Bab 10

1416 Words
Semenjak kejadian di parkiran, Dinar seperti enggan untuk dekat dengan Abi. Hal ini tampak pada saat di kelas saat pria itu mengajar. Hanya datang sebagai formalitas untuk mengisi absensi saja, selebihnya lebih tertuju pada mata kuliah yang beliau ajarkan. Tidak ada sapa-menyapa atau berbasa-basi. Berbeda dengan mahasiswi lain yang sibuk berdandan agar dilirik sang dosen. “Din, tugas Pak Abi minggu depan di kirim lewat apa? Email atau cetak paper?” tanya Kak Asya, salah satu kakak tingkat yang mengulang mata kuliah ini. “Emm … belum baca informasi lagi Kak, malah baru dengar kalo ada tugas untuk minggu depan.” Semua heran mendengar jawabanku, karena memang diri ini belum melihat pengumuman sama sekali. Terlalu malas jika harus berdesakan untuk melihat informasi. Lebih baik menunggu yang lain bubar baru melihat. Benar saja, ada tugas untuk minggu depan, anehnya tidak tertulis bagaimana cara mengumpulkannya. Tugas yang sangat aneh, atau memang begini karakter dari dosen itu. Membuat mahasiswa stress dan bingung. “Dinarr …! Seru Intan dari seberang sambil melambaikan tangannya. Diri ini menoleh dan tersenyum juga melambaikan tangan, gadis cerewet itupun segera berlari kearahku. “Din, ada tugas loh dari Pak dosen ganteng.” “Biar saja, aku udah baca, tinggal kerjakan nanti pulang kuliah.” “Kita kosong dong ini, yuk jalan kita.” “Lagi males gue, pengen istirahat di kontrakan aja.” “Din, Gue ada salah sama Elu? Perasaan Lu menghindar mulu deh kalo diajak jalan.” Sahabatku merajuk, benar adanya diri ini seperti menghindar untuk pergi dengannya. Ada banyak hal yang harus kukerjakan saat ini. Salah satunya adalah mulai membantu perusahaan milik ayah. Saat ini hanya secara daring saja, karena kesibukanku menuntut ilmu dan tidak bisa ditunda untuk kuliah. “Gue minta maaf ya Tan, emang gue udah mulai kerja sama bokap gue, jadi ga bisa sering jalan bareng Lu. Atau gini aja deh, pas week end kan kita bisa tuh jalan.” “Ya udahlah, ga pa-pa kalo emang alasannya itu. Gue bisa ngerti banget deh.” Beruntung punya sahabat setia seperti Intan, tidak sekalipun membocorkan apa saja yang menjadi rahasia kita berdua. Hanya kita dan Tuhan saja yang tahu. Pagi ini sebenarnya sedikit kesal, jika tahu kosong jam kuliah, tidak perlu buru-buru datang ke kampus. Toh hanya melihat tugas di papan pengumuman saja. Tiba-tiba ponselku bergetar, satu pesan masuk dari nomor yang tidak diketahui. [Dinar, aku minta tolong. Tuliskan di papan pengumuman, tugas mata kuliah EkoMac di kumpulkan lewat email saya abimanyu1129@g*******m. Terima kasih.] Lama aku membalasnya, terlebih enggan menyapa diri ini. [Maaf, saya bukan asisten Anda. Silahkan hubungi asisten Anda.] tulisku. Malas berhubungan dengan manusia satu ini, entah dari mana dia mendapatkan nomor ponselku yang baru. Tersangkanya adalah Mas Vino, harus segera menanyakan  hal ini. tidak mungkin Intan akan memberikan nomor ponselku tanpa seizinku. Tidak ada pesan lagi darinya. Bukankah sudah punya asisten untuk membantunya, mengapa harus diri ini yang jadi tukang penyampai pesannya. Hari pengumpulan tugas tiba, bersyukur bisa menyelesaikan dengan baik. Hari ini ada kuliah di kelasnya. Sedikit enggan untuk datang, karena beliau mengubah jadwal dari jam tujuh pagi menjadi jam sebelas siang. Alasannya karena berbenturan dengan jadwal mahasiswa yang akan bimbingan skripsi padanya. Alasan yang masuk akal dan memaksa mahasiswa lain untuk menurutinya. Begitulah karakteristik dosen yang banyak dipuja mahasiswi di kampus ini. kuliah kali ini, tidak bisa main-main, karena system sudah berubah. Tidak bisa lagi saling bekerja sama dalam tes dan mengerjakan tugas. Semua di kumpulkan melalui email dosen masing-masing. [Dinar, saya minta maaf untuk kejadian saat di Mall tempo lalu. Saya tidak sengaja menumpahkan kopi di bajumu. Sebagai gantinya saya akan traktir kamu makan bakso ya.] Satu pesan darinya masuk ke ponselku. Enggan untuk membalas, bahkan kubuka saja tidak. Untuk apa menanggapinya. Tidak penting juga. Minggu ini tepatnya hari Senin, kuliah yang diampunya berpindah ke jam sepuluh pagi, selalu berpindah jam tanpa pemberitahuan sebelumnya, beruntung ada ruangan kosong yang bisa menampungnya. Entah mengapa badanku sedikit tidak enak, karena malas bangun dan terlambat memasuki kulihanya. Segera berjalan cepat dengan sisa tenaga yang kumiliki. Ternyata, kelas berpindah di gedung B, harus menyeberang lapangan agar cepat sampai di kelas itu. Benar saja, banyak yang terlambat dan tidak diizinkan masuk. Kuberanikan diri untuk memasuki ruang kelas itu, meski dengan napas yang masih terengah. “Maaf, Pak, saya terlambat,” kataku. “Kamu tidak lihat ini jam berapa?” tanyanya ketus. Diri ini terdiam, enggan untuk menanggapi. Sebuah kalimat darinya membuat diri ini emosi seketika. “Kamu terlambat, kamu pikir ini kampus nenek moyangmu. Bisa datang seenak sendiri? Jika memang tidak butuh lagi untuk kuliah tidak usah datang sekalian di kelas saya!” bentaknya. Seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kelas ini terdiam. Kulihat semua penghuni kelas ini, ternyata sahabatku juga sama denganku terlambat bahkan baru saja datang. “Anda bisa saja berkata seperti itu! Lihatlah diri anda, pantaskah? Memindah jam kuliah tanpa pemberitahuan sebelumnya, adakah yang sudah diberi tahu sebelumnya? Atau hanya segelintir yang ada di dalam kelas ini yang tahu tentang pindah jam kuliah dan ruangannya. Pak, saya juga manusia, kadang terlambat.” Perkataanku sangat mengejutkannya, belum sempat ia membalas sudah kukeluarkan semua unek-unek yang ada dalam hati ini. “Asal Anda tahu ya Pak, saya masih bisa pindah kelas di kelas Bu Sinta. Tidak masalah dengan gaya mengajarnya yang kaku, setidaknya lebih memanusiakan mahasiswanya. Mungkin Anda sudah bukan manusia makanya memperlakukan anak didik seperti robot!” Telak, perkataanku membuatnya terkejut. Seisi kelas sama halnya dengan Pak Dosen aneh ini. “Teman-teman, kali ini saya pamit. Saya pindah ke kelas Bu Sinta, karena saya tidak mau diperlakukan seperti robot.” Setelah mengatakan itu semua, aku keluar dari kelasnya. Segera ke kantor administrasi dan mengambil formulir persetujuan pindah kelas, walaupun harus mendapatkan ocehan dari wali studi nantinya, yang penting tidak bertemu lagi dengan dosen aneh itu. Intan, dia juga sama halnya dengan diri ini mengajukan permohonan pindah kelas. Ada beberapa mahasiswa pria melakukan hal yang sama denganku. Kuota kelas bu Sintia masih kosong untuk dua puluh orang lagi. Tidak masalah jika berpindah kelas, baru satu bulan, sehingga hanya mengumpulkan tugas saja, belum ada tes. Semenjak kejadian itu, diri ini sudah tidak pernah bertemu dengan dosen aneh itu. Hari ini rencanaku membeli motor matic, kemarin sudah izin pada ayah walaupun beliau kurang berkenan. Mengingat diri ini mendapatkan kado sebuah mobil SUV keluaran terbaru. Sengaja menolak dan lebih baik di uangkan saja  untuk jaga-jaga. Bersyukur, ayah setuju. Uang hasil penjualannya segera masuk ke nomer rekeningku. Akhirnya, pilihanku jatuh pada salah satu motor matic dengan body sedikit besar. Aku membelinya dengan cash tidak kredit. Sengaja memilih warna putih agar terlihat bersih. Motor ini yang akan mengantarku kemana saja tanpa macet. Pagi ini ada kuliah Bu Sintia, Intan gadis cerewet itu memaksa menjemputku. Akhirnya bujukannya membuatku luluh. Kami berangkat bersama, saat memasuki kelas beliau ternyata hari ini ada kuis mendadak. Bersyukur diri ini punya ingatan yang kuat. Mudah saja kuis itu, aku mendapatkan nilai penuh. Beda dengan sahabatku, dia terus-menerus menggerutu. Entahlah belajar atau tidak setiap harinya, atau hanya belajar saat tes saja. Lama perkuliahan kali ini adalah dua jam lebih lima belas menit. Bu Sintia selalu on-time, tidak pernah lebih atau kurang. Juga masih memberi kesempatan bagi mahasiswa yang terlambat. Hanya saja, untuk nilai beliau sedikit susah, karena benar-benar dari hasil kita. Tidak mengampuni untuk mahasiswa yang mensontek. Kuliah selesai, Intan tidak bisa mengantarku. Dia harus pulang cepat karena ada acara di rumahnya. Diri ini segera memesan ojek online di depan kampus. Saat menunggu, ternyata ada dosen aneh keluar dari salah satu tempat makan. Ia mendekatiku, dan bertanya sesuatu. “Gimana kabarnya Din?” Diri ini malas menjawabnya. Rasa jengkel masih mendominasi hati. Teringat dengan semua perbuatannya. “Din, nunggu ojol ya, mending aku antar aja, sekalian ada yang mau aku omongin,” “Maaf tidak perlu,” jawabku ketus. Ojek online pesananku tiba, akhirnya mengantarku ke kontrakan. Ponselku terus bordering dan dosen aneh itu yang menghubungiku. Dahiku berkerut karena heran padanya, untuk apa menghubungiku. Sejak kejadian di kelasnya, dia sering menghubungi. Diri ini enggan untuk menanggapi. Tidak pernah membalas pesan-pesannya, dibaca juga tidak. Kasak-kusuk diantara mahasiswa semakin santer, mereka menggosipkan aku. Diri ini heran, mengapa mereka membuat berita seperti ini. “Tan, mereka ngomongin apa sih?” tanyaku pada sahabatku ini. “Elu, di gosipin sama Pak Abi.” “Lah kok bisa? Gue aja ga deket sama dia.” “Bukan Elu yang deket, tapi doi yang pedekate sama Elu.” Mataku mengerjap, bingung dengan informasi yang kudengar. “Gimana ceritanya, gue ga ngerasa dia pedekate loh ya.” “Lu ga ngerasa, tapi semua mata tahu, kalo Pak Abi ada rasa sama Elu.” “Ah bodo amatlah, yang penting gue ya ga ada rasa sama dia.” Semakin menambah kekesalan hati saja ulah dosen aneh itu. Membuat diri ini menjadi topik bahasan aneh. Aku dan Intan berpisah, karena aku naik motor, sedangkan dia membawa mobilnya. Baru saja memikirkan dosen aneh itu, ternyata dia ada di parkiran motor. Entah mengapa tidak parkir khusus untuk dosen. “Wah, jadi benar ya berita ini, kalian memang ada hubungan spesial.” Salah satu mahasiswa mengatakannya. Diri ini heran dengan reaksi dosen aneh itu. Dirinya hanya tersenyum menanggapinya. Membuatku sangat jengkel saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD