Bab 5

1087 Words
Diri ini lelah dengan semua yang terjadi. Tidak ada satupun anggota keluarga ini yang memperhatikanku. Semua fokus pada masalah Kinan. Hati terluka sangat dalam dengan perselingkuhan keduanya. Seharusnya sejak awal dirinya sadar, sudah banyak kejadian aneh di anatara mereka. Tidak jarang mereka pergi berdua layaknya sepasang kekasih. Benar kata orang, kesempatan berselingkuh akan terbuka lebar manakala satu pihak di antara keduanya memberikan peluang. Benar terjadi saat ini, tidak mungkin mereka sampai berhubungan layaknya suami istri jika tidak ada rasa pada keduanya. Pikiran-pikiran buruk terus menghantui, bahkan tidak jarang membuat d**a terasa sesak. Intan belum tahu sama sekali masalah ini, Dinar ingin bercerita tapi ia urungkan. Hatinya masih belum siap menerima kenyataan pahit ini. Hubungannya berakhir dalam satu hari dengan kesalahan fatal sang mantan. Ponsel gadis cantik ini dari tadi bergetar tanda ada sebuah pesan dan telepon. Ia tahu siapa pelakunya, tak lain adalah sang mantan. Entah berapa ratus pesan dan panggilannya. Tak satupun ia terima, abaikan saja. untuk apa menjelaskan setelah semua ini terjadi. Di sini akulah yang tersakiti. Seolah, semesta mendukung, pihak keluarga justru memberikan solusi yang sangat menyakitkan. Pernikahan kedua penghianat itu. Lama bergetar, akhirnya ponsel tersebut mati kehabisan baterai. Enggan mengisi ulang, Dinar memilih untuk tidur. Mungkin dengan tidur mimpi buruk ini akan berakhir. Semoga saja. entah berapa lama ia tertidur, saat bangun ternyata hari sudah siang. Rasa malas masih mendominasi, ia bahkan lupa, semalam menutup mata jam berapa. Hari Senin pagi ini, sebenarnya ada kuliah jam 7, sayangnya sekarang jam dinding di kamar gadis cantik ini sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Dinar enggan beranjak dari tempat tidurnya, hingga ketukan di depan pintu kamarnya memaksakan ia bangun untuk membukanya. “Selamat pagi, Nak, kamu baik-baik saja?” Tanya ayah. Tidak ingin menjawab, gadis cantik itu masuk ke dalam kamar mandi. Pertanyaan macam apa itu? Jelas saja dirinya tidak baik-baik saja. di tutupi seperti apapun tetap akan terluka, dan luka yang menganga di siram garam. Keputusan sepihak yang dibuat ayahnya membuat ia tidak punya pilihan. Setelah beberapa saat di kamar mandi, Dinar terkejut, ternyata ayahnya menunggunya. Ayah duduk di sofa mini miliknya. “Ada yang ingin ayah sampaikan?” tanya Dinar. “Dinar, ayah tau ini melukai perasaanmu. Tolonglah, sedikit saja mengerti, apa yang dilakukan kakakmu memang sangat buruk. Ayah mohon padamu, jangan persulit mereka untuk menikah. Ayah tahu ini tidak mudah, tapi pikirkan nama baik keluarga ini juga karir Revan.” Ayah memohon padaku seolah aku baik-baik saja. “Baiklah, tidak masalah untuk saya, silakan putuskan yang terbaik menurut ayah,” Seolah mengerti jika anak bungsunya sedang emosi, pria tua itu segera pamit dan keluar dari kamar Dinar. Tidak ada yang ingin ia lakukan. Pikirannya buntu, teringat ponsel miliknya yang semalam mati, ia segera mengisi ulang baterai. Hari ini ia membolos kuliah, rencanya ingin jalan-jalan ke mall. Ia ingin belanja sesuatu. Mungkin dengan belanja sakit hatinya akan terobati. Mengambil kunci motor milik almarhum Riki kakaknya, ia bergegas turun dari tangga. Sial, ternyata keluarga Revan sedang ada di ruang tamu miliknya. Mereka membahas pernikahan yang akan di langsungkan seminggu lagi. “Dinar, mau kemana, Nak?” tanya Ayah selembut mungkin. “Bukan urusan Ayah!” sahutku ketus. Segera memasuki garasi yang ada di sebelah barat, mengeluarkan motor Ninja milik Riki. Rasanya banyak kenangan dengan motor ini. Suara deru motor dengan cc besar ini mengundang perhatian banyak orang yang sedang duduk di ruang tamu. Mereka semua menoleh ke arahku. “Diiinaaarrr….” Ayah berteriak memangilku yang sudah tanjap gas dan keluar dari gerbang rumah. Bahagia sekali bisa menaiki motor ini, Mas Riki-lah yang mangajariku mengendarainya. Tidak ada satu orang yang tahu tentang hal ini. Ini adalah rahasia kami bertiga, sayang nasib berkata lain, Tuhan lebih sayang padanya, hingga mengambilnya. Membelah jalan dengan motor besar rasanya sangat menyenangkan. Bisa melihat sekelilingnya, membuat terlupa dengan tujuan awal belanja. Diri ini malah melajukan motor ke arah Bandung. Mencari udara sejuk di sana. Beberapa kali berhenti di lampu merah dan berpapasan dengan polisi, membuat hati ini berdenyut nyeri. Mantan berprofesi serupa. Segera menepikan motor besar yang kukendarai, sengaja membeli sebuah ponsel beserta nomor baru. Keinginanku satu, tidak ingin diganggu. Terlebih setelah ini diri ini segera pergi dari kota Jakarta. Setelah melakukan transaksi, langsung menyalin beberapa nomor penting, salah satunya nomor mas Vino dan Intan. Aku hanya akan berkomunikasi dengan mereka, tidak lagi dengan yang lain sekalipun ayah. Jam dua siang, sampai di daerah Lembang. Hawa sejuk menerpa tubuh ini. Embusan angina bertiup menyejukkan tubuh ini. Mampir di sebuah kedai bakso dan membeli satu porsi. Saat hendak menyantapnya, malah teringat pada Revan. Ia sangat menyukai bakso, rasa lapar tiba-tiba saja menguap hilang entah kemana. Pada akhirnya diri ini tetap melajukan motor kembali ke Jakarta. Pulang kerumah ayah, rumah yang memberikan pelajaran tentang rasa sakit dan egois. Pelajaran hidup yang sangat berharga, tidak boleh percaya pada siapa pun, walaupun punya hubungan darah. Peristiwa memalukan itu adalah bukti nyata. Seminggu berlalu, akad nikah akan di laksanakan besok pagi di rumah ini. Diri ini enggan untuk bergabung dengan keluarga yang lain. “Dek, boleh Mbak Ratna masuk?” tanya istri Mas Vino. “Ya, Mbak, silakan,” jawabku singkat. “Mbak, hanya ingin memberikan support untuk kamu. Memang ini tidak mudah, tapi bersyukurlah, kamu tahu sifat aslinya sekarang. Bagaimana jika ini terjadi setelah kalian menikah? Akan lebih menyakitkan daripada sekedar putus saat pacaran kan?” Perkataan Mbak Ratna benar, tanpa terasa air mata ini justru menetes deras tanpa permisi. Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Esok adalah akad nikah mereka. Mala mini, sudah kupersiapkan semuanya. Diri ini akan pergi meninggalkan kota ini. Intan, gadis ceria yang setia menjadi sahabatku belum tahu tentang rencana ini. Gadis manis itu pasti akan sedih jika aku pergi meninggalkan Jakarta. Biarlah, diri ini akan berpamitan setelah sampai Lembang. Segera kuaktifkan ponsel baruku. Memesan taksi online untuk menuju terminal bus. Sengaja memesan taksi dengan nomor lama, setelahnya akan kutinggalkan ponsel lama itu. Tepat jam satu malam, seluruh penghuni rumah terlelap. Mereka lelah mempersiapkan untuk acara besok. Diri ini sengaja keluar untuk mengambil air minum. “Din, maafin Mbak. Sungguh kami khilaf.” Kinan menjelaskan dengan wajah penuh penyesalan. Entah benar atau tidak. Hati ini sudah tidak bisa percaya lagi. Diri ini enggan menanggapi omongannya. Aku berlalu dari hadapan manusia munafik ini. Setelah mengambil minum dan memastikan semua aman, aku segera berjalan ke arah samping rumah. Semua baju dan perlengkapan yang kubutuhkan sudah kukemas dengan rapi. Semua barang ada di dekat gudang. Tidak akan ada yang curiga, jika meletakkan barang di sana. Karena barang di gudang adalah barang bekas. Setelah sampai, ternyata taksi online yang kupesan sudah menunggu tepat di samping gudang. Segera memasukkan semua barang-barang dan pergi ke terminal. Aku membayar lebih untuk ongkos taksi tersebut. Bus menuju Bandung sudah kudapatkan dengan membeli tiket secara manual. Sengaja melakukannya agar tidak dapat di lacak oleh ayah. Hari ini, aku pergi meninggalkan kota Jakarta, entah kapan aku akan kembali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD