Bab 11

2008 Words
Dosen sialan! Aku menggerutu, sungguh tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Dosen itu seperti tidak punya dosa. Apa tidak berpikir bahwa dia banyak penggemar terlebih mahasiswi ganjen itu. Saat keluar dari parkiran, dia sengaja berada di belakangku. Aku yang awalnya cuek menoleh saat tukang parkir mengatakan sesuatu. “Wah, ini ya yang Pak Abi ceritakan itu. Semoga berjodoh ya Pak.” Dahiku mengernyit bingung mendengar penuturan tukang parkir itu. Siapa dan apa yang dimaksudkan. Kulihat dari spion motor, dosen aneh itu malah tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya. “Terima kasih Pak, ini uang parkinya pas ya,” pamitku pada tukang parkir yang sama anehnya itu. Saat di lampu merah, ternyata dia masih juga mengikutiku. Entahlah, tidak mau berburuk sangka karena jalan raya ini milik umum, bisa saja dia searah dengan tujuanku. Melajukan motor menuju kontrakan, sengaja singgah di warung makan Bakmi Jowo Pak Maman. Warung ini selalu ramai, walaupun letaknya di pinggir jalan. Soal rasa jangan ditanyakan, sangat lezat. Tidak kalah dengan restoran. Aku memesan seporsi bakmi godog spesial, karena suka banget dengan menu ini, untuk minumnya diri ini  memilih air putih. Tidak menyadari kehadirannya, orang yang kubenci malah duduk di sebelahku. Ia memesan menu sama denganku. “Din, ternyata hobi kita sama ya, bakmi godog.” Aku mendiamkannya dan menyibukkan diri dengan ponsel. Berselancar di dunia maya, ada beberapa pesan dari Intan, dirinya mengabarkan jika ada acara di rumahnya di batalkan. Saat sedang membuka salah satu aplikasi bergambar sebuah kamera berwarna ungu, ada satu pemberitahuan permintaan mengikuti. Setelah kubuka, ternyata orang yang ada di sebelahku. “Din, kamu udah dengar kan berita di kampus. Itu benar, aku yang membuatnya. Aku memang jatuh cinta sama kamu.” Tidak bisa berpikir dengan jernih, ucapannya sangat mengejutkan diri ini. Sungguh sangat aneh, dia mengatakan hal ini padaku. Tidak ada kedekatan di antara kami berdua, membuat muak saja. seketika nafsu makanku hilang. “Pak, punya saya di bungkus saja, mau makan di kos.” Pak Maman membungkus pesananku. Segera membayar dan pergi dari warung itu. Dosen aneh itu melongo dengan tindakanku. Untung saja pesanan miliknya masih lama. Melajukan motorku membelah jalanan menuju kontrakanku. Entah mengapa diri ini merasa pernah mengenal dosen aneh itu. Sesampainya di kontrakan, Ibu pemilik kontrakan mengatakan jika baru saja Revan datang mencariku. Seketika diri ini menjadi tegang, apa yang ada di pikiran pria itu sehingga terus mencariku. Sekarang sudah tidak ada hubungan apa-apa di antara kami berdua. Hanya sebuah cerita lama yang sudah kukubur dalam. Memindahkan bakmi jowo milikku ke dalam sebuah mangkuk, agar segera bisa di makan. Tiba-tiba saja pintu depan kontrakanku ada yang mengetuk. Dengan gusar diri ini bergegas membukakan pintu. Betapa terkejutnya ternyata dia adalah Aryo Abimanyu, sang dosen aneh yang datang. “Mau apa?” “Lah, ya di persilahkan masuk dulu gitu, masa tamu di luar.” Membuka pintu selebar-lebarnya agar tidak terjadi fitnah karena mendapatkan tamu laki-laki. Diri ini mempersilahkan masuk dosen aneh itu. “Din, boleh pinjam piring atau mangkuk? Mau makan bakmi jowo. Tadi kubungkus dan nyusulin kamu ke sini.” Tanpa menjawabnya, langsung mengambilkan apa yang diinginkannya. “Pak, ngapai sih nyusulin saya ke sini? Saya ga suka!” “Ya, kepengen makan bareng kamu. Supaya seperti pasangan yang lainnya.” Mataku melotot mendengarkan ucapannya. “Kita bukan pasangan, dan saya tidak berminat menjadi pasangan Bapak.” “Ya, terserah. Warga kampus tahu-nya kita pasangan. Jadi mau bagaimana lagi.” Dia mengatakannya seolah seperti tidak ada beban. Tidak ada kebohongan di matanya. Diri ini jadi berpikir, apakah yang dikatakan Intan itu benar, Pak Abi mendekatiku. Tidak seperti saat dengan mahasiswa yang berusaha mendekatinya, dirinya lebih lembut ketika menyapaku. Walaupun ada kejadian tidak mengenakan di kelasnya saat aku terlambat datang. “Din, kamu benar tidak mengingatku?” tanyanya sambil menyantap bakmi-nya. “Tidak, karena tidak penting juga untuk diingat.” Dirinya hanya tersenyum, bahkan tidak sedikitpun keinginan untuk marah. “Aku, Abi teman Vino saat SMA dulu di Jogja. Dulu kamu masih kelas dua SD. Sudah terlalu lama, makanya kamu lupa. Dulu kamu sering menangis kalo di ganggu Vino.” Ingatanku berputar, dimana kami semua dulu pernah tinggal di Jogjakarta. Saat itu kami warga pindahan dari Jakarta. Ayah mengurus pembukaan cabang kantor baru. Lamat-lamat aku mengingatnya tentang siapa sosok di depanku. Wajahku bersemu, ketika benar-benar mengingatnya. Ternyata, dia lelaki yang selalu mencium pipiku kala diri ini menangis karena di ganggu Mas Vino. “Kenapa wajahmu merah?” “Hmm … tidak, jika sudah selesai makan, Bapak bisa pergi dari sini. Saya ingin istirahat.” Sengaja aku mengusirnya. “Baiklah, tolong ingatlah sedikit saja tentangku,” pintanya sebelum keluar dari kontrakanku. Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya mengingat tentang Abi, benar saja merak bersahabat sejak SMA dulu. Mengapa tidak terpikirkan olehku, bahkan dulu aku pernah mengatakan jika ingin menjadi istrinya. Kala itu diri ini masih kelas 2 SD, ya Tuhan rasanya malu sekali. Selesai membereskan bekas makan kami berdua, Ibu pemilik kontrakan datang untuk mengajakku berbincang. “Nak Dinar, betah tinggal di sini?” “Iya, Bu, saya betah. Di sini sangat kekeluargaan juga aman.” “Syukurlah, Ibu takut kamu tidak betah. Oh ya, pria tadi itu sering kemari menanyakan kamu, dia pacarmu?” Pertanyaan Ibu Murni pemilik kontrakan membuatku terkejut dan bingung menjawabnya. Karena kenyataannya kami tidak ada hubungan apapun. “Itu … dia teman kakak saya Bu, kebetulan dosen saya di kampus.” Diri ini tidak sepenuhnya berbohong, karena memang begitulah kenyataannya. “Dia, sepertinya menaruh rasa padamu, Nak. Sepengetahuan Ibu, dia orangnya baik. Ibu juga mengenalnya, dia tinggal di kontrakan cowok di Gang Mangga.” Aku terdiam mendengar penjelasan Ibu Murni. Tidak menyangka bahwa dosen aneh itu ternyata tinggal di daerah ini. “Ya, sudah, istirahatlah. Maaf jika Ibu mengganggu.” Ibu Murni berpamitan padaku. Diri ini mematung mendengarkan penjelasan pemilik kontrakan. Selama ini dosen aneh itu sudah tahu jika aku tinggal di kontrakan ini. Pantas saja seperti sering melihatnya. Segera menghubungi Mas Vino, semua harus jelas saat ini juga. Dering pertama panggilanku langsung diterimanya. “Halo Mas,” “Ya, Din, tumben telepon ada apa?” “Mas, kenal Pak Abi?” “Iya, kamu lupa sama Abi? “Ga inget, makanya tanya Mas. Ihh sebel deh,” “Dia teman Mas saat SMA di Jogja, kenapa?” “Oh, enggak. Aku kenal dia ga dulu pas di Jogja?” “Kenal, kan sering nemenin kamu main juga, sering cium pipi kamu juga,” “Ihh … ga inget aku. Ya udah makasih deh infonya,” Sambungan teleponku terputus sepihak, lebih tepatnya aku mematikan sambungan telepon itu. Malu rasanya jika di teruskan obrolannya. Berpikir sejenak, bagaimana bisa ada berita di kampus, bahwa kami berdua mempunyai hubungan. Haruskah bertanya pada Intan, biasanya gadis cerewet itu sangat up to date terhadap berita dan gosip kampus. Sejenak berpikir, akhirnya kuputuskan menghubunginya. [Tan, mau tanya dong.] Kebetulan, dirinya sedang aktif. [Iya, tanya aja.] [Berita soal gue sama Pak Abi, emang gimana sih?] [Dihh, Lu parah banget, jadi trending topic di kampus malah ga sadar Din.] [Beneran, gue ga paham.] [Gini, pas Lu ngamuk di kelas Pak Abi. Inget kagak? Lu telat itu lho. Nah pas Lu keluar, Pak Abi bilang ke mahasiswa di kelas itu, kalo Lu calon istri dia.] Membaca pesan dari Intan, seketika tubuhku mendadak kaku. Bisa-bisanya dosen aneh itu membuat berita tidak benar seperti itu. [Ck, emang aneh dia Tan. Biarin ajalah, males gue nanggepi.] Semenjak heboh berita kedekatanku yang dibuat oleh dosen aneh itu, diri ini merasa banyak mendapat sorotan. Banyak mahasiswi yang terang-terangan mengaku patah hati lantaran berita ini. Mereka tidak tahu, sebentar lagi akan ada kemarahanku yang meledak. Segera memasuki ruangan khusus dosen ekonomi, dan mencari ruangan dosen aneh itu. Diri ini mendengar ternyata di dalam sedang ada tamu. Tidak peduli lagi, segera saja kuterobos masuk ruangan berukurukan empat kali lima itu. “Siang Pak, sayan ingin berbicara dengan Anda.” “Dinar ….” Dosen aneh itu tampak terkejut dengan kehadiranku. Ternyata ada dosen perempuan, entah namanya siapa karena bukan dari fakultas ekonomi maupun psikologi. “Hmm … aku pamit dulu ya Bi,” pamitnya pada dosen aneh itu yang hanya diangguki olehnya. Setelah dosen cantik itu keluar, barulah hawa panas ingin mencakar wajahnya kuperlihatkan. “Jadi …?” Ia menanyakan seolah tidak terjadi masalah apapun di kampus ini. “Kenapa bikin gosip yang tidak benar. Dengan memberitakan jika kita ada hubungan?!” “Memang sebentar lagi kita aka nada hubungan,” jawabnya sambil berdiri dari kursinya dan mendekatiku. “Maksudnya?” “Ya, aku mau ada hubungan sama kamu. Aku cinta sama kamu dari dulu,” jawabnya. Ada ya orang model begini? Menyatakan cinta tapi membuat lawan jenisnya emosi? Jawabnya hanya dosen aneh ini. “Kalo aku gam au?” “Yah, langsung lamar ke ayahmu sajalah. Pasti di restui beliau.” “Jangan harap!” Aku membentaknya sambil berjalan keluar dari ruangannya. Bisa gila jika dilanjutkan perdebantannya. Dosen aneh itu tidak akan mau mengalah, ada saja jawabannya. Tiba-tiba saja ponselku bordering, ayah meneleponku. “Halo Yah, ada apa?” “Dinar hari Minggu datang ke rumah ya, ada acara keluarga. Seluruh keluarga hadir, Raka juga pulang dari Amerika,” “Oh, Mas Raka pulang?” “Iya, rencananya mau ada lamaran,” “Oke Yah, aku pulang,” putusku. Sangat rindu pada Mas Raka, semenjak Mas Riki berpulang bersama Bunda, laki-laki itu memilih untuk hidup di US. Tidak lagi berkuliah di kampus yang sama denganku. Seminggu setelah kejadian di ruangan dosen aneh itu, ternyata kelakuannya menjadi sangat parah. Bayangkan saja, seolah-olah dia mengikutiku, dengan alasan kebetulan bertemu. Alasan klasik bagi seorang playboy cap gayung pecah. “Din, Elu tuh beruntung banget ya, Pak Abi ngejar-ngejar elu sampe segitunya. Kalo Gue dapet cowok model kaya dia, beuhh gue rela deh berkorban jiwa dan raga.” “Tan, elu ya, jangan kambuh penyakit sarap Lu. Model kaya dia harus di hempas tau!” Sungguh tidak nyaman sekali jika setiap orang menatapku. Ada yang menatap bahagia, tatapan sinis, tatapan tidak suka, dan masih banyak lagi jenis tatapan untukku setiap kali pergi ke kampus. Siang ini ada beberapa mata kuliah, rencananya, sepulang kuliah ingin menemui Mas Vino, kebetulan sedang cuti dan berada di Jakarta selama sepekan. Tentu saja dengan kakak iparku-Mbak Ratna. Mas Vino mengajakku bertemu di salah satu restoran lesehan yang letaknya tidak jauh dari kampusku sore jam empat. Artinya selepas aku selesai kuliah hari ini, Intan tidak bisa ikut karena harus mengerjakan tugas kelompok. Sementara aku, tugasku sudah di persentasikan karena kelompok pertama. Melajukan motor menuju restoran yang di maksud Mas Vino. Tanpa memperhatikan sekitar, ternyata ada dosen aneh dan wanita paruh baya. Sedikit mengingatnya seperti pernah melihatnya. “Nak Dinar …,” wanita paruh baya itu menyapaku. “Saya?” tanyaku polos. “Nak Dinar lupa sama Ibu?” tanyanya lagi. “Emm … maaf sebelumnya karena saya tidak ingat,” jawabku jujur. Sontak membuat ke empat orang dewasa tersebut tertawa. Bingung dengan apa yang mereka tertawakan, diri ini memilih duduk di dekat Mbak Ratna. Mengerti dengan keadaanku yang bingung, akhirnya kami semua memesan makanan. Sengaja memesan ikan gurame bakar dengan sambal terasi super pedas, tidak tahu kan kalau tiba-tiba mulut dosen aneh itu mengeluarkan kalimat aneh, jadi diri ini persiapan untuk menjawabnya sepedas mungkin. Saat makan, hanya obrolan ringan saja diantara kami berlima. Akhirnya, kutahu, wanita tadi adalah Ibu dari dosen aneh itu. Sangat berbeda jauh antara ibu dan anak itu. Ibunya sangat ramah dan baik, anaknya jangan ditanya lagi. Dari pembicaraan tadi, Ibu Suma, mengatakan bahwa memiliki tiga orang anak, kedua adik dosen itu perempuan dan salah satunya sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di Palembang. Sedangkan adik bungsunya, masih kuliah di kampus yang sama denganku hanya saja mengambil keguruan Bahasa Inggris. Hari minggu yang di janjikan ayah tiba, benar saja Raka ada di rumah. Aku berlari memeluknya, tidak peduli dengan tatapan aneh para tamu. “Gue kangen Mas,” kataku sambil memeluknya. “Adik gue yang cantik udah pinter ya sekarang,” jawabnya. Kami berdua mengobrol, mengabaikan orang yang ada di sekitar. Tidak sadar bahwa dosen aneh itu juga ikut hadir di rumahku. Diri ini hanya sempat bersalaman dengan Ibu Suma saja, malas bersalaman dengan dosen aneh itu. Tak lupa juga berkenalan dengan adiknya yang bernama Jasmine, anaknya sangat kalem. “Karena Dinar sudah datang, mari kita mulai acaranya.” Ayah mengatakannya sambil menggandeng nenek lampir. Pasangan penghianat juga hadir di acara ini. Revan sedari tadi menatapku tanpa berkedip, entah apa yang ada di pikirannya. “Din, kok Lu ga cerita ke gue kalo mereka akhirnya nikah.” “Males ihh bahas mereka, tanya langsunga aja sama yang bersangkutan. Gue males jelasin, udah cerita lalu.” “Iya-ya, kan bentar lagi lamaran, pantes aja di bilang cerita lalu,” kata Raka membuat diri ini mengernyit bingung. Siapa yang akan lamaran, sementara pacar saja tidak punya juga kuliah belum selesai. “Dinar, putri bungsu kami hari ini akan bertunangan dengan Aryo Abimanyu.” Pengumuman dari ayah membuat sekujur tubuhku lemas bagaikan tidak bertulang. Bayangkan saja, hanya dalam hitungan menit status kita berubah menjadi tunangan orang, dan orang itu adalah orang yang sangat menyebalkan. “Kami dari pihak keluarga sudah setuju, tidak masalah jika menikah sambil menyelesaikan kuliah.” Begitulah ayahku selalu mengambil keputusan sepihak. “Agar lebih saling mengenal, Abi dan Dinar silakan mengobrol. Kami akan menunggu jawabannya.” Seketika orang-orang yang ada di ruang tamu masuk ke arah ruang makan dan ruang keluarga. Revan menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Diri ini enggan menanggapi karena cerita kami sudah usai. Raka menggodaku dengan mengedipkan matanya kearahku dan dosen aneh itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD