Dewa menghentikan laju kendaraannya tepat di depan sebuah Villa di salah satu daerah pegunungan. Villa itu bukanlah miliknya, tetapi ia menyewanya khusus untuk mereka berdua malam ini. Usai bicara dengan penjaga villa, Dewa kembali masuk ke dalam mobil dan memasukkannya ke garasi villa tersebut. Chica masih tidur dengan pulas, Dewa membopongnya dan membawa ke kamar. Diletakkannya kekasihnya itu perlahan. Lalu, ia lepaskan sepatu dari kaki mungil Chica.
Dewa berbaring di sebelah Chica, mengusap dan membelai wajah kekasihnya itu dengan penuh cinta. Perlakuan Dewa itu membuat Chica terusik, ia terbangun dan kaget.
"Kak, kok...udah di dalam aja." Chica mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Iya, aku enggak mau bangunin kekasihku yang tidur dengan pulas," kata Dewa sambil mengusap pipi Chica lagi. Menatapnya dengan mesra.
Chica mengalihkan pandangannya dari tatapan Dewa. Ia menatap ke sekeliling kamar, lalu ia mengerutkan keningnya dengan heran."Loh, ini dimana, kak?”
Dewa mengambil wajah Chica agar menatapnya. "Kamu tak perlu tau kita ada dimana, sayang. Yang penting... Di sini hanya ada kita berdua. Aku ingin menikmati waktu bersama kekasihku.”
Wajah Chica merona, ia membuang pandangannya lagi untuk menghindari tatapan Dewa. Dewa kembali meraih wajah Chica, kemudian mengecup bibirnya dengan lembut."Aku sayang kamu."
Mata Chica tampak berbinar, hatinya terasa berbunga-bunga. Baru kali ini ia merasakan cinta di usianya yang sudah dewasa. Keduanya tenggelam dalam dinginnya malam yang menyatu dengan bintang-bintang.
Udara segar masuk melalui celah-celah udara. Mentari sudah menunjukkan dirinya. Tapi, dua insan yang sedang di mabuk cinta itu masih saling berdekapan di tempat tidur. Dewa yang baru saja terbangun tampak sedang menikmati wajah dari kekasihnya. Cantik layaknya boneka Barbie.
"Sayang," bisik Dewa sambil mengusap tubuh mungil itu.
Chica tak menjawab, napasnya terlihat masih teratur, menandakan ia masih nyenyak tidur. Tangan Dewa menelusup ke dalam selimut, mencari-cari titik sensitif Chica. Gundukan daging kenyal di bagian depan menjadi sasaran pertamanya pagi ini. Dengan remasan perlahan dan lembut. Wajahnya ia tenggelamkan ke leher dan menjilatnya. Terdengar suara lenguhan pelan. Kekasihnya itu mulai terusik.
Dewa kembali menenggelamkan wajahnya ke leher chica, menjilat dan menghisap lehernya dengan semakin liar hingga wanita itu terbangun. Matanya mengerjap beberapa kali. Hingga akhirnya ia sadar tangan kekasihnya itu sudah mendarat di payudaranya.
"Apa ini masih malam?"
"Sudah pagi," jawab Dewa dengan tatapan mesra.
Chica menggeliat, tubuhnya terasa begitu lelah. Dewa begitu banyak menguras energinya semalam. Dan pagi ini, mungkin saja lelaki itu akan menguras tenaganya kembali tanpa henti."Kak, aku...lapar sekali."
"Begitu pun aku, sayang." Tangan Dewa menelusup ke bagian kewanitaan Chica.
"Ka...Kak, aku serius," kata Chica gugup. Kini matanya membulat ketika merasakan jari Dewa memainkan pusat intinya.
"Aku sangat lapar, dan...hanya kamu yang membuatku kenyang."
"Kak, aku lapar," rengek Chica.
Dewa terkekeh."Iya, sayang. Kita mandi...habis itu kita makan.”
Chica mengangguk pelan, tubuhnya terasa lemas sekali. Untungnya Dewa bisa mengerti tatapan kekasihnya itu. Dengan sigap, ia membopong Chica ke kamar mandi. Mereka mandi bersama.
Setelah itu, mereka makan di salah satu restoran yang tak jauh dari villa. Saat keduanya sedang berdiam menikmati makanan, ponsel Dewa berbunyi. Keduanya spontan bertatapan.
"Mama," kata Dewa memberi tahu Chica siapa yang menghubunginya.
Chica mengangguk, lalu melanjutkan suapannya. Ia berusaha mendengarkan pembicaraan Dewa.
"Iya, Ma?"
"...."
"Ada... Di sebuah tempat."
"...."
"Sama Chica berdua."
"...."
"Kami baik-baik aja."
"...."
"Iya."
"...."
"Iya, Ma."
"...."
"Iya, setelah ini kami pulang."
"...."
Dewa memutuskan sambungan telepon karena tak lagi terdengar suara Mamanya.
Chica menatap Dewa dengan cemas."Kenapa?"
"Kita disuruh pulang," balas Dewa.
Chica mengangguk."Ya udah...abis ini kita pulang, Kak."
Dewa meletakkan sendoknya, lalu mengusap punggung tangan Chica."Nanti aku mau kasih tau ke Mama masalah hubungan kita."
Chica langsung deg-degan. Perasaannya sulit dideskripsikan. Ada rasa senang sekaligus takut. Seperti sebuah rasa memiliki sekaligus kehilangan."Aku...takut, Kak.”
Dewa tersenyum dengan tenang, berusaha tidak membuat Chica semakin terlihat tegang."Semua akan baik-baik aja, Ca. Asal kita yakin."
Chica terdiam beberapa saat, ia merasa tidak yakin dengan semua ini. Ia merasa akan ada pertentangan dalam hubungan mereka. Apalagi, sepertinya Tante Tania berusaha menjodohkan Dewa dengan Maya. Ini bisa menjadi mimpi indah sekaligus mimpi buruk bagi Chica.
"Sayang," panggil Dewa lembut.
Chica menoleh."Ya?”
Dewa kembali memberikan senyumannya yang begitu menenangkan. "Jangan takut. Semua akan baik-baik aja. Kamu habiskan makanannya, ya. Biar kita siap-siap pulang."
Chica menghela napas panjang. Ia sendiri tak bisa berkata apa-apa lagi, walau ribuan pertanyaan kini memenuhi isi kepalanya. Rasanya saat ini ia harus mengikuti alurnya terlebih dahulu. Segalanya mungkin bisa terjadi. Bisa jadi, semua yang akan terjadi tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan.
Sepanjang perjalanan, Chica terdiam. Dewa pun tak berani mengganggunya, ia tau kekasihnya itu mengkhawatirkan hubungan mereka yang sedang mesra-mesranya. Kini mereka sudah sampai di kediaman orangtua Chica.
Saat masuk, Chica dan Dewa disambut dengan tatapan tajam dari kedua orangtua mereka.
"Duduk!" Kata Tania tanpa basa-basi.
"Ca, kamu darimana aja, sih? Mama khawatir." Vanessa memeluk Chica dengan haru.
"Ka...kami cuma jalan-jalan, Ma," jawab Chica gugup.
"Dewa! Lain kali...kalau mau bawa Chica pergi, kamu pamit sama kita semua. Kalian itu berlawanan jenis, enggak baik pergi berduaan." Tania terlihat marah pada anak satu-satunya itu.
Dewa berdehem."Iya, Ma."
"Ya sudah, kita pulang saja." Tania mengangkat tasnya.
"Ma, jangan pulang dulu, karena ada sesuatu hal penting yang harus Dewa bicarakan." Dewa menahan Tania yang sudah berdiri.
"Ada apa?" Tania duduk kembali. Dari matanya jelas terlihat sangat penasaran apa yang akan dikatakan oleh anaknya itu.
Dewa menoleh sebentar ke arah Chica di sebelahnya. Kemudian pandangannya ke arah Vanessa dan Tania."Ma, Tante...Dewa dan Chica...pacaran."
Hening. Vanessa dan Tania bertukar pandang, mereka tertawa bersamaan.
"Mereka berdua lucu, ya, Van. Kayak kita dulu." Tania terkekeh.
"Kalian ini kenapa? Ini efek...habis nonton film drama Korea punya Chica ya?" Kata Vanessa.
Chica tersenyum kecut ke arah Dewa. Lelaki itu memberikan senyuman khasnya, tanda menenangkan."Dewa serius. Dewa cinta sama Chica dan sekarang...kami pacaran. Dan mungkin...Dewa juga akan menikahi Chica secepatnya."
"Kamu serius, Wa? Jangan becanda sama hal kayak gini. Ini enggak lucu." Wajah Tania begitu gusar. Ia berharap anaknya itu sedang bercanda.
"Ma, Dewa serius," kata Dewa dengan wajah meyakinkan.
Vanessa menatap Chica."Ca? Beneran?"
Chica mengangguk pelan."Iya, Ma. Kami... Saling mencintai."
"Enggak! Ini enggak boleh, Wa...,Ca. Kalian itu saudara." Tania menggeleng-gelengkan kepalanya dengan stress.
"Tapi, kan Mama sama Tante sepupuan, enggak masalah, kan, Ma? Itu diperbolehkan," kata Dewa mencari pembelaan diri.
"Tetap intinya...Kalian itu sepupuan, Dewa. Enggak boleh!" Kata Tania membuat hati Chica tersayat-sayat. Apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. Baru saja ia mimpi indah bersama Dewa, sekarang ia sudah harus merasakan mimpi yang buruk.
"Ma...tolong ngerti, Dewa cinta sama Chica. Sudah lama sekali, Ma," mohon Dewa.
"Kalian enggak bisa memiliki hubungan percintaan. Kalian saudara. Titik!" Tania kembali marah. Berbeda dengan Vanessa yang memilih untuk diam.
"Ma...Dewa bicara baik-baik, agar semuanya bisa dibicarakan. Daripada kami harus diam-diam, kan? Lagipula, Dewa sudah pantas untuk menikah,"kata Dewa lagi.
"Apa kata orang, Wa? Semua orang tau bahwa Mama dan Tante Vanessa kakak beradik. Tapi, kalau pada akhirnya kalian menikah...Ya ampun, semua orang akan membicarakan kita." Tania memegangi kepalanya dengan stress.
"Kak, jangan emosi dulu. Sebaiknya kita pikirkan matang-matang tentang keputusan mereka." Vanessa menyentuh pundak Tania.
Tania mendesah panjang."Vanessa, ini tidak baik. Mereka tidak bisa menikah."
Air mata Chica perlahan mengalir. Ia meremas tangan Dewa. Hatinya terasa sakit sekali. Salahkah ketika mereka jatuh cinta.
Dewa mengusap pundak Chica."Ma, Dewa tetap mencintai Chica...apapun yang terjadi."
"Kamu udah gila!" Teriak Tania.
"Kak, sudahlah, jangan begini. Biarkan mereka berpikir dulu, apakah ini memang jalan yang mereka inginkan.