Bab 7

2082 Words
Dinar menyetujui permintaan Intan. Berita ini tentu saja sangat membahagiakan bagi sanga ayah. Pertama kali mendengar berita ini dari anak tertuanya- Vino. Vino sengaja datang ke Jakarta memberitahukan bahwa adiknya akan pulang. Benar saja, sang ayah merasa sangat bahagia. Lelaki tua itu merasa sangat bersalah pada anak bungsunya. Terlebih tidak membicarakan apa kemauan Dinar. Padahal, selama ini anak bungsunya selalu menurut padanya, tidak banyak protes. Berita Dinar akan pulang, membuat hati Revan bahagia. Ia memendam kerinduan pada gadis itu. Pria bertubuh kekar ini tidak pernah menganggap pernikahannya dengan Kinan, hanya sebagai bentuk tanggung jawab saja atas perbuatannya. Ia juga tidak pernah tidur bersama. Revan lebih memilih tidur di sofa yang ada di kamarnya. Hatinya sakit setelah mengetahui perbuatan Kinan yang nekat. Beberapa minggu setelah pernikahan itu, ternyata Kinan hamil. Awalnya ia tidak percaya jika itu adalah darah dagingnya. Setelah bayi itu lahir, mereka mengadakan tes DNA. Hasilnya sembilan puluh tiga persen mirip dirinya, pertanda bayi mungil tidak berdosa itu adalah darah dagingnya. Bayi laki-laki yang sangat tampan, mirip dirinya saat bayi dahulu. Hatinya melunak melihat darah dagingnya lahir ke dunia. Tak jarang ia membantu Kinan dalam merawat sang anak. Hanya sebatas kewajiban saja, masalah cinta tetap saja untuk Dinar. Revan menanti kehadiran gadis cantik yang pernah mengisi harinya. Ingatannya memaksa kembali pada masa bahagia dulu bersama Dinar. Gadis itu selalu sabar menghadapinya. “Din, Lu beneran nepatin janji kan,” suara dari seberang sana yang tak lain adalah Intan. “Iya, gue lagi beberes ini, kalo Lu telepon terus, kagak kelar dah,” “Oh, jadi Lu kagak ingkar janji kan?” “Lah jelas-jelas gue lagi beberes ini,” “Oke, gue tunggu di Jakarta,” “Gue ga balik rumah, mau langsung di kos aja,” “Iya ntar gue jemput Lu,” Sambungan telepon di putus sepihak oleh gadis cerewet itu membuat Dinar geleng-geleng kepala. Setelah selesai berkemas, Dinar berpamitan kepada para tetangga sekitar biar bagaimanapun mereka sudah sangat baik padanya. Mereka sangat kehilangan Dinar, bukan gadis cantik namanya jika tidak membuat orang lain terharu. Dinar berjanji jika liburan tiba akan datang lagi ke Lembang. “Mbok, Dinar pamit ya, maaf kalo selama di sini biki Mbok dan Mang Ujang repot.” “Kagak repot, justru kami senang, ada Non, jadi rame kan rumah ini.” “Dinar, janji deh, kalo liburan kuliah datang ke sini. Kan kalo liburan semester agak lama tu, sekitar 2 bulan.” “Iya, Non, kami pasti rindu sama Non,” jawab Mbok Nah sambil memelukku. Taksi yang kupesan akhirnya tiba untuk mengantarku ke terminal. Diri ini naik bus untuk sampai ke Jakarta. Macet, satu kata saat bepergian akhir pekan. Banyak orang yang ingin pergi liburan. Diri ini sebaliknya, bepergian menuju Jakarta. Menyiapkan segudang keberanian untuk melangkahkan kaki ke kota kelahiranku. Hati ini belum sembuh total dari rasa sakit itu, benar kata orang memaksa melupakan seseorang adalah hal tersulit. Diri ini harus bisa, demi masa depan yang aku impikan dahulu. Setelah beberapa waktu di dalam bus, ternyata sudah sampai. Rasanya hanya sebentar saja berada dalam bus ini. menuju pintu keluar dari terminal ini, ternyata Intan sudah menjemputku. “Gue nungguin Lo udah lebih dari sejam, takut telat gue,” adunya, membuat diri ini tersenyum. Kami akhirnya berjalan menuju mobil milik gadis cerewet ini. sedikit terkejut, Intan sudah mahir menyetir sendiri. “Dari kapan Lu bisa nyetir?” “Sejak Lu ngilang, gue frustasi dah. Nilai jeblok, banyak nilai D dan paling bagus C, nah sejak itu gue mikir mendingan latihan nyetir daripada kuliah.” Jawabannya membuatku sedikit berpikir, apa hubungannya nilai jeblok dan latihan mengemudikan mobil? Dasar aneh! Mobil melaju membelah jalan raya yang sedikit lengang, kebanyakan dari warga Jakarta sibuk dengan refreshing ke luar kota. Rasanya banyak yang berubah setelah setahun tidak menginjakkan kaki di Kota Metropolitan ini. “Tan, Lu cerita ga kalo gue balik ke Jakarta?” “Hah! Cerita sama siapa emang?” Tidak menjawab malah balik bertanya. “Ya, sama siapa gitu,” selidikku. “Hehehe … maafin gue ya, gue cerita ke Mas Vino doang. Lainnya kagak,” jelasnya. “Syukurlah, gue pikir Lo bakal ember ke ayah gue,” cecarku. “Gue takut kali ngobrol sama bokap Lo, bawaannya angker tu muka,” jawabnya. Diri ini tersenyum mendengar jawaban gadis cerewet di sebelahku. Sejak kecil, Intan sangat takut dengan ayahku. Dia bilang ayah sangat galak wajahnya. Padahal tidak juga, ayah sosok yang hangat dan perhatian terhadap keluarga, sebelum nenek lampir itu datang. “Din, ada kabar dari Bima nih, dia putus sama pacarnya. Ga kuat di kekang terus, belum lagi posesif abis di Arliana itu. Gue pernah di labrak sama tuh perempuan jadi-jadian di kampus.” “Kok bisa?” “Lah, Din, gue di tuduh jadi pihak ketiga diantara mereka. padahal tu cewek songong selingkuh sama anak hukum. Pan sarap tuh cewek, yang salah siapa yang tertuduh siapa.” “Trus sekarang gimana? Masih musuhan?” “Ya kagak Din, hanya saja, gue menjauh dari Bima. Males punya urusan sama mantannya itu. Eh lu tahu kagak, gue lagi deket sama cowok namanya Rendy, dia anak Tehnik. Idola banget deh sama dia. Ramah, ganteng, pinter, dan soleh. Gue sampe ngikutin medsos dia.” Dahiku mengernyit mengingat sesuatu, tidak asing dengan nama Rendy. Seperti pernah mengenalnya. “Rendy siapa sih?” “Itu, dia setahun lebih tua dari kita sih, nama lengkapnya Rendy Hakim.” Deg seketika jantung berdetak lebih kencang dari biasanya. Jadi pria yang di maksud Intan adalah orang yang mengejarnya dulu. “Lu deket sama dia?” “Baru usaha aja Din, tapi gue pesimis. Saingannya ngeri, banyak cewek yang naksir dia. tapi dia pernah sih bikin tulisan, kalo sudah ada pemilik hatinya.” Perkataan Intan membuatku lega, karena laki-laki itu sudah mempunyai kekasih. Jadi tidak khawatir akan terjadi salah paham. Diri ini memang tidak pernah bercerita tentang Rendy, karena saat itu sedang pacaran dengan Revan. “Cari yang lain lah, udah ada yang punya masih Lu harapin.” “Ya, tapi kan ya, dia ga pernah keliatan ada jalan sama cewek gitu.” “Mana tau Tan, kali aja ceweknya di luar kota.” Intan mengangguk, sepertinya ia mengerti dengan apa yang kuucapkan. Diri ini berdoa semoga saja memang benar pria itu sudah mempunyai kekasih. Rendy memang pernah menyatakan persaannya padaku, tapi hati ini sepenuhnya milik Revan. Tidak mengerti mengapa pria itu begitu mencintaiku, padahal banyak gadis yang lebih cantik. Akhirnya, sampailah kita berdua di tempat kos yang Intan janjikan. Ternyata berbentuk sebuah rumah kecil-kecil seperti kontrakan. Saat menemui pemiliknya, sepasang suami istri yang sudah menuju usia senja itu menyambut dengan ramah. Tidak banyak aturan di tempat kos, hanya saja harus bisa menjaga keamanan dan kebersihan. Dari cerita Intan, pemilik kos tersebut mempunyai seorang anak laki-laki yang berprofesi sebagai dokter. Saat ini sedang mengambil spesialis di Irlandia. Aku langsung menyukai tempat ini, walaupun sederhana tapi membuat nyaman. Lebih nyaman lagi ketika Intan sudah membayarkan uang sewanya selama setahun. Hal ini yang membuat hati bahagia. Beberapa kali Mas Vino menghubungi, tapi kuabaikan. Entah perasaanku malah jadi tidak enak. Benar saja kan, ternyata ia datang bersama dengan Ayah ke tempat kos ini. “Dinar, apa kabar Nak?” sapa ayah. “Aku baik Yah,” jawabku singkat. Ayah bercerita panjang lebar. Sempat menceritakan tentang Kinan dan keluarga kecilnya membuat diri ini tersentil. Ternyata mereka tinggal di rumah ayah, membuat diri ini semakin malas untuk datang ke rumah itu. “Dinar, kita pulang ya,” bujuk ayahku. “Maaf, Aku ingin disini saja.” “Jangan gitu dong, Nak, rumah ayah kan besar, sepi kalo kamu di sini. Kami semua rindu.” “Jangan paksa lagi Yah.” Akhirnya ayahku naik darah dan marah seperti biasanya jika keinginannya tidak dituruti. Diri ini sudah hafal. Ternyata ia mengajukan syarat, jika tetap tinggal di kontrakan ini harus mau membantu bekerja di perusahaannya. Aku setuju, toh nantinya juga aku akan menggantikannya. Hanya masalah waktu saja. diri ini juga mengajukan syarat, bahwa saat bekerja harus mendapatkan gaji. Lelaki tua yang kupanggil ayah setuju dengan syaratku. Sebelum pulang, Mas Vino mengatakan jika salah satu temannya akan mengajar di kampus tempatku kuliah. Entahlah siapa dia. Hari berganti hari, setelah melakukan administrasi di Kantor Administrasi Universitas, diri ini bisa mengambil beberapa jadwal kuliah. Kali ini fokus untuk menyelesaikannya, tidak lagi setengah-setengah. Satu tahun ke depan, hanya untuk mengulang mata kuliah yang kutinggalkan dulu. Tidak masalah jika harus satu kelas dengan adik kelas. Mungkin saja teman se-angkatanku sudah banyak yang menyusun skripsi.Ternyata tidak hanya adik kelas saja yang satu kelas denganku, beberapa kakak tingkat juga mengulang mata kuliah yang sama. “Din, gue denger nih ya dari orang-orang, katanya mau ada dosen baru.” Intan memberikan berita. Diri ini tidak tahu dan tidak mau tahu tentang berita siapa saja yang akan mengajar di kelas yang kuambil. Bagiku hanya belajar saja, tidak perlu tahu siapa dosennya. Mau dosen pria, wanita, tua, muda, itu biarkan saja. “Lah, sempet-sempetnya Lu nyari gosip. Bukannya memperbaiki nilai mata kuliah yang anjlog,” cecarku. “Sambil cuci mata Din, ga salah juga. Tu dosen masih muda banget,” “Bodo amat, gue ga peduli Tan, tujuan gue cuman pengen cepet lulus. Simpel kan?” “Terserah elu deh Din, kagak bisa diajak cuci mata ni orang.” Intan tampak mengerutu ketika mengatakannya. Saat hendak berdiri, tiba-tiba saja ponselku berbunyi, ternyata ayah menelepon. “Haloo,” suara dari seberang. “Ya, Yah, ada apa?” “Dinar, nanti malam ada acara keluarga. Datang ya, kami semua kangen. Mas Vino dan Mbak Ratna semua datang dari Yogja. Mbok Mirah juga ada, kamu ga kangen sama Mbok Mirah?” Diri ini berpikir untuk datang dan tidaknya. Kangen dengan keluarga Mas Vini. Terlebih Bu Mirah, beliau yang mengasuhku dulu. “Liat nanti Yah, Dinar banyak tugas,” putusku. Rasanya jika menginjakkan kaki di rumah penuh kenangan membuat hati ini terluka kembali. Perlahan luka itu sudah menutup, apa sanggup diri ini jika harus bertemu dengan mereka yang menghinantiku? Benar kata orang, bisa tidaknya move on tergantung kita. Jika memang sudah move-on tidak akan mempermasalahkan jika bertemu kembali. Pertanyaannya satu, apakah diri ini sudah mampu? Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya memutuskan untuk menghadiri pertemuan keluarga di rumah Ayah. Memesan taksi online dan bergegas menuju kediaman lelaki tua yang kupanggil ayah. Benar saja, di sana sangat ramai. Banyak keluarga yang datang. Sepertinya sedang ada acara. Tidak mau ambil pusing, melangkahkan kaki menuju ruang tamu rumah ayah. “Dinar sudah datang, Nak?” sapa ayahku hangat. Ia memelukku, dan satu persatu anggota keluarga pun melakukan hal yang sama, tapi tidak untuk kedua penghianat itu. Melihat mereka membuat diri ini muak. Tidak di pungkiri Revan sedari tadi menatapku, bahkan seolah-olah matanya mengikutiku. Risih, satu hal yang kurasakan saat ini. “Dinar, nanti nginep kan?” Mbak Ratna menanyakan hal itu. Hati ini bimbang, mengingat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. ada rasa takut jika harus pulang ke kontrakan. Minta di jemput Intan atau Bima rasanya tidak mungkin karena sudah terlalu larut. Menimbang berbagai alasan keselamatan akhirnya diri ini setuju dengan permintaan kakak iparku. “Iya, Mbak, udah malam juga.” Acara selesai, diri ini segera naik ke lantai dua menuju kamarku. Ternyata sama dengan satu tahun lalu, pria yang sudah menjadi mantanku. Tetap tenang dan melangkah menuju kamarku, mengabaikan segala tatapannya. “Din …,” sapanya lirih. Aku enggan menanggapinya. Segera masuk kamar dan menguncinya, diri ini tercenung. Ternyata kamar ini tidak berubah. Segera membersihkan diri dan segera tidur. Sebelum tidur, kubuka laci, mengambil ponsel lamaku. Setahun lamanya tidak kubuka, ternyata baterainya full. Artinya ada orang yang selalu mengisinya. Entah siapakah itu, diri ini tidak mau menduga-duga. Saat membuka pesan di aplikasi bergambar gagang telepon berwarna hijau, betapa terkejutnya diri ini. Semua isi pesan berasal dari Revan, pria yang sudah menjadi kakak iparku. Pesan tersebut terakhir di kirim adalah kemarin. Kumatikan kembali ponsel lamaku. Tidak ingin membaca pesan darinya. Paginya, suara berisik datang dari depan kamarku. Ternyata, anak kecil putra dari Mas Vino menggedor pintu kamarku. Segera kubuka pintu, bocah kecil berusia lima tahun itu berlari menuju kasurku. “Mas Gerald jalan pelan aja ya, nanti jatuh kalo lari,” tegurku pada bocah laki-laki ganteng itu. “Ante Di, ga bangun-bangun makanya Mas Ge kecini,” celotehnya. Diri ini tersenyum melihat tingkahnya. Tidak lama terdengar tangisan seorang bayi dari kamar seberang. Mungkin anak mereka? pikirku. Tidak berapa lama, ternyata Mbak Ratna datang ke kamar dan ikut duduk di dekat anaknya. “Mbak, aku tinggal mandi dulu ya,” pamitku. “Iya, habis itu turun sarapan ya.” Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Selesai mandi ternyata ibu dan anak itu sudah tidak ada, dan kamarku juga sudah rapi. Beranjak dari meja riasku, segera menuruni tangga menuju ruang makan. Disana seluruh keluarga sudah berkumpul. “Tante Dinar udah bangun itu Nak. Kinan mengatakan itu pada bayi mungil yang ada di gendongannya. Sementara suaminya tampak tegang saat diri ini datang dan duduk di meja makan. Aku mengabaikan perkataan dan tegur sapa dari Kinan. “Dinar, kamu pengen makan apa Nak?” tanya ayah. “Nanti ambil sendiri.” Segera mengambil nasi goreng dan telur mata sapi. Ingin segera selesai acara sarapan bareng ini dan pulang menuju kontrakan. “Yah, aku ga bisa lama. Masih banyak tugas kuliah, oh ya kapan aku bisa masuk kerja? karena saat ini kuliahku padat.” Aku memberikan informasi pada ayah, agar tidak salah paham. “Tersersah kamu aja, kalo pas luang datang ke kantor,” jawabnya. “Asal jangan hanya minta uang saja ya,” celetuk nenek lampir. Diriku biasanya diam, kali ini enggan untuk terus diam. “Maaf? Apa saya ga salah dengar. Bukannya kamu yang memanfaatkan ayah?” cibirku. Sontak membuat Nenek Lampir marah dan hendak menamparku. Seluruh keluarga kaget dengan perubahan sikapku, tapi diri ini tidak peduli. Setelah selesai makan, aku segera pamit  untuk pulang ke kontrakan. Malas rasanya berhadapan dengan orang-orang di rumah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD