Prolog

542 Words
Jantung Zoya berdebar kencang ketika duduk di sebelah pria yang menjadi targetnya malam ini. Persentase keberhasilannya hanyalah 50:50. Akan tetapi, Zoya tetap tidak punya pilihan lain untuk mundur. Nyawa adik dan ibunya yang menjadi taruhan jika sampai ia gagal menjalankan tugasnya. Pelac*r. Hanya kata itu yang selalu muncul di benaknya tiap kali ia teringat dengan apa yang harus ia lakukan malam ini. Hati Zoya terasa nyeri. Ia benar-benar merasa rendah dan hina. Akan tetapi, memangnya pilihan apa lagi yang ia punya? Tidak ada. "Ayo minum." Pria tampan itu menyerahkan gelas berisi cairan pekat padanya. Zoya melirik gelas berisi cairan pekat tersebut. Setidaknya alkohol bisa sedikit membantunya untuk lebih berani. Maka, ia pun serta-merta meraih gelas dari tangan pria itu dan menenggaknya. Cairan tersebut terasa panas dan pahit di kerongkongannya, membuat Zoya seketika terbatuk. Pria tampan itu terkekeh saat melihatnya terbatuk. "Kenapa sangat terburu-buru?" tanyanya sambil mengusap pipi Zoya. "Kamu belum pernah minum ya? Jangan dihabiskan seperti tadi. Sini, aku ajarkan." Pria itu meraih gelasnya sendiri, lalu meminum sedikit isi gelas tersebut. Setelahnya, ia segera berbalik dan meraih pipi Zoya. Sebelum Zoya sempat menyadari, bibir pria itu sudah membungkam bibirnya. Zoya benar-benar terkejut. Namun rasa terkejutnya itu segera teralihkan ketika ada cairan manis masuk secara perlahan ke dalam mulutnya. "How?" tanya pria itu. "Manis, bukan?" ujarnya tersenyum. Tatapan mata pria itu benar-benar seperti lubang hitam, punya daya tarik yang sangat kuat dan membuat Zoya tersedot ke dalamnya. Bagai tersihir, Zoya perlahan mengangguk. Pria itu mengusap bibir Zoya dengan ibu jarinya. "Aku akan berikan lagi padamu dengan cara yang sama," bisiknya dengan nada sensual. Zoya hanya menurut saja karena ia sendiri bingung harus melakukan apa. Ia kembali menyerah ketika bibir pria itu kembali menyentuh bibirnya, dan cairan manis tadi kembali masuk ke mulutnya. Pria itu melakukannya entah sampai berapa kali, Zoya tidak ingat. Yang ia tahu hanyalah dirinya mulai merileks dan jadi jauh lebih santai. Tiba-tiba saja pikirannya terasa ringan, seolah seluruh beban hidupnya terangkat. Ia mendadak merasa sangat bahagia. Saking bahagianya, Zoya bahkan membiarkan pria itu mulai menyentuhnya. Sentuhan pria itu benar-benar membuatnya menginginkan lebih. Ia suka sentuhannya. Pria itu seperti tahu cara memanjakannya. Kalau seperti ini, bukan Zoya yang melayani, melainkan ia sendiri yang dilayani. Setiap sentuhan meninggalkan jejak panas, membuatnya merasa terbakar oleh api gairah. Beberapa saat kemudian mereka sudah berpindah ke tempat tidur dan bergumul di sana. Zoya menatap plafon kamar hotel yang terbuat dari cermin dan menatap pantulan tubuh mereka di sana. Ia melihat pria itu yang kini bergerak di atasnya, sementara dirinya sendiri hanya memeluk punggung pria itu. Rasanya... menyenangkan. Sensasi ini baru pertama kali ia rasakan. Zoya memejamkan mata menikmati cara pria itu memuja tubuhnya, sebelum akhirnya rasa sakit ketika bagian bawah tubuhnya berhasil ditembus membuat Zoya berteriak kesakitan. "Leon... Panggil aku Leon, Sayang," bisik pria itu, lalu mengigit daun telinganya. "Kalau kamu ingin berteriak, teriakkan namaku. Mengerti?" Zoya mengangguk. "Ayo kita lanjutkan," ujar pria itu, lalu kembali bergerak. Zoya kembali mengerang kesakitan. "Leon, Sayang. Sebut namaku," bisik pria itu dengan nada menggoda. "L-leon..." ucap Zoya terbata. "Bagus," bisik Leon di telinganya. "Aku suka cara kamu memanggil namaku." Malam itu, Zoya benar-benar menikmati sentuhan Leon. Lupa bahwa ia sudah menyerahkan mahkotanya yang paling berharga yang selama ini selalu ia jaga sebagai satu-satunya kehormatan yang ia punya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD