Love Is Sinta Bab 4 - SAH

1425 Words
Sinta sudah siap dengan gaun pernikahannya yang cantik dan indah. Gaun yang membingkai tubuh Sinta hingga terlihat sempuran sekali. Sinta masih saja kesal dengan eyangnya yang memaksa dia menikah dengan Agus. Laki-laki yang menurut Sinta tidak jelas asal usulnya. Sinta masih saja mondar-mandir bak berjalan di atas Catwalk. Hingga kedua temannya pusing melihat Sinta yang tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir. “Kau kira ini sedang di atas Catwalk, Sin? Mondar-mandir dari tadi. Aku pusing sekali melihat kamu seperti itu!” ucap Devi yang sudah pusing sekali melihat sahabatnya macam komedi putar. “Diam, kamu Dev!” tukas Sinta dan duduk di samping temannya. “Lagian nih, mau nikah bukannya bahagia malah seperti itu, mondar-mandir, iya aku tahu kamu sudah tidak tahan sama ketampanan Agus, kan?” imbuh Manda. “Sialan lo! Ingat ya, gue gak bakalan memberi kesempatan dia menyentuh tubuh gue. Tidak akan! Persetan dengan pernikahan laknat ini!” geram Sinta. “Pakai acara loe, gue, nih sekarang? Kerasukan setan apa kamu, Sin? Mau nikah sama Agus jadi seperti ini?” ucap Manda. “Diem lo! Gue gak mau pernikahan Laknat ini terjadi!” seru Sinta di depam wajah Manda. “Eits...! jangan seperti itu beib, dia lebih dari segalanya, bahkan Rangga kalah jauh. Aku sih mau di jodohin sama Mas Agus, daripada sama Rangga yang enggak jelas hidupnya. Foya-foya mulu kerjaannya,” ujar Devi. “Betul, banget! Sudahlah, lupakan Rangga, pilihan eyang kamu itu yang terbaik, Sinta,” imbuh Manda. “Sudah kalian, Diam! Malah memperumit suasana saja!” tukas Sinta. Sinta hanya diam, tidak memperdulikan keduanya yang ribut membicarakan ketampanan Agus. Sinta sedang memikirkan bagaimana caranya untuk kabur dari rumah, meninggalkan pernikahan yang bagi dirinya adalah malapetaka. Sinta berjalan mendekati ke jendela kamarnya. Dia memandang ke depan untuk melihat situasi di depan. “Sial! Ketat banget di luar, sampai ada polisi segala, ini Eyang mau menikahkan aku dengan kacung saja, seperti mau menikahkan aku dengan sultan!” umpat Sinta dalam hatinya dengan perasaan kesal. Eyang Hadi sengaja rumahnya di jaga ketat oleh polisi dan persatuan keamanan lainnya. Itu semua untuk menghindari Rangga yang tidak terima dengan pernikahan Sinta dengan Agus. Eyang Hadi tahu, kalau Rangga tidak mencintai Sinta, dan hanya ingin mengusai harta Sinta. Setiap Sinta menjalin hubungan dengan pria siapapun, Eyang Hadi pasti menyuruh anak buahnya mengintai keluarga kekasih Sinta. Berasal dari mana, asal usulnya seperti apa, bebet, bibit, bobotnya seperti apa, dan kehidupan keluarganya seperti apa. Semua Eyang Hadi lakukan demi kebaikan Sinta. Cucu semata wayangnya. Begitu juga dengan Agus. Eyang Hadi sudah lama menyuruh anak buahnya untuk mencari tahu bagaimana keluarga Agus. Berasal dari keluarga seperti apa, dan lain sebagainya. Semua yang mengenai Agus, Eyang Hadi sudah tahu semuanya. Dan, beliau semakin yakin kalau Agus adalah laki-laki yang tepat untuk Sinta, cucu semata wayangnya. Sinta masih memandang ke luar jendela kamarnya. Dia melihat rombongan mempelai pria yang baru datang. Agus terlihat sangat rapi dan tampan menggunakan jas pengantinnya. Sinta memerhatikan Agus dengan rombongannya berjalan masuk ke dalam. “Mau kamu setampan apapun, aku tidak akan pernah merelakan kamu menyentuhku setelah kita sah menjadi suami istri. Dan, aku pastikan kamu akan menderita hidup denganku, Agus!” gumam Sinta dengan mengepalkan telapak tangannya. Eyang Hadi masuk ke dalam kamar Sinta untuk memanggil Sinta kalau mempelai pria dan penghulu sudah menunggu di depan. “Sinta, itu penghulu sama calon suamimu sudah datang, ayo keluar,” panggil Eyang Hadi dan mengajak Sinta keluar. “Iya, Eyang,” jawab Sinta dengan lirih dan penuh rasa kecewa. “Ini semua Eyang lakukan hanya untuk kamu, Nak. Cucu satu-satunya Eyang, pewaris tunggal semua harta milik Eyang. Jadi, kamu harus menikah dengan laki-laki yang tidak sembarangan. Hanya Agus yang pantas mendampingimu. Percaya dengan Eyang, suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa Eyang melakukan ini, Sinta, dan kamu pun akan tahu siapa Rangga sebenarnya,” jelas Eyang Hadi dengan mengusap kepala cucu kesayangannya. Dan, Sinta tidak menghiraukan apa yang eyangnya bicarakan tadi. Sinta keluar dari kamarnya digandeng eyangnya. Sinta semakin tidak mengerti, kenapa eyangnya  bisa seperti itu. Sebentar lagi, dia akan menjadi seorang istri dari Agus, orang kepercayaan eyangnya di perusahaan eyangnya. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Rangga akan berakhir dalam hitungan menit lagi di hari ini. Agus melihat Sinta yang berjalan menuju ke tempat untuk mengikrarkan ijab qobul. Meja dan kursi yang di hiasi serba putih, di dalam ruang keluarga sudah tertata rapi dari semalam, dan siap di pakai mereka untuk melaksanakan ijab qobul pagi ini. Agus sudah duduk di depan penghulu, dan Sinta duduk di samping Agus. Semua saksi juga sudah berkumpul untuk menyaksikan ijab qobul. Agus memandangi Sinta, Sinta terlihat sangat cantik sekali, meski raut wajahnya terlihat sangat tidak bahagia. Agus tahu, kalau Sinta melakukan ini dengan sangat terpaksa. Agus pun sama. Namun, yang membuat Agus maju dan siap untuk menikahi Sinta, karena dirinya sudah menjatuhkan hatinya pada Sinta. Cinta pada pandangan pertamanya di lokasi proyek. Entah ini suatu kebetulan saja, atau ini semua memang cara Tuhan mendekatkan  Sinta pada Agus, Agus hanya bisa pasrah, dan harus bisa mengemban amanah dari Eyang Hadi. “Ehem... Pak Agus, jangan dilihat terus calon istrinya, nanti seusai ini juga bisa puas-puasin mandangin istrinya,” ucap Penghulu yang melihat Agus dari tadi membingkai wajah Sinta dengan tatapan lembutnya. “Ah... iya, Pak, maaf. Habis calon istriku sangat cantik sekali, aku jadi ingin memandanginya terus,” jawab Agus dengan gugup. “Ya, sudah kita bisa mulai ijab qobulnya, Pak Agus?” tanya Penghulu tersebut. “Iya, Pak,” jawab Agus dengan tegas. Ijab qobul pun di mulai. Suara Sah dari para saksi pun terdengar seusai Agus mengucapkan ijab qobul di depan para penghulu dan saksinya. “Alhamdulullah, prosesi ijab qobul bejalan dengan lancar. Silakan, mempelai wanita, cium tangan suaminya,” ucap Penghulu. Sinta mencium tangan Agus, dan Agus mencium kening Sinta di hadapan semua orang yang menyaksikan perniakahannya. Agus menyematkan cincin kawin di jari manis Sinta dan kembali mengecup kening Sinta. Begitu juga sebaliknya, Sinta menyematkan cincin kawin di jari manis Agus, dan mencium tangan Agus. Eyang Hadi merasa sangat lega sekali, cucunya sudah menikah dengan Agus, laki-laki pilihannya yang terbaik di antara semua kandidat untuk calon suami Sinta. ^^^ Pesta pernikahan yang meriah sudah berlangsung dengan lancar, tanpa gangguan dari mana pun. Sinta dan Agus sudah berada di kamar pengantinnya. Kamar yang sangat indah dan cantik. Semerbak wangi bunga melati dan cempaka khas kamar pengantin tercium lembut di indera penciuman Agus. Agus melepas jasnya dan menaruh di gantungan baju samping meja rias Sinta. “Jangan lepas baju di depan aku!” hardik Sinta. “Bisa turunin suaranya kalau sedang berbicara? Jangan buat suami kamu jantungan, Sinta. Cantik-cantik kok galak,” ucap Agus. “Memang kenapa aku ganti baju di depan kamu? Telanjang di depan kamu saja sah-sah saja, kok,” ucap Agus. “Ih... apaan sih! Sana ganti di kamar mandi!” perintah Sinta dengan kasar. “Enggak di sini saja,” ucap Agua. “Agus...! apaan, sih! Yang benar, dong!” teriak Sinta saat Agus membuka kemejanya di depan Sinta dan mengambil kaos di kopernya. “Agus? Aku suami kamu, dan aku lebih tua dari kamu, Nona cantik,” ucap Agus dengan tersenyum dan mendekati Sinta. Agus mendekatkan wajahnya ke wajah Sinta. “Apaan, sih!” Sinta memukul d**a Agus dengan kasar. “Sakit, Sinta! Kamu tega sama suamimu,” ucap Agus. “Bodo amat!” tukas Sinta dengan berjalan ke kamar mandi dan membawa baju ganti. Agus hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat Sinta yang arogan seperti anak kecil. “Ya maklum, dia memang masih kecil, nanti juga tahu. Ini tugas kamu untuk merubah Sinta menjadi lebih baik, Agus. Dan, kamu punya amanah yang sangat besar untuk menjaga dan mendidik istrimu agar jauh lebih baik lagi, sebelum dikenalkan ibu, adikmu, dan keluarga kamu,” gumam Agus sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Sinta keluar dari kamar mandi dengan memakai dress lengan pedek yang agak longgar. Dia duduk di tepi ranjang sambil melihat suaminya yang sedang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Sudah ambil air wudhu, Sin?” tanya Agus. “Untuk apa?” tanya Sinta. “Sholat Asar, Sinta. Ini sudah mau jam lima sore,” jawab Agus. “Lagi dapet!” jawab Sinta dengan merebahkan tubuhnya dan menarik selimut. “Jam segini tidak sehat untuk tidur,” tutur Agus. “Aku lelah! Jangan berisik, Agus!” jawab Sinta dengan menaikan selimutnya hingga menutupi semua tubuhnya. Agus mengembuskan napasnya denga kasar. Dia langsung masuk kamar mandi, membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk Sholat Asar. Dia tidak peduli istrinya tidur. Mungkin sekarang belum tepat untuk mengatur Sinta lebih ketat lagi, jadi Agus membiarkan apa yang Sinta lakukan sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD