Bab 6

1110 Words
 Mereka tidak pernah meminta untuk ditakdirkan saling mencintai. Di saat seperti ini, mereka bisa apa, Kak? Tolong tenang dulu." Vanessa berusaha bersikap netral. Sejujurnya ia juga kaget dengan berita ini. Tapi, ia tak ingin langsung menyalahkan keduanya. Ia harus berpikir dan menelaah lebih jauh lagi tentang hubungan Dewa dan Chica. "Keputusanku sudah mutlak, Vanessa! Kalau mereka bukan saudara, ya, silahkan." Tania tetap bersikeras dengan keputusannya. Rahang Dewa mengeras."Nanti aku hubungin, sayang," bisiknya pada Chica. Kemudian, ia pergi dengan cepat. "Dewa!" Tania mengejar Dewa. Tapi, sayangnya langkah pria itu begitu lebar hingga Tania tak sanggup mengejarnya. Hati Chica hancur, apalagi sekarang Tania begitu keras menolak hubungannya dengan Dewa. Chica membiarkan Dewa pergi, ia berlari ke kamar dan menangis sekeras-kerasnya. Ia tak ingin lagi mendengar ucapan kasar dari Tania. ** Kamar Chica sangat gelap, ada secercah cahaya masuk melalui jendela kamar yang belum ditutup sejak siang tadi.Seseorang masuk, menutup jendela, lalu mengendap pelan-pelan. Dilihatnya Chica sedang terbaring lemah. "Sayang," bisik Dewa sambil mengusap-usap pipinya. "Hmm...." Chica membuka matanya yang terasa perih karena terus-terusan menangis. Walau gelap, ia bisa merasakan bahwa pria dalam gelap itu adalah kekasihnya."Kakak...." "Sayang." Dewa memeluk Chica dengan erat. Chica tersentak kaget."Kakak." Air matanya kembali mengalir. "Kita harus tetap bersama, sayang. Aku sayang kamu. Ayo kita pergi dari sini," katanya dengan tiba-tiba. "Kenapa, Kak? Semua, kan masih bisa dibicarakan." Chica masih bisa melihat wajah Dewa karena ada cahaya dari luar memantul ke dalam kamarnya. Dewa menggeleng."Enggak, sayang. Aku tau mamaku seperti apa. Dia tidak akan mengizinkan kita bersama. Mama mau menjodohkan dengan Maya." "Tapi, Kak...." Chica terisak. "Ssshh...jangan nangis, sayang. Kita hadapi bersama, ya. Kamu percaya sama kakak, kan?" Dewa menangkup wajah Chica. "Gimana sama Mama aku, Kak?" Tanya Chica takut. "Kita bisa telpon Tante Vanessa nanti kalau kita sudah pergi dari sana. Pokoknya, dengarkan kakak, ya. Sekarang...kita harus pergi dari sini. Sekarang, Ca," kata Dewa khawatir sebentar lagi Mamanya akan datang ke sini. "Aku ambil tasku dulu, Kak. Di sana ada beberapa bajuku sisa liburan kemarin." Chica pergi ke lemarinya, mengambil sebuah tas yang belum ia bongkar. Pakaian itu cukup untuk beberapa hari. "Ayo!" Dewa meraih tas dalam genggaman Chica. Dengan hati-hati, Dewa menurunkan Chica. Mereka langsung berlari keluar gerbang. Mobil Dewa ada di blok sebelah. Ia sengaja meletakkannya di sana agar tidak ketahuan. Keberuntungan sedang ada di pihak mereka. Kini, mereka kabur dengan begitu mudah. Napas Chica tersengal-sengal, karena berjalan kaki cukup jauh. Sekarang, ia bisa bernapas lega saat sudah masuk ke dalam mobil. "Kita kemana, Kak?" Tanya Chica. Ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Baru kali ini ia begitu nekad, kabur dari rumah karena cinta mereka tak direstui. Tapi, ada sedikit pertanyaan di benaknya. Kenapa ia harus kabur, sementara Mamanya sendiri tidak menentang. Tapi, melihat kepanikan Dewa ia tak berani bertanya lebih jauh. Yang terpenting adalah sekarang mereka harus pergi. "Kita ke tempat, dimana Mama aku enggak akan tau, sayang." Dewa melajukan mobilnya. Melewati jalan-jalan yang tak biasa ia lalui. "Kak, sebenarnya ada apa, sih. Kenapa kakak panik begini?" Tanya Chica setelah mereka sudah cukup jauh. Sudah keluar dari kota ini. "Mama marah besar, sayang. Dia mulai mengeluarkan ancaman-ancaman yang membahayakan kamu. Aku enggak mau kamu dihina lagi. Mamaku sudah seperti orang gila." Dewa kembali fokus menyetir. "Kenapa Tante seperti tidak menyukaiku, Kak. Padahal Tante Tania begitu sayang sama aku." Air mata Chica kembali menetes. "Sudah, sayang. Jangan kamu pikirkan, ya. Sekarang kita tenang dulu. Habis itu kalau sudah sampai di sana, kita cari jalan keluar." Tangan kiri Dewa mengusap puncak kepala Chica. "Iya, Kak." Chica berusaha untuk mengerti ini. Lagipula mereka sedang di jalan. Tidak baik mengobrol terlalu lama apalagi dengan topik yang serius. Dewa menatap lurus ke depan, memerhatikan jalanan yang tidak macet namun padat kendaraan. Pikirannya kembali terusik oleh kejadian beberapa jam yang lalu. Perdebatannya dengan Tania. "Dewa! Kamu mau bikin malu Mama? Kamu putusin itu Chica, dan kembali ke Kalimantan sana," kata Tania saat mereka tiba di rumah. "Ma, apa yang salah dari hubungan kami? Kami sama-sama sudah dewasa, saling mencintai, dan kita enggak ada hubungan darah kandung, Ma. Yang sepupuan itu Mama bukan Papa. Jadi, masih diperbolehkan," balas Dewa. Tania menggeleng kuat. Ia tetap tidak mau hubungan itu terjadi."Apa kata orang, Dewa?" "Mama lebih mentingin omongan orang daripada kebahagiaan anak Mama sendiri? Dan Chica itu juga masih keponakan Mama. Bukan siapa-siapa, Ma. Keluarganya sudah jelas, kan?" Dewa mulai hilang kesabaran menghadapi Mamanya yang keras kepala. "Mama tetap tidak mau. Kalau kamu masih berani meneruskan hubungan kalian, Mama akan putus tali persaudaraan dengan Vanessa." Tania sudah seperti orang tak memiliki perasaan. Ia sudah dibutakan oleh harta yang ditawarkan oleh keluarga Maya. Dewa tertawa lirih."Ma, apa yang membuat Mama menolak ini selain karena saudara? Kalau hanya itu alasan satu-satunya, mari kita tanyakan sama Ustad atau sama ulama sekalian apakah hubungan ini diperbolehkan atau tidak." "Kamu tetap mau melanjutkan, Wa? Kamu mau melawan Mama?" Tania mendekati Dewa dengan mata merah menyala. "Aku cinta sama Chica. Jadi, aku akan perjuangkan cinta kami. Apa yang salah, Ma? Kami tidak pernah meminta ditakdirkan untuk saling jatuh cinta. Kami juga tidak bisa menentukan apakah kami harus jatuh cinta atau tidak!" Kata Dewa dengan lantang. "Dewa, Chica itu masih kecil. Wisuda aja belum. Dia anak manja, enggak bisa masak, enggak bisa cari duit. Apa yang kamu banggakan dari dia? Cantiknya?" tanya Tania dengan nada sinis. "Mama? Chica itu, kan Keponakan Mama. Tega sekali Mama bilang begitu. Mama sayang sama dia, kan?" Tanya Dewa tak percaya. Mamanya benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak lagi mengenal seorang Artania Wijaya. "Sekarang, ia bukan lagi keponakanku. Bukan lagi bagian dari keluargaku!" Tania melangkah meninggalkan Dewa. "Apa karena Mama ingin menjodohkanku dengan Maya?" Tanya Dewa membuat langkah Tania terhenti. Tania tertawa."Ya itu benar. Maya lebih baik dari Chica, Dewa. Sangat jauh perbedaan mereka." "Mereka berdua tidak bisa dibandingkan, Ma. Maaf, Ma...Dewa tetap pilih Chica." Dewa tak lagi ingin meneruskan perdebatannya dengan sang Mama. "Kita lihat saja nanti apa yang terjadi kalau kamu masih mencoba mebjalin hubungan dengan Chica," kata Tania lagi. Kali ini ia terlihat serius dengan ucapannya. "Kakak! Kakak!" Chica mengguncangkan tubuh Dewa yang melamun sedari tadi."Kakak, ada mobil di depan!" Dewa langsung sadar dari lamunannya. Sebuah truk besar dari arah berlawanan yang mencoba menyalip mobil di depannya melaju kencang. Dewa membanting setirnya ke kiri menghindari truk yang sepertinya sudah kehilangan kendali. "Kakak, aku takut, Kak!" teriak Chica saat mobil Dewa melaju dengan kencang ke arah pembatas jalan. Dewa berusaha menginjak rem. Bagian depan menabrak pembatas jalan begitu kencang hingga mobil mereka melompat ke bawah. Mobil yang mereka tumpangi berguling berkali kali. Kepala Chica terasa pusing, mual, pandangannya mulai kabur. Yang terakhir kali ia ingat adalah Dewa menggenggam tangannya saat mereka sudah benar-benar jatuh di bagian dasar jurang. Kemudian, semuanya menjadi gelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD