Negosiasi Luna Dan Daffa

1127 Words
Mengintai dengan mata yang menatap tajam seperti mata elang. Tak disangka Daffa bisa garang sekali dengan mata seperti itu, seperti bukan Daffa saja rasanya. Mungkin karena dirinya saat ini sedang mode serius mencermati Luna untuk diamankan. Bersembunyi di dinding yang sedikit gelap, ada di sisi kanan dari lorong yang sedang dilewati Luna dan kedua temannya. Tempat yang tepat untuk meraih Luna dan menyembunyikannya sebentar di sudut sekolah yang tersembunyi. Jauh dari jangkauan orang yang kemungkinan bisa lewat. Luna tidak mengetahui kalau akan ada Daffa yang siap-siap akan menculiknya. Karena yang dia pikir sekarang, hanya ingin pulang dan istirahat. Dia pun masih asyik berjalan tanpa curiga apa-apa. Kebetulan lagi, dirinya berjalan di baris belakang kedua temannya. "Jadi, minggu besok jadwal sedang kosong. Kita mau fokus bantuin kamu bikin konten aja!" ucap Tobi sambil melempar kunci mobilnya ke atas dan ditangkap lagi, seolah sedang digunakan untuk mainan. Sedangkan Rena sibuk bermain ponsel, tapi telinganya tetap mendengar Tobi bicara. "Aku sih selalu kosong kalau minggu, lagian temanku juga cuma kalian doang!" Tiba-tiba, saat itu tangan Luna ditarik keras oleh Daffa dengan cepat. Hingga Luna sudah tidak bisa menghindari, apalagi kabur. Juga terpaksa ikut saja dengan Daffa membawa dirinya yang ditarik begitu saja. "Daffa, kamu mau apa?" tanya Luna. Ia melihat Daffa menyeret tangannya sambil diajak berjalan cepat menuju ke sudut yang lebih gelap. Luna jadi cemas dan berpikir kotor. "Kamu mau apa sih?" "Aku cuma mau ngomong serius sama kamu!" jawab Daffa dengan nada sama berbisiknya dan masih terus saja menyeret tangan Luna. "Emang mau ngomong apa sih. Nggak ada yang perlu diomongin deh kayaknya!" ucap Luna sambil berupaya melepas tangan Daffa yang memegangi pergelangan tangannya dengan cukup kuat. Daffa tidak mau kehilangan Luna. Ia pun segera meraih tangan Luna yang terlanjur akan kabur dan kemudian menyeret lagi. Meletakkan tubuh Luna dihadapannya yang kebetulan ada dinding untuk membuat gadis itu tidak bergerak. Luna terkurung disana diantara dua lengan panjang Daffa yang menempel di dinding. "Ada yang perlu dibicarakan!" Daffa menatap ke wajah Luna yang tidak mau melihatnya. Terlihat Luna memperhatikan dua tangan yang membentuk seperti garis pengaman polisi yang tidak bisa dilewati. Ia merasa ini keadaan yang salah. Tapi, lagi-lagi Luna malah membayangkan adegan dalam drama yang sering dilihat. Saat seperti ini akan ada dua pasang mata yang saling bertatapan. Lalu lama-lama mata itu semakin dekat dan tidak ada jarak. Hingga membuat bibir milik dua orang yang berbeda bisa saling bersentuhan. Halusinasi itu membuat Luna menjerit dan Daffa langsung membekap mulutnya. "Hey, aku cuma mau bicara. Kenapa kamu malah jerit, aku nggak akan macam-macam sama kamu. Atau jangan-jangan kamu mau aku macam-macamin ya?" tanya Daffa dibarengi dengan semakin mendekatkan wajahnya pada Luna. Ujung hidungnya sudah hampir menyentuh ujung hidung milik Luna. Hingga membuat Luna menggeleng cepat. Agar halusinasi Luna tidak jadi kenyataan. "Kalau begitu, jangan menjerit. Kalau kamu menjerit ya terpaksa. Aku akan cium kamu beneran, biar kamu diam!" ancam Daffa lagi. Luna langsung menarik tangan Daffa yang membekapnya agar bisa bicara. "Aku nggak akan jerit. Lagian kamu mau bicara apa sih. Cepetan deh! Kita ngobrol mojok kayak gini, udah kayak mau ngapain aja. Ntar kalau ada guru, atau satpam sekolah lewat gimana." Daffa lalu menyentil sayang kening Luna. "Jadi, emang kayaknya kamu yang pikirannya perlu dicuci pakai detergen biar bersih. Aku nggak akan ngapa-ngapain tau. Aku cuma mau tanya sama kamu. Apa bener kamu nggak akan mau berteman sama aku lagi, dan malah suruh aku berteman sama sodara tiri kamu itu!" Mendengar itu, Luna terpaksa menatap Daffa hingga membuat sepasang matanya mengerjap berkali-kali. Sungguh sebuah racun wajah Daffa yang tampak bersih dan tidak ada bekas jerawat sedikit pun itu. Ia menghela nafas, lalu menggigit bibir bawah yang sejak lagi bingung harus bilang apa. "Iya, aku mau kamu berteman saja sama Mellya." "Kenapa?" tanya Daffa. "Soalnya, aku mau hidupku tenang, dia terus aja gangguin aku kalau kita masih berhubungan. Yang tadi pagi pas aku dihukum, itu juga karena dia yang ambil buku PR ku. Jadinya aku kena hukuman dari guru, dan nggak cuma itu. Dia juga bikin suasana rumah jadi panas karena kesal sama aku yang berteman sama kamu. Intinya lebih baik kita nggak usah!" ucap Luna yang sebetulnya tidak mau juga untuk tidak berteman dengan Daffa. Lidahnya tiba-tiba keluh mengatakan itu. Karena baginya laki-laki itu baik. Daffa selalu ada untuknya setiap saat seperti kemarin-kemarin sewaktu Luna kesulitan. Daffa juga lucu, supel, tidak sombong meski seorang konten creator, juga dancer. Lalu dia juga ganteng. Poin paling menonjol dari Daffa Anggara yang bukan rahasia umum lagi. "Kenapa nggak dilanjut? Nggak usah apa emangnya?" Luna menunduk, ia memutuskan untuk bicara sambil menatap sepasang sepatu Daffa saja. "Nggak usah berteman." "Kalau nggak boleh berteman, gimana kalau pacaran?" "Aku bilang nggak boleh berteman. Itu artinya hubungan lainnya juga nggak boleh. Aku cuma mau hidupku tenang tanpa diganggu Mellya, masak kamu nggak paham sih! Seluruh orang sekolah aja paham dan juga udah tau kalau aku ini bukan saudara yang diakui sama dia. " Luna mulai kesal hingga membuat cara bicaranya sedikit berteriak. "Udah aku mau pulang sekarang." "Luna tunggu!" Daffa mengangkat lengannya lagi untuk membuntu jalan Luna pergi. "Jadi, aku harus berteman sama Mellya biar hidup kamu jadi tenang. Apa itu mau kamu?" Tanya Daffa dengan wajah yang lesu. Entah mengapa perkataan Luna barusan begitu menyakiti hatinya. "Iya!" Jawab Luna. "Kalau itu mau kamu, dan supaya hidup kamu jadi tenang. Aku akan berteman sama Mellya. Satu hal yang harus kamu ngerti. Aku lakukan itu demi kamu!" Hati Luna seakan diterpa tsunami pantai yang seketika meluluhlantakkan tatahan perasaannya yang memang ingin bahagia. Tapi, mungkin ini yang terbaik saat ini. Luna lalu menghela nafas. "Lakukan saja, apa yang kamu mau!" Kakinya mulai berjalan dengan keyakinan yang belum penuh. Tapi, hatinya berusaha yakin kalau ini saat yang tepat untuk memutuskan hubungan. Ia pun memutuskan untuk berlari saja. Lari secepatnya, lari dari Daffa dan mungkin juga lari dari kenyataan pahit. Sampai di depan gerbang sekolah, Luna melempar seluruh pandangannya ke arah sepanjang jalan depan sekolah. Ia sedang mencari keberadaan mobil papanya yang mungkin masih menunggu untuk menjemput pulang. "Itu dia!" Luna lekas berlari ke arah mobil sang papa. Lalu masuk dan seketika disambut mata melotot dari Mellya. Namun, itu hanya ekspresi yang ditunjukkan pada Luna seorang, sedangkan bibir Mellya dengan lemah gemulai akan mengatakan hal manis seperti rayuan maut sepasang kekasih yang lagi kasmaran. "Luna, kok baru muncul? Emang kenapa? Apa ada masalah? Kok lama banget sih, bikin cemas aja!" ucap Mellya yang menyenangkan untuk didengar. Berbanding terbalik sekali dengan sorot matanya yang bagai musuh di medan perang. "Ah, iya. Perutku sakit. Jadi mampir toilet dulu! Maaf ya,udah bikin cemas. Aku juga nggak kepikiran buat kirim pesan," jawab Luna sambil duduk dengan tenang. "Ya udah, kita balik sekarang ya kalau begitu!" Ajak pak Ferdi. Mobilpun meluncur, ikut serta dalam keramaian jalanan yang memang masih penuh dengan kendaraan roda empat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD