan kedua orangtuanya benar-benar datang ke rumah Zoya hari ini. Lengkap dengan beberapa buah tangan super mewah yang membuat Zoya sesak napas, sementara Zela, adik Zoya, menatap semua hadiah tersebut dengan mata berbinar. Yang ada di pikiran gadis remaja itu adalah kakaknya punya pacar ganteng dan super kaya. “Nggak apa-apa,” ujar Yurike tersenyum lembut. “Maaf juga karena kami datang tiba-tiba begini,” ujar Lilia. “Bu Yurike pasti terkejut.” “Oh, nggak apa-apa, Bu,” ujar Yurike lagi sambil menatap Lilia dengan senyum. “Zoya juga baru ngomong semalam kalau dia punya pacar. Selama ini saya nggak tahu kalau ternyata dia sedang menjalin hubungan.” Zoya yang berada di sisi kanan ibunya melirik Leon. Pria itu duduk dengan tenang, seolah hal yang sedang berlangsung saat ini bukanlah bagian dari rencana gila mereka kemarin. Mendadak Zoya merasa hanya dirinya seorang yang sejak semalam cemas setengah mati. Kondisi Leon, Lilia, dan Tandri Virendra sangat berkebalikan dengan apa yang ia rasakan saat ini. “Mungkin itu karena Zoya masih belum yakin kalau saya ingin serius dengannya, Tante,” ujar Leon tiba-tiba. Zoya seketika menegakkan kepalanya dan menatap pria itu dengan ekspresi terkejut. Barusan dia bilang apa? Mengapa lidahnya bisa selentur itu mengatakan kebohongan? Apa dia seorang aktor? “Tapi kedatangan saya kali ini adalah karena ingin menunjukkan keseriusan saya pada Zoya,” ujar Leon lagi. “Saya menjalin hubungan dengannya bukan karena ingin sekedar bermain. Saya ingin kami punya hubungan yang lebih serius dari sekedar pacaran.” Oh, hebat sekali. Zoya memandang Leon dengan tatapan tak percaya. Aktingnya benar-benar bagus. “Itu pun kalau Bu Yurike merestui,” sambung Lilia. “Kalau kami sekeluarga, sangat senang jika Zoya bersedia menjadi bagian dari keluarga kami.” “Ya, kami sangat senang jika Zoya jadi menantu kami,” sambung Tandri Virendra yang kalah mendominasi dibandingkan istrinya, Lilia. Yurike menoleh pada Zoya yang sejak tadi hanya diam. “Kalau saya, tentunya akan mendukung apa pun untuk kebahagiaan Zoya. Jika dia yakin ingin menikah dengan Nak Leon, saya tentunya tidak akan keberatan.” Senyum di wajah Lilia semakin lebar. “Ah, syukurlah. Saya senang sekali mendengarnya.” “Bagaimana denganmu, Nak?” tanya Yurike pada Zoya. “Kamu ingin menikah dengan kekasihmu? Yakin sudah siap menjadi istri orang dan bisa melayani suamimu dengan baik?” Zoya melirik Leon, Lilia, dan Tandri yang ada di hadapannya. Ia tidak punya pilihan untuk menolak bukan? “I-iya, Bu,” Zonya mengangguk. “Zoya ingin menikah dengan Leon.” Wajah-wajah yang ada di sana tampak lega dan senang. Kecuali wajah Zoya dan Leon. Kedua calon pengantin itu sama-sama merasa getir. *** Hari-hari berikutnya Zoya jalani dengan sangat lambat. Setiap hari yang ia lalui terasa mengancam, seolah akan menyeretnya ke tiang gantungan. Ia masih bekerja sebagai pelayan di restoran, dan tidak disibukkan dengan hal apa pun mengenai persiapan pernikahannya. Semua Lilia yang atur. Zoya hanya satu kali ikut terlibat, yaitu saat fitting gaun pengantinnya. Agar ibunya tidak curiga, Zoya selalu meminta update info mengenai persiapan pernikahannya dari Lilia. Jadi ia akan selalu punya jawaban saat ibunya bertanya. Pernikahan Zoya dan Leon akan diadakan secara tertutup, dengan mengundang sedikit tamu yang dipilih dari orang-orang terdekat saja. Namun, meski tampaknya akan diadakan secara sederhana, resepsi pernikahan itu akan dilakukan di ballroom sebuah hotel yang ada di Bali. Hotel tersebut merupakan salah satu jaringan hotel bintang lima yang dimiliki keluarga Leon. Membayangkan akan semewah apa resepsi itu nantinya membuat Zoya mulas. Sejak kecil ia terbiasa hidup sangat sederhana, apa lagi sejak ayahnya yang dulu hanya sopir angkutan umum meninggal. Ibunya dulu hanya bekerja di sebuah tempat usaha konveksi yang tidak terlalu besar. Gajinya hanya cukup untuk menutupi biaya sehari-hari, yang bahkan masih kurang dan terpaksa berhutang. Dulu Zoya sempat kuliah sambil bekerja sambilan. Namun, ketika kesehatan ibunya menurun drastis, Zoya terpaksa berhenti kuliah dan mencari pekerjaan tetap sebagai tulang punggung keluarga. Zoya merelakan pendidikannya putus di tengah jalan agar Zela bisa fokus belajar dengan baik. Namun, adiknya itu kini malah menunjukkan tanda-tanda tidak ingin kuliah dan langsung mencari pekerjaan saja begitu ia lulus SMA nanti. Zoya khawatir pada adiknya. Hanya Zela yang ia harapkan untuk bisa menunjang kehidupan keluarga mereka ke arah yang lebih baik. Namun Zela tetap saja keras kepala. Ia bahkan menghabiskan akhir pekannya untuk mengambil upah menyetrika di salah satu rumah di komplek sebelah, alih-alih belajar lebih giat untuk persiapan ujian nasional. Pekerjaan yang diambil Zela malah membuat nyawa adiknya itu sendiri terancam. Zela hampir diperkosa majikannya, dan saat Zela membela diri dengan memukul pria yang hendak memerkosanya, ia malah diseret ke kantor polisi dengan tuduhan penganiayaan. Adiknya nyaris masuk penjara, jika saja saat itu Lilia tidak muncul dan menjadi penyelamatnya. Zoya berhutang banyak pada wanita itu. Zoya menangis karena takut ibunya tahu apa yang terjadi pada Zela. Dan tangisnya semakin deras saat tahu alasan Zela bekerja karena ingin membantu Zoya untuk membeli obat ibu mereka. Untungnya Zela adalah tipe gadis tomboy, jadi kejadian waktu itu tidak menimbulkan trauma mendalam padanya. Zoya senang karena adiknya tetap bisa menjalani hari seperti biasa, seolah hal buruk tersebut tidak pernah terjadi padanya. Karena itulah, Zoya akhirnya membuat keputusan untuk melakukan apa saja demi menyelamatkan ibu dan adiknya, dan terpaksa terikat dengan keluarga Virendra. Demi melindungi adik dan ibunya, Zoya sampai harus menjual diri seperti ini dan terjebak dalam permainan keluarga orang kaya itu. Akan tetapi, ada banyak sisi baik yang terjadi dari hal tersebut. Zela bisa fokus sekolah dan tidak harus bekerja sambilan lagi. Ibunya pun mendapat biaya pengobatan gratis dengan layanan terbaik. Kondisinya kini jauh lebih baik dari sebelumnya. Zoya juga tidak perlu bekerja lagi sebagai pelayan, karena Lilia akan memberinya gaji bulanan yang bisa ia berikan pada ibu dan adiknya. Meski entah pernikahan macam apa yang akan ia jalani nantinya, Zoya tahu dirinya harus bertahan. Dalam kondisi apa pun. Resepsi yang dilakukan di Bali juga merupakan tindakan yang tepat. Zoya tidak perlu memikirkan untuk mengundang tetangga atau kenalan ibunya. Zela juga tidak akan bisa pamer dengan mengundang teman-temannya karena resepsinya akan dilakukan di luar pulau. Orang-orang tidak perlu tahu ia sudah menikah atau menikahi siapa. Jadi saat pernikahannya dengan Leon selesai, Zoya bisa melanjutkan hidup dengan tenang. Mengingat kontrak pernikahan yang ia buat dengan Leon kemarin, hati Zoya bagai dicubit. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya nanti saat ia harus menyerahkan anaknya pada keluarga Leon, sementara dirinya sendiri malah keluar dari keluarga tersebut. Keluarga itu benar-benar mengerikan. Mereka bahkan tega memisahkan seorang ibu dan anaknya hanya agar tujuan mereka tercapai. “Zoya, ada yang nyariin kamu.” Zoya menoleh dan menemukan Pak Dedi, managernya, sedang berdiri di hadapannya. “Nyariin saya, Pak? Siapa?” tanya Zoya cemas. Zela kah? Tidak mungkin ibunya kan? Namun jika Zela yang datang, apa telah terjadi sesuatu pada ibunya? Wajah Zoya seketika pucat. Rasanya ia ingin mengecek ponsel yang ia tinggalkan di loker, namun itu melanggar aturan pekerjaannya. “Laki-laki, pacar kamu ya,” ujar Pak Dedi tersenyum. Tidak biasanya pria ini tersenyum. Zoya mendadak merinding. “Sudah tinggalkan nampan kamu, dan temui dia di luar sana.” Dengan patuh, Zoya pun menyerahkan nampannya ke Pak Dedi, kemudian bergegas menuju pintu masuk restoran. Di pintu masuk itu, Zoya tidak menemukan siapa pun. Ia pun melihat ke sekeliling untuk mencari. Langit sore mulai meredup seiring dengan matahari yang mulai kembali ke peraduan. Lampu-lampu yang diletakkan di tanah untuk mengapit jalan menuju restoran sudah mulai dinyalakan. Zoya melangkah melewati lampu-lampu tersebut, dan akhirnya menemukan seorang pria tengah duduk di salah satu bangku panjang yang diletakkan di bagian luar restoran. Melihat Zoya yang muncul, pria itu langsung berdiri. Wajah tampannya di tengah suasana pergantian siang dan malam seperti ini malah semakin tampak memesona. Zoya terpaku. Saking kesalnya kemarin, ia sampai lupa kalau pria ini punya wajah yang sangat tampan. Benar-benar tampan. Pria ini... Sebentar lagi akan jadi suaminya. “Sudah selesai terpesonanya?” ujar Leon mendengus sinis. “Aku sudah menunggu selama lima menit. Kamu telat.” Zoya mengerjap. Telat? Lima menit? Ia bahkan baru saja diberi tahu kurang dari tiga menit yang lalu. “Telat?” tanya Zoya. “Ssshhh... Siapa yang suruh kamu ngomong?” cegah Leon sambil mengangkat telunjuknya. “Ayo ikut aku.” Dengan gaya bossy, Leon melangkah lebih dulu melewati Zoya. “Kita mau ke mana?” tanya Zoya yang akhirnya berbalik dan menyusul Leon. “Nggak ada yang minta kamu bertanya,” jawab Leon dengan memunggunginya. Sama sekali tidak berbalik untuk menghadapnya. Zoya memandang punggung pria itu sambil mengepalkan tangan. Dasar tidak sopan! Hampir saja ia tertipu dengan wajah tampan itu. “Ayo cepat!” panggil Leon lagi saat Zoya hendak mengacungkan tinju ke punggung pria itu. Zoya menahan kepalan tangannya di kedua sisi. “Tapi saya harus izin dulu.” “Aku sudah minta izin tadi.” Leon tiba-tiba berhenti, dan berbalik menatapnya. “Bosmu sudah memberi izin, tidak perlu khawatir.” Zoya memandang pria itu ragu-ragu. “Ayo, kita harus cepat. Aku benci membuang-buang waktu,” ujarnya dengan kembali melanjutkan langkah. Zoya menghela napas. Entah kemana pria itu ingin membawanya kali ini, namun Zoya merasa, malam ini pasti akan sangat panjang. *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD