Mengejar Luna

1039 Words
Mama Anya sedang menunggu kedatangan Daffa, hingga akhirnya yang ditunggu-tunggu itu datang dan masuk ke ruang tamu, tempat mama Anya menunggu. "Gimana Daff? Apa kamu lihat Luna. Kok lemes sih. Ayo dong besti, jangan lemes-lemes begitu!" ucap Mama Anya. "Emang kenapa sih, kok Luna tiba-tiba pergi gitu aja? Bukannya kalian berdua lagi cari buku. Emang bukunya udah ketemu?" Daffa belum siap menjawab semua pertanyaan dari mama Anya. Ia pun duduk dengan lemas di sofa. Duduk tepat di samping mamanya. Bersandar kepalanya yang mulai tidak berdaya di pundak sang mama. "Nggak tahu, tiba-tiba aja dia bilang harus cepat pulang." "Terus kamu nggak tanyain dia?" "Aku kan lagi sibuk cari bukunya. Jadi, mana sempat tanya Ma!" Daffa lalu menegakkan tubuhnya dan meraih kue di atas meja. Mama Anya melihat Daffa dengan lahap menikmati kuenya. Kue coklat yang sangat lezat dan cocok untuk suasana hati Daffa saat ini. "Kamu ih, itu tadi buat Luna lho sebenarnya! Kamu kan tiap hari udah makan!" ucap Mama Anya. Daffa tidak peduli dan hanya mau fokus makan kue saja. Kalau bisa kue itu dihabiskan semua. Ia merasa apa yang di mulut sama manisnya dengan apa yang dirasa di dalam hatinya. Usai kejadian di kamar tadi, Daffa serasa tidak bisa lupa. Bayangan wajah Luna yang begitu dekat. Bahkan ada yang menempel, tersentuh tanpa ada penghalang. Membiarkan seperti ada sensasi sengatan yang awalnya hanya dari bibir, lalu menjalar ke seluruh inci bagian tubuh yang bisa merasa. Daffa ingat segalanya dengan detail, membuat dirinya memainkan lidah sambil memakan kuenya. Menghilangkan sisa butter cream coklat di sisi ujung bibir dengan lidahnya. Mungkin menurutnya ada bekas sentuhan Luna juga disana. "Hey, Daffa, kamu ini kenapa makan kue aja kok rasanya senang sekali. Kue Mama terlalu enak ya, ya mau gimana lagi. Mama emang pinter bikin kue." Daffa hanya tersenyum kecil. Tatapan matanya beradu dengan netra mama Anya. Sama-sama merasa senang dan sama-sama berada di atas langit karena bahagia sebab keadaan yang tercipta saat ini. Daffa mencium pipi mamanya, saking senang karena bisa bersama dengan Luna sore ini. Ia jadi menghalu, kalau yang sedang dicium pipinya itu adalah Luna. Mama Anya pun membalas dengan pelukan. Ia memeluk anaknya karena senang kue dibilang enak. Sementara itu, seorang gadis yang masih berusaha lari. Lari secepatnya dari rumah Daffa. Membiarkan aspal yang panjang dilalui dengan begitu cepat. Pikirannya hanya ingin pergi, pergi dari hadapan Daffa. Menghilang mungkin kalau bisa. Karena rasanya malu sekali. Ada adegan yang sering dilihat di drama, malah terjadi sungguhan di dunianya "Hah …!" tersengal-sengal nafas Luna usai lari. Kakinya yang sudah merasa begitu lelah, akhirnya berhenti. Ia mulai berjalan pelan. Menepi dan mulai cari tempat untuk duduk. Menoleh ke belakang, ia yakin posisinya sekarang pasti sudah jauh dari jangkauan Daffa. Tampaknya ia sudah bisa bernafas lega. 'Ya Allah, kenapa ada kejadian begitu sih. Aku kan cuma mau dapatkan buku doang. Malah jadi gagal lagi. Udah jauh-jauh datang kesini. Nggak dapat apa, malah bibirku kena tabrak lari. Hah, ngeselin!!!' batin Luna sambil bersandar di bahu jalan. Menatap ke sekitar aspal yang mungkin dilalui kendaraan umum. Setelah menunggu cukup lama, ternyata tidak ada satupun taksi yang lewat. Luna mulai kehabisan cara untuk pulang. Ditambah lagi ponselnya sudah mati alias kehabisan batre. "Ah, kenapa aku malah jadi musafir gini. Masak aku harus pulang jalan kaki, mana enggak tau arah sama sekali." Luna menoleh ke kanan dan kiri. Memperhatikan sekeliling, tapi benar-benar tidak tahu sedang berada dimana. Luna memutuskan untuk berjalan kaki. Menelusuri jalan yang asing dan belum menemukan sesosok pun yang bisa ditanyai. "Mana udah sore banget lagi!" ucap Luna melihat langit yang sudah menunjukkan warna jingga. Ia hampir putus asa, merasakan lelah, lapar dan haus jadi satu. Belum juga rasa kesal yang semakin menjadi. Sungguh hari yang paling mengenaskan sepanjang hidup Luna. Bersamaan dengan itu, sebuah motor sport melaju cukup perlahan dan mungkin terkesan santai. Penggunaan terlihat mencermati Luna yang sudah berjalan menyusuri trotoar kecil. 'Kok kayak pernah lihat!" Gumam si pengguna motor sport tadi. Ia lalu melambatkan laju kendaraan. Menepi dan menghentikan lajunya. Mesin mati dan menatap lebih membidik. "Luna, kok kamu bisa ada disini?" tanya Farrel. Ternyata seseorang yang menggunakan motor sport itu adalah Farrel, teman sekelas Luna di SMA Pelita. Pria itu kemudian melepas helmnya. Agar Luna mengetahui siapa yang sedang menyapa dirinya sore ini. Luna agak terkejut dan memandang tidak percaya. Ternyata dibalik helm itu adalah Farrel. "Aku, aku abis dari rumah sodara!" jawab Luna berbohong. Ia sempat memejamkan mata untuk sejenak melepas kebingungan dari hatinya. 'Jangan sampai Farrel tau kalau aku abis dari rumahnya Daffa,' batin Luna. Farrel mulai memarkir motor dan turun. Berjalan perlahan mendekat ke arah Luna. "Terus, kenapa kamu jalan kaki? Kenapa pulangnya nggak dianterin sama saudara kamu. Sendirian lagi!" Mendengar itu, Luna jadi semakin bingung. Sejak awal sudah berbohong, maka selanjutnya akan berbohong untuk menutup kebohongan lainnya. Luna harus berpikir keras. "Iya, tadi dianterin. Tapi, tiba-tiba mobilnya mogok dan akun tinggal aja. Padahal aku kira bisa nemu taksi. Eh malah nggak nemu-nemu. Parahnya lagi, hapeku kehabisan batre!" ucap Luna. Ia mencoba untuk memberikan alasan yang masuk akal. Farrel mengangguk-angguk seakan paham dengan keadaan yang dialami oleh Luna. "Kalau begitu, gimana kalau aku anterin pulang, soalnya disini itu sulit dapat taksi." "Apa!" Luna merasa bingung sesaat. Akan tetapi, bukannya tawaran Farrel lebih baik daripada harus berjalan kaki. Ditambah dirinya tidak tahu arah sama sekali. "Iya, jadi disini itu sulit dapat taksi. Jadi, gimana? Mau aku anterin nggak?" "Ya udah deh! Aku juga udah kesorean ini kayaknya," jawab Luna pasrah. Farrel pun tersenyum dan bergerak naik ke motornya. Memasang helm dan bersiap menunggu Luna naik ke motornya. Akan tetapi, sudah ditunggu beberapa saat. Belum ada pergerakan dari motornya yang sudah dinaiki Luna. "Lho, kok belum naik sih Lun. Ada apa?" tanya Farrel sambil menoleh ke belakang dan menatap Luna. "Aku kan nggak bawa helm!" jawab Luna . "Oh kalau itu, gampang! Pokoknya kamu naik aja dulu!" Luna ragu, tapi dirinya sudah tidak memiliki pilihan. Ia pun naik dengan perasaan tidak nyaman. "Pegangan Luna. Soalnya kita bakal lewat jalan tikus. Kan kamu nggak bawa helm. Biasanya jalan tikus itu banyak polisi tidurnya." "Apa! Kalau begitu bawa motornya pelan-pelan." "Bisa nggak cepet sampe dong!" Farrel lalu menyalakan mesin dan langsung melaju. "Ya ampun!" Luna kaget dan langsung berpegangan pada pinggang Farrel. Ia terkejut sampai-sampai harus berpegang sangat kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD