Bab 8

1132 Words
Alasan sebenarnya adalah, tidak ingin melihat pasangan penghianat itu. Dinar muak! Terkadang kita tidak perlu memaksakan diri agar baik-baik saja, sekalipun dengan kakak kandung. Mata tidak akan mendustai pemiliknya. Revan, sangat menyesali perbuatannya, setelah menikahi Kinanthi karena kecelakaan, dia memilih sering bekerja di kantor. Pulang ke rumah hanya ketika sudah tengah malam. pagi-pagi sekali sudah berada di kantor. Tidak ada cinta dengan Kinanthi. Namun, mereka harus tetap bersama karena dari hubungan terlarang itu menghasilkan seorang putra yang sangat tampan. “Dinar ….” Kinan memanggil dan mengejar langkah sang adik, namun sayang sang adik enggan mendengarkan panggilannya. Penyesalan datang terlambat, ia ingin memperbaikinya sekarang. Wanita ayu ini tahu, ia memang memikili tubuh sang suami, tapi hatinya dimiliki oleh Dinar. Pernikahan mereka tak ubahnya sandiwara di depan seluruh keluarga, kenyataannya Revan sang suami sangat dingin padanya. “Dinar …!” seru Kinan saat berhasil mencekal lengan sang adik. Seketika tubuh sang adik berhenti berjalan dan berbalik mengadapnya. “Hmm … ada apa?” Dinar bertanya dengan nada dingin. Kental sekali aura permusuhan diantara keduanya. “Bisa kita bicara?” tanya Kinan. “Apalagi?!” “Din, mengertilah, aku menyesali perbuatanku,” “Begitu ya, tapi yang kulihat kamu bahagia.” Dinar mengatakannya dengan nada sindiran. Gadis cantik itu enggan berlama-lama di rumah ayah karena memang menhindari kedua pasangan penghianat ini. keputusannya untuk menghadiri acara semalam adalah keputusan yang salah. Setelah ojek online yang ia pesan datang, segera menaikinya dan mengantarkannya ke kontrakan. Ia ingin segera sampai ke kontrakannya. Rasanya muak melihat kemunafikan seisi rumah. Seolah semua tampak baik-baik saja, bahkan di depan ayah, Revan terlihat baik. Sesampainya di kontrakan, gadis cantik ini segera merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya mengelana jauh, teringat masa-masa bersama Revan. Banyak pengandaian yang ia benci saat mengingat sang mantan. Tiba-tiba saja ponsel di dalam tasnya berbunyi satu pesan masuk ke ponselnya. [Din, jalan yuk.] Ternyata Intan yang mengirimkan pesan. [Lagi males gue, pengen di kos.] [Lah mumpung hari Minggu ini. Semalam kata Ibu Kos Lu pergi ya?] [Iya, ke rumah ayah. Ada acara, gue nginep di sana.] [Plis Din, sejak Lu pulang dari Bandung, belum pernah kan kita jalan. Gue lagi suntuk banget kepengen curhat ke Elu.] Tidak enak menolak permintaan Intan sahabatnya, akhirnya Dinar setuju dengan pertintaan gadis cerewet itu. Mereka janjian bertemu di Mall seperti biasanya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Dinar baru saja sampai ke tempat tujuan. Ternyata Intan gadis cerewet itu sudah sampai di sana. “Din, ya ampun, gue seneng banget deh akhirnya kita bisa jalan-jalan lagi,” katanya dengan senyum yang lebar. “Kepaksa ini,” ledekku. “Yah, jangan dong. Betewe, kita makan yuk. Cemilan gitu, ada tuh tahu mercon. Favorit gue banget, pedes nendang.” Gadis cerewet itu mempromosikan jenis jajanan yang ia sukai. Diri ini akhirnya pasrah saat Intan menggiring untuk duduk di salah satu tempat duduk jajanan Tahu Mercon. “Gue pesenin Lu pedes sedeng aja ya,” katanya sambil berlalu menuju tempat pesan. Intan kembali dan langsung duduk di depanku. “Jadi …?” tanyaku. “Din, gue jatuh cinta dan itu sama Bima. Udah gue tepis rasa ini, tapi gue ga bisa bohong sama diri ini. Jujur gue tersiksa dengan rasa ini,” adunya dengan wajah memelas. Sebenarnya diri ini sudah menduga sejak dulu, gadis cerewet ini mempunyai perasaan lebih untuk Bima. Namun, selalu mengelak dan menghindar. “Hmm …, gue ga bisa bantu pendekatan kalian. Kalo boleh saran sih, jangan terlalu terlihat bahwa Lu yang jatuh cinta sama Bima. Biarkan dia yang ngejar Lu.” “I-iya, gue juga ngeri sama mantan Bima, neror mulu. Padahal dia yang selingkuh, gue yang di tuduh sebagai pihak ketiga.” “Tan, ga gampang dapat cowok macam Bima temen kita itu. Lu tahu kan dia sabar banget, bahkan saat menghadapi mantannya itu yang wow banget kalo kata gue.” “Iya, sih, Din, tapi Lu dukung gue kan?” “Hmm … kaya pilpres aja butuh dukungan. Kelas kita ada jadwal bareng ga sama Bima?” “Who ada Din, kelas Ekonomi Makro. Eh gue baru inget, dosennya bukan lagi Prof. Amri seperti tahun lalu. Ganti, kalo ga salah namanya Aryo Abimanyu. Masih muda, ganteng, singgel, keren, dan wow deh pokoknya.” Gadis cerewet di depanku mengatakannya dengan antusias tentang dosen baru itu. Tapi entah mengapa diri ini seperti pernah mendengar nama itu, tapi kapan dan dimana? Tidak teringat sama sekali. Pesanan kami datang, ternyata jajanan yang di gemari Intan memang sangat lezat. Baru dapat separuh makan tiba-tiba kami terkejut dengan kedatangan Revan. Sontak mata Intan berkilat marah melihat kehadirannya. “Din, aku pengen ngomong, beri waktu sebentar saja,” pintanya. Diri ini enggan dan malas untuk berurusan kembali dengan penghianat. “Lu kagak usah deh cari masalah dengan Dinar, belum cukup nyakitin hati dia?!” bentak Intan. Beberapa pengunjung tertarik dan menoleh ke arah kami bertiga. Tidak ingin malu, akhirnya aku menyetujuinya. Intan mengalah memilih berpindah tempat duduk sebentar selama kami berbicara. “Din, aku rindu. Selama kamu pergi hampir setiap hari aku ada di kamarmu. “ Mantanku yang tidak tahu diri ini mengatakannya dengan sengaja. “Kamu tahu, aku muak melihatmu! Jadi jangan buang waktu untuk berbasa-basi tidak jelas!” “Kamu boleh marah Din, aku salah waktu itu, seharusnya aku lebih pengertian dan tidak banyak tuntutan. Jujur aku rindu kebersamaan kita. Kamu sibuk dan aku kesepian, membuat aku dan Kinan dekat hingga kejadian sialan itu.” “Aku sudah tidak peduli dengan semua itu, aku harap jangan ganggu hidupku lagi.” “Din, aku tidak mencintai Kinan, hanya kamu yang ada di hati ini. kebersamaan kami hanyalah kepura-puraan yang kami buat. Selebihnya hanya sandiwara saja.” “Itu urusan kalian, bagiku kamu masa lalu yang harus dibuang. Oke waktuku habis, maaf aku pamit. Tolong jangan ganggu aku!” Diri ini segera berlalu dari hadapannya. Muak melihatnya! “Din, Lu ga pa-pa kan?” “ Enggak, hanya kok bisa kebetulan dia disini. Apa rencana Elu?” selidikku. “Ngapain sih, gue aja benci banget sama tu orang.” Tidak ada kebohongan saat Intan mengatakannya. Ternyata benar, pria itu mengikutiku. “Gue dengar dari nyokap dan bokap, Revan ga cinta sama tu perempuan setan. Waktu itu ga sengaja dia mengabaikan istrinya yang hamil besar di RS. Nyokap waktu itu periksa pas hipertensinya kambuh, Revan ninggalin Kinan di tunggu obgyn.” Diri ini mematung mendengar penjelasan Intan. Sebegitu parahnya kah hubungan mereka? “Din, kelihatan kali ya, Revan cinta sama Elu. Bahkan ortu gue bisa bilang, laki-laki seperti dia itu sebenarnya setia. Namun, yang gue lihat sebaliknya.” “Gue udah ga peduli sama tu orang, lagian dia udah jadi laki orang.” Sebenarnya sangat malas membahas seseorang dari masa lalu. Membuat sakit hati kala mengingat penghianatannya. Aku berusaha ikhlas dengan takdir yang Tuhan gariskan. Bagiku terbaik adalah menjauh dari kehidupan pasangan itu. “Ya udahlah Din, ga usah di pikirin. Mending kita cuci mata, siapa tahu ya dapat diskon gede gitu.” Diri ini hanya menggeleng pelan melihat tinggah ajaib gadis cerewet itu. Saat hendak berjalan, ternyata aku bertabrakan dengan seseorang. Pria itu menumpahkan kopinya pada kaus yang kugunakan. “Kalo jalan lihat ke depan dan pakai mata, Mbak,” katanya. “Mas, saya kalo jalan pake kaki bukan mata. Situ yang salah kok nyolot! Bentakku. Pria itu hanya berlalu pergi tanpa meminta maaf padaku. Membuat kesal saja, jika bertemu kedua kalinya, awas saja kubalas perbuatannya. “Din, Lu ga pa-pa?” tanya Intan. “Baju gue basah nih kena kopi tu orang,” rajukku. “Ya udah beli baju aja, ga mungkin kan pakai baju kotor gini,” ajak Intan. Benar juga, mending mencari baju untuk ganti daripada memikirkan orang yang membuatku kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD