Tania berusaha menenangkan hati Maya."Sabar, ya, Sayang. Dewa itu memang cuek sekali. Tapi, dia itu baik. Mungkin karena kalian baru saling kenal."
"Iya, Tante. Aku akan berusaha," balas Maya.
"Iya harus. Ya sudah ayo kita makan." Tania menggandeng lengan Maya.
Sementara itu, Dewa dan Chica sedang mengambil makanan yang tersaji di meja.
"Kak, aku enggak suka ikan," protes Chica saat Dewa meletakkan ikan ke piringnya.
"Kamu harus makan ini, sayang. Ini bagus, buat tenaga kamu." Dewa mengerlingkan matanya memberi kode.
Chica hanya bisa tertunduk malu."Tapi, aku, enggak suka, Kak. Yang lain aja."
Dewa tertawa renyah."Kamu lucu banget,sih."
"Chica...," Panggil Tania.
Chica dan Dewa menoleh bersamaan. Tania datang bersama Maya.
"Iya, Tante?"
"Tante mau minta tolong, nih. Sebentar, yuk."
"Ma, Chica mau makan. Dia belum makan dari siang," protes Dewa.
"Cuma lima menit, abis itu bisa makan lagi. Penting. Ayo!" Tania langsung membawa Chica pergi dari sana.
"Hai, Wa. Ketemu lagi." Maya mengambil piring dan mengisinya dengan makanan.
"Iya, Hai," balas Dewa.
"Bisnismu berkembang cukup bagus," kata Maya tiba-tiba membicarakan masalah pekerjaan.
Dewa sedikit terkejut mendengar ucapan Maya. Saat ini, bisnis tekstil yang sedang ia jalani memang sedang berkembang pesat. Bagaimana Maya bisa tau tentang itu. Dewa pun menggelengkan kepalanya sejenak, pasti Mamanya yang memberi tahu pada Maya."Iya, terima kasih, Maya."
"Semoga suatu saat kita bisa bekerja sama, ya," kata Maya lagi.
"Bekerja sama dalam hal apa?"
"Aku punya bisnis kecil-kecilan, dalam bidang fashion. Aku dengar bahan yang kalian gunakan berkualitas. Mungkin saja perusahaan kamu bisa memasok bahan ke pabrikku," kata Maya membuat Dewa menjadi tertarik dan bicara lebih banyak.
"Oh, ya? Memangnya apa nama pabrik kamu? Memangnya selama ini kita belum kerja sama?" Tanya Dewa.
Maya membuka tas kecil di genggamannya dan mengambil sebuah kartu nama."Ini kartu namaku."
Mata Dewa membulat saat membaca nama perusahaan Maya."Jadi, ini yang kamu bilang bisnis kecil-kecilan? Ini tuh, sesuatu yang sulit aku raih, Maya. Kami sudah berkali-kali mengajukan proposal kerja sama tapi tidak pernah disetujui."
Maya tersenyum."Sekarang, aku yang mengajakmu kerjasama. Sama saja, kan?"
"Setuju," balas Dewa bersemangat.
Maya dan Dewa terlibat pembicaraan yang semakin jauh. Bahkan mereka mencari tempat yang nyaman untuk duduk dan bicara panjang lebar. Chica merasa hatinya hancur saat melihat Dewa menghabiskan waktu bersama Maya.
Seharusnya dialah yang sekarang ada di sana. Bukan Maya. Tapi, sikap Tante Tania tadi memang seolah-olah ingin mendekatkan Maya dengan Dewa. Chica berteriak dalam hati. Ia pun segera meninggalkan acara itu. Hatinya hancur seketika.
"Ca... Mau kemana?" panggil Vanessa saat melihat Chica berjalan ke luar.
Chica mengusap air matanya sebelum ketahuan Vanessa."Pulang, Ma. Chica enggak enak badan."
"Loh, acaranya belum selesai. Jangan gitu, dong. Kamu istirahat aja di kamar. Enggak enak loh pulang duluan." Vanessa menggandeng Chica agar kembali ke dalam.
"Ca, kamu sakit?" tanya Hilda, yang merupakan salah satu sepupu Chica.
"Agak pusing aja, Da. Makanya aku mau pulang. Tapi, Mama enggak ngizinin," balas Chica dengan hati yang semakin terbakar cemburu. Apalagi saat ini ia bisa melihat dengan jelas, mata Dewa tak pernah lepas dari wanita di hadapannya. Ia benci berada di posisi ini.
"Udah, deh aku beneran mau pulang!" Teriak Chica kesal. Orang-orang di sana pun sampai terkejut.
"Chica! Kamu kenapa, sih?" tanya Vanessa tak enak dengan situasi ini.
"Aku mau pulang, Ma. Udah itu aja. Aku enggak enak badan." Suara Chica sudah bergetar ingin menangis.
Mendengar suara ribut-ribut perhatian Dewa teralihkan. Ia pun meninggalkan Maya saat itu juga dan menghampiri keramaian.
"Ada apa?"
Vanessa tersenyum."Enggak apa-apa. Ini Chica mau pulang. Katanya enggak enak badan. Terus, Tante bilang aja istirahat di kamar. Jangan pulang dulu."
Dewa tersenyum."Iya, Tante. Chica memang sudah tidak enak badan sejak semalam. Ca, kita ke dokter aja ya."
"Loh, beneran kamu sakit?" Hilda memegang kening Chica.
"Iya, Hilda. Ya sudah aku antar Chica, ya, Tante." Dewa menggenggam tangan Chica dan membawanya pergi. Sementara orang-orang di sana hanya bisa mematung di tempat dengan bingung.
Dewa menarik Chica keluar dengan cepat. Sementara itu Chica masih emosi dengan kejadian antara Maya dan Dewa.
“Lepas, Kak!" Chica menepis tangan Dewa dengan kasar. Matanya terasa panas dan merah. Ia menatap Dewa dengan penuh kemarahan dan kebencian.
Dewa menatap Chica dengan bingung."Kamu kenapa, sayang?"
"Kakak jahat." Chica meneteskan air matanya yang sedari tadi berusaha ia tahan.
Dewa melihat sekeliling dengan panik. Ia membawa Chica ke mobilnya. Di dalam mobil, Dewa langsung memeluk Chica."Sayang..., Kamu kenapa?"
"Sebenarnya Kakak sayang enggak, sih denganku? Atau cuma sebagai pelampiasan kakak aja?" Hati Chica terasa perih. Baru saja ia menyerahkan segala miliknya pada Dewa, tapi sekarang ia harus merasakan sakit hati, lantaran merasa dipermainkan.
Dewa menggeleng."Enggak, sayang. Aku beneran sayang sama kamu. Kenapa tiba-tiba kok jadi begini?"
"Kakak di dalam cuekin aku. Kakak malah ngobrol sama Maya!" ucap Chica kesal.
Dewa tersenyum, ia berusaha mengerti bahwa wanita yang ia sayangi ini tengah cemburu. Itu kabar baik, artinya Chica mencintainya bukan."Ca, kamu sayang sama kakak?”
Chica mengangguk. Ia tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ia juga mencintai Dewa. ia sering memikirkan kakaknya itu saat pertama kali Dewa berusaha mencium dan menyentuhnya pada bagian sensitif. Malam-malamnya diselimuti wajah Dewa, dan ia pernah memimpikan bercinta dengan pria itu."Aku sayang sama kakak. Tapi, kita ini sepupu, Kak."
"Mama kamu adalah sepupu Mamaku. Cukup jauh. Ca, aku sayang sama kamu." Dewa menangkup wajah Chica dan menatap matanya lekat."Kita pacaran, ya? nanti perlahan kita beri tahu pada orangtua kita, tentang hubungan ini."
Chica tersenyum lega."Kita pacaran? Aku dengan kakak? Kita...?”
Dewa mengangguk."Iya, Sayang. Sejak dulu aku panggil kamu sayang, kan? Itu karena sejak lama juga aku sayang sama kamu. Jadi, kamu mau jadi pacar kakak?"
Chica mengangguk yakin dan kemudian berlabuh dalam pelukan Dewa. Meskipun tadi sempat diliputi rasa cemburu, sekarang ia merasa senang karena ia dan Dewa telah resmi berpacaran."Kakak, jangan tinggalin aku.”
Dewa mengangguk lega."Iya, sayang. Maafin yang tadi, ya. Aku dan Maya hanya membicarakan masalah pekerjaan. Jangan marah, karena kakak sayang sekali sama kamu, Ca. Sayang...sekali."
Chica mengangguk.
"Kita enggak usah masuk lagi. Kita ke tempat lain aja, ya, " kata Dewa sambil menyalakan mobilnya.
Chica bersorak senang."Iya, Kak. Di dalam tidak menyenangkan. Tapi, kita kemana, Kak?"
Dewa mengerlingkan matanya. "Ke tempat dimana...hanya ada kamu dan aku."
Chica merinding mendengarkan nada suara lelaki itu. Mobil melaju melewati beberapa tempat yang ramai. Chica membuang pandangannya ke arah jalanan, menikmati pemandangan yang semakin lama semakin indah karena Dewa benar-benar membawanya pergi jauh. Chica merasa lelah karena tadi menghabiskan tenaganya untuk menangi, sekarang ia terlihat menguap dan tertidur pulas. Dewa tersenyum saja saat melihat kekasihnya itu memejamkan mata. Wajah cantiknya membuatnya tak sabar ingin segera sampai ke tujuan.