Bab 3

2192 Words
Hati Kinan tidak bisa menerima bahwa pilihan Revan adalah Dinar adik kandungnya. Padahal sejak zaman sekolah dahulu dirinya sudah memberikan banyak kode agar Revan mengerti. Sayangnya acara Reuni itu berubah menjadi petaka. Revan jatuh cinta pada sang adik, Dinar. Kinanthi patah hati, tidak ada satupun yang mengetahui tentang hatinya. Kehidupan pribadinya sangat tertutup. Ia memiliki seorang sahabat, Fanya namanya, entah ada masalah apa hingga persahabatan itu berakhir. Berakhirnya persahabatan itu sangat menyakitkan. Sahabat adalah orang terdekat kita, ada saat kita membutuhkan dan di saat kita bahagia. Ada pertengkaran hebat diantara keduanya hingga tidak bisa saling memaafkan. Buat kedua mantan sahabat itu hal terbaik adalah saling menghindar satu sama lain. Tidak ada lagi tegur sapa dan komunikasi. Kebencian dalam hati Kinan sangatlah besar, tapi ia sangat pandai menutupi semua itu. Di depan adiknya ia berlaku seolah tidak terjadi apa-apa. Di belakangnya, segala cara ia gunakan untuk menjatuhkan adiknya. Beruntung tidak ada seorangpun yang mengetahui hal ini. Kinan menyimpan rapat semuanya dari siapapun. Pemain watak yang hebat, semua orang tekecoh dengan sikap dan sifatnya. Pernah satu kali, Dinar pergi dengan Revan ke acara pernikahan rekan kerjanya tanpa berpamitan pada sang Ayah. Membuat sang Ayah murka karena pulang di atas jam dua belas malam. dengan sengaja Kinan, mengambil ponsel dari dalam cluth yang digunakan oleh Dinar. Ia mematikan ponsel tersebut dan memasukkan ke dalam laci meja di kamar Dinar. Gelap mata karena ingin memiliki Revan, menutup semuanya, tidak ada hal baik lagi dalam hati dan pikirannya. Semua sudah tertutup oleh ambisinya yang salah. Cinta membuat semua orang lupa daratan. Banyak cara ditempuh untuk mendapatkannya. Baik cara baik maupun cara buruk. Cara buruk adalah cara terbanyak yang digunakan oleh orang, walaupun harus mengorbankan salah satu pihak demi kebahagiaan pribadi. Tidak peduli tanggapan orang tentang dirinya, terpenting bisa mendapatkan apa yan ia mau. Saat pulang dari acara pesta tersebut, Ayahnya sangat marah. Baik kepada Revan ataupun Dinar. Seperti malaikat, Kinan datang membela keduanya. Dengan mengatakan bahwa adiknya sudah pamit, tapi ia lupa menyampaikan pada ayah. Saat itu juga kemarahan ayahnya mereda. Revan meminta maaf pada calon mertuanya. Beruntung ayah mau memaafkan dan memintanya tidak mengulanginya lagi. Dinar, ia mengucapkan terima kasih pada sang kakak. Gadis cantik ini tidak tahu betapa busuk hati wanita yang ia panggil Mbak Kinan. “Din, lain kali ponsel dibawa, orang rumah pada heboh, tadi Mbak ketiduran, nggak tahu kalo ayah udah pulang dan ngamuk. Tante juga ga tau lu kemana,” jelas Kinan sebagai alibi. Dalam hatinya ia sangat bahagia, adiknya dimarahi ayahnya habis-habisan. Mereka menyebut ibu tirinya dengan sebutan ‘Tante’ entah mengapa. Mereka belum bisa menerima kehadiran sang Tante sebagai pengganti bundanya. Kehilangan teramat sangat akan kepergian bundanya membuat anak-anak Jusuf sulit menerima kehadiran Sisca. “Iya, Mbak, tapi aneh deh, udah aku masukin cluth lho ponselku, masa iya jatoh di jalan pas ke acara teman Revan tadi?” tanya Dinar dengan nada bingung. Senyum jahat tersungging di bibir Kinan. “Coba, cek dulu, kali aja Lu yang lupa naruh, atau lupa belum dimasukkan pas tadi, kan berangkatnya juga buru-buru,” jelas Kinan. Dinar pun mempercayainya, karena akhir-akhir ini ia sering melupakan hal-hal sepele karena tugas kuliahnya yang sangat banyak. “Din, lu bahagia banget ya bisa jadian sama Revan?” tanya Kinan memancing. “Iya, Mbak, dia cinta pertama aku, Revan juga pertama kali pacaran sama aku,” jelas Dinar sambil berjalan menuju kamarnya. Mendengar penjelasan Dinar, hati Kinan menjadi panas dan ingin membuat Dinar cemburu. “Ah, dia bisaan itu, dulu playboy banget zaman SMA, dia pernah nembak aku juga loh, tapi ya gitu, Mbak nyaman jadi temannya aja, takut di-bully sama fans garis kerasnya,” cerocos Kinan sengaja memancing kecemburuan Dinar. “Ha … ha … biarlah, Mbak, itu masa lalu dia zaman sekolah dulu, biar saja jadi kenangan,” jawab Dinar tenang. “Ya, udah istirahat gih, Mbak juga ingin istirahat,” pamit Kinan sambil berjalan menuju kamarnya. Dalam hati, Dinar bertanya, apakah seceroboh ini dirinya. Ia mengingat betul sudah memasukkan ponsel ke dalam cluth, hadiah dari sang kekasih. Sempat berpikir negatif, ada orang yang sengaja mengeluarkannya kembali saat ia ke toilet sebelum berangkat tadi, tapi siapa orangnya. Pikiran Dinar melalang buana, rasanya jika curiga pada kakaknya sendiri apakah pantas? Toh tadi kakaknya tidur, sepulang kerja sakit karena datang bulan. Tidak mungkin Kinan akan sejahat itu. Atau mungkin Tante Sisca? Tidak mungkin juga, karena wanita itu pergi bersama dengan ayahnya. Atau ART yang bekerja di rumahnya, tapi untuk apa, dan untuk siapa mereka melakukan semua ini. Memikirkan hal ini membuat kepalanya berdenyut nyeri. Saat menyalakan ponselnya kembali, ia kaget, ada bekas minyak di ponselnya. Baunya seperti minyak kayu putih. Sebelumya gadis cantik ini tidak menggunakan minyak tersebut. Hanya jika sedang masuk angina saja baru menggunakan. Tidak mau berprasangka buruk kepada siapapun karena akan membuat pikiran negatif kepada semua anggota keluarganya. Satu pesan masuk, ternyata dari sang kekasih. [Yang, udah tidur?] [Belum, kamu juga masih online. Istirahat gih.] balas Dinar. [Kepikiran kamu, Ayah masih marah?] [Udah enggak, marah kan karena sayang, jadi wajar aja,] [Tapi coba deh, kalo pas berangkat kita izin dulu, pasti kamu ga akan kena marah kan?] [Ga pa-pa, sesekali kena marah.] [Ya, udah kamu tidur ya, aku juga udah ngantuk.] Dinar tidak lagi membalasnya, toh besok masih bisa lanjut berkirim pesan. Gadis cantik ini segera membersihkan wajahnya dari make up yang ia gunakan. Menggosok gigi dan segera tidur. Tidak mau lagi berpikir tentang keanehan yang terjadi hari ini. Semua begitu cepat dan ia tidak menyadarinya. Keesokan harinya, gadis cantik ini terbangun tepat jam lima pagi. Ia membuka korden yang ada di kamarnya. Keluar dari balkon dan menghirup udara segar. Rasanya jarang sekali bisa merasakan udara sejuk di Kota Jakarta ini, terlebih jika siang hari. Panas dan sumpek menjadi makanan sehari-hari. Tidak seperti anggota keluarganya yang lain, Dinar selalu bangun pagi walaupun hari libur sekalipun. Rutinitasnya biasanya hanya berolah raga dan nonton film kartun jika tidak pergi jalan-jalan dengan kekasihnya. Hari ini ia berencana ingin pergi ke Dufan dengan sang kekasih. Rasanya sudah lama tidak pergi ke sana. Terakhir waktu masih semester satu, itupun beramai-ramai dengan para sahabatnya. Setelah selesai acara MOS, mereka mengadakan piknik kecil-kecilan pergi ke Dufan. Mereka sadar, setelahnya kesempatan seperti ini akan langka, terlebih jika sudah sibuk dengan tugas kuliah yang tidak ada habisnya. Mereka hanya bertemu saat di kampus saja, selebihnya dengan kesibukan masing-masing. Dinar, Intan, dan Bima mereka bertiga bersahabat. Sekarang hanya berdua saja, Bima lebih sering menghabiskan waktunya bersama kekasihnya bernama Arlina. Mereka berdua tidak mempermasalahkannya. Sesekali mereka masih bertemu di Kantin. Walaupun sebentar, tapi bisa mengobati rasa kangen. Komunikasi ketiganya juga masih lancer, hanya sulit untuk bertemu dan pergi bersama seperti dulu. Tidak mengapa, asalkan hubungan masih baik-baik saja, tidak ada masalah mereka masih bisa memakluminya. Sejak Bima resmi berpacaran dengan Arlina, mereka jarang bisa berkumpul. Kekasih Bima, tidak nyaman jika harus berkumpul dengan teman-teman Bima. Terlebih, Arlina sangat cemburu pada Intan. Dinar tidak mengerti, apakah memang Intan suka pada Bima atau hanya kekasih Bima saja yang cemburu buta. “Non Dinar sudah bangun?” Sapa salah satu ART yang bekerja di rumah Dinar. “Udah, mau lari pagi dulu, mumpung ada waktu,” jawab Dinar. “Hati-hati Non, mau dibuatkan sarapan apa nanti?” tanya Mbak Sumi. “Apa aja, nanti kumakan,” jawab Dinar. Ia memang gampang jika soal makan. Tidak ada pantangan apapun. Tidak juga melakukan diet. Saat sedang lari pagi, ponselnya berbunyi. Kekasihnya menghubunginya. Menepi dan membuka aplikasi bertanda gagang telepon berwarna hijau. Ternyata video call. “Halo yang, lagi dimana, kayak ga di ruamah,” Revan menebaknya. “Iya, lagi lari pagi aku, olahraga, biar sehat,” “Gitu, ga ngajak, tau gini kan aku ikut Yang,” “Lah, ntar siang kan juga ketemu, kita jadi kan ke Dufan?” “Jadi dong, masa batal, mumpung juga pacarku ga sibuk,” “Iih apaan sih ya,” “Ya, udah buruan selesain lari paginya, trus pulang dan mandi. Tunggu aku jemput ya, bye Sayang,” Revan mengakhiri sambungan video callnya dengan gadis cantik ini. hanya tiga putaran saja membuat badan berkeringat. Dinar akhirnya pulang, sesampainya di rumah ternyata semuanya sudah berkumpul di meja makan. Bersiap untuk makan bersama. “Lihat anak kesayanganmu, yang lain sudah siap di meja makan. Dia entah dari mana dekil begitu,” celetuk Tante Sisca. Dia ibu tiriku, malas menanggapinya. Segera naik ke lantai dua dan membersihkan diri. Sebelumnya, diri ini meminta Mbak Sum mengantarkan makanan ke kamar. Lebih baik sarapan di kamar daripada harus bertatap muka dengan ibu tiri. Bukannya berusaha memperbaiki hubungan dengan anak-anak ayah, dia malah sengaja mencari masalah. Tujuannya apa? Supaya dia terlihat hebat? Jangankan terlihat hebat, justru itu membuat dirinya semakin rendah. Kinan juga tampak tidak suka dengan Tante Sisca, terkadang mereka berdua terlibat cekcok yang membuat kepala berdenyut nyeri. Wanita setengah tua itu selalu menyindir Kinan, yang sampai sekarang belum menikah. Dinar menyantap makanan yang diantarkan Mbok Sum di kamarnya. Tiba-tiba saja pintu kamarnya di ketuk oleh sesorang dari luar. Dia adalah Kinan. “Masuk, Mbak, ga dikunci kok,” Kinan masuk dan langsung mendaratkan bokongnya di kasur milik adiknya. “Din, abaikan nenek lampir ya. Habis obat tuh, makanya pagi-pagi udah udah kumat.” Kinan mengatakannya sambil memonyongkan bibirnya. Terlihat ia tampak kesal. “Udah biasa, Mbak, kan emang dia suka gitu,” jawabku. Kinan terkekeh. “Tadi aja, dia sempat-sempatnya nyindir soal jodoh. Lah emang aku yang atur apa? Kan kita sebagai manusia hanya berdoa dan berusaha. Dia kok nuntut supaya aku dapat jodoh cepat-cepat. Kesel aku tadi pas makan pagi,” cerocos Kinan. “Hmm … Mbak ga ngamuk di meja makan kan?” tanyaku. Karena biasanya Kinan akan mengamuk jika Tante Siska mulai membicarakan perihal jodoh. Kakakku memang belum terlihat dekat dengan pria manapun. Alasan itu yang selalu digunakan wanita setengah tua itu untuk mencari-cari masalah. “Hampir sih, tapi mikir lagi, capek ngamuk mulu. Dia santai kaya di pantai, jadi harus lebih santai menghadapi nenek lampir,” jawab Kinan. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Entah mengapa obrolan kami malah merembet ke zaman SMA Kinan. Dari cerita yang aku tangkap, seolah Revan kekasihku dulu pernah jatuh cinta pada Kinan. Ada yang janggal saat menceritakannya, seperti ingin membuatku cemburu. “Ada hal yang kamu ga tau Din, Revan itu suka sekali sama cilok. Tapi dilarang sama ibunya, karena sausnya bahaya,” kata Kinan. “Iya, aku tahu kok Mbak. Bahkan kadang kita berdua sering bikin, kalo aku lagi di rumahnya.” Aku menjawabnya dengan nada sehalus mungkin. Melihat bagaimana reaksi wanita cantik di depanku ini. Benar dugaanku, wajahnya memerah. Diri ini hafal setiap kali Kinan menahan emosi, wajahnya akan memerah. Bolehkah aku curiga terhadap kedekatan keduanya? Tiba-tiba saja ponselku bordering. Panggilan dari kekasihku, Revan. “Halo sayang,” sapaku. “Aku di bawah, ini lagi mau masuk. Kayaknya ada Ayah sama Tante Siska di luar,” “Oke, tunggu sebentar ya, aku turun Yang,” “Siph,” Sambungan telepon terputus. Diri ini segera berganti pakaian, karena hari ini rencanya akan pergi  ke Dufan. Sudah lama sekali rasanya tidak pergi berdua dengan Revan. “Mau kemana Din sama Revan?” tanya Kinan. “Ini, kita mau ke Mall. Pengen beli baju couple,” dustaku. Diri ini takut dengan sesuatu yang serba kebetulan. Bisa saja Kinan nekat menyusul, dengan alasan kebetulan sedang ingin ke Dufan. Tidak ada yang tidak mungkin. Aku semakin curiga ketika Kinan semakin ingin tahu apa saja rutinitasku. Sebelumnya, ia tidak pernah seperti ini. segera turun ke bawah menemui Revan-kekasihku. Ternyata mereka bertiga sedang mengobrol. “Udah lama?” tanyaku pada Revan. “Baru aja sih, sini duduk ngobrol dulu sama Ayah,” ajaknya. Segera duduk di dekat ayah. “Ayah, aku mau keluar sama Revan, pamitku. “Mau kemana lagi kalian?” tanya ayah sambil mengelus rambut panjangku. “Mau ke Mall,” jawabku. Tampak Revan mengernyit tanda bingung. “Ya udah, kalian hati-hati. Revan bisa kan Ayah percaya sama kamu?” tanya ayah pada kekasihku. “Iya siap Yah,” jawabnya. Kita berdua segera masuk ke dalam mobil Revan, saat memasang sabuk pengaman, mata ini menangkap sebuah kaus dan aku yakin itu milik Kinan. Sejauh inikah hubungan mereka? “Itu, kaus Mbak Kinan?” tanyaku pada Revan. “I-iya, yang kemarin itu pas kita ketemu di Mall. Kita makan bakso, eh dia ketumpahan saus, makanya beli baju dan itu tertinggal di mobilku.” Revan gugup saat menjawab pertanyaanku. Sepanjang perjalanan perjalanan, mulutku terkunci karena marah kepada Revan. Dia sudah berbohong padaku. Entah berapa banyak kebohongan yang ia buat setelah ini. “Din … udah dong, jangan ngambek. Kita jadi kan ke Dufan?” tanyanya sambil menggenggam tanganku. “Aku malas Van, lain waktu saja. kita pulang saja, moodku udah hancur,” jawabku sambil melepaskan genggaman tangannya. “Please, Din, jangan kaya gini. Iya aku salah waktu itu bohong sama kamu, tapi aku sama Kinan hanya teman. Terlebih kami adalah teman dari zaman SMP dulu. Aku mencintai kamu Din.” Revan mengatakannya dengan wajah memelas. “Van, sekali bohong, itu akan keterusan. Kamu kali ini bisa ngaku, belum tentu besok-besok akan ngaku juga,” kataku. Ingin rasanya mengamuk, tapi aku enggan berbuat seperti itu. Aku hanya bisa meluapkan emosi saat sedang berenang. “Aku, udah ga mood buat ke Dufan. Antar aku pulang ya,” pintaku tanpa menatapnya. Diri ini lelah dengan kebohongan lain yang tidak kuketahui. Entah berapa banyak kebohongan yang ia lakukan di belakangku. Kejadian hari ini adalah salah satu bukti kebohongannya. Tidak ada wanita manapun jika tidak ada hubungan spesial dengan pria sampai menitipkan bajunya pada sang pria. Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti de sebuah warung bakso. Bakso adalah makanan kesukaan Revan. “Din, makan dulu ya, walaupun ga jadi ke Dufan kita makan dulu,” pintanya. “Pesen apa Din?” tanyanya saat kami sudah mendapatkan tempat duduk. “Es jeruk saja.” Aku menjawabnya tanpa melihatnya. Revan segera memesan. Tidak disangka, dia memesan dua mangkuk bakso. “Walaupun kamu marah, harus tetap makan. Biar ga sakit,” katanya. Nafsu makanku seketika hilang. Tidak menyentuh sedikitpun bakso yang ada di depanku. Akhirnya, Revanlah yang memakannya. Selesai makan bakso, ia mengantarku pulang. “Din, hari ini di ganti besok ya,” pintanya. “Liat besok saja,” jawabku sambil turun dari mobilnya. Rumah tampak sepi, hanya ada Mbok Sum saja. Wanita yang sudah lama bekerja di rumah ini mengatakan bahwa ayahku dan tante pergi ke Jogja, dan Kinan ke Mall. Benar dugaanku, dia akan mencari kita berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD