BAB 2

1321 Words
Aku terlambat datang ke kantor mengingat semalam A'Muda tiba-tiba saja menghubungi dan meminta untuk melakukan revisi pekerjaanku minggu lalu yang mana baru sempat dia baca kemarin. Karena hal inilah aku harus begadang semalaman dan baru bisa tidur setelah azan subuh tadi. Dengan wajah yang masih terlihat mengantuk dan lelah, aku berjalan menuju ke kubikel milikku. Mbak Maura yang melihatku seperti zombie langsung datang menghampiri sambil membawa kue kreasi miliknya. Jika harus jujur sebenarnya baik aku dan Mbak Maura sangat buruk dalam hal urusan dapur. Namun Mbak Maura berbeda denganku, dia masih terus berusaha meskipun selalu gagal sedangkan diriku lebih memilih menyerah dan membeli kue atau makanan di luar. "Tidur jam berapa elo semalam? Itu muka makin jelek saja." ledeknya sambil memberikan kotak makan bergambar tayo yang aku yakini jika itu adalah milik si kembar. "Habis subuh gw baru bisa tidur. Kejam banget sumpah A'Muda." kesalku sambil memberikan sebuah papperbag dari toko pakaian ternama. "Nih buat Darren mbak." "Jangan bilang elo kesemsem lagi sama anak gw. Ogah banget gw punya menantu kaya elo." ucapnya sambil tetap mengambil papperbag tersebut dari tanganku. "Enggak mungkin mbak, ogah juga gw punya mertua macam elo dan Mas Bram. Lagian kemarin tuh gw enggak sengaja numpahin kopi ke bajunya Darren. Nah, sebagai permintaan maaf gw yang sangat tulus, gw ganti deh tuh baju. Baik kan gw?" "Elo tuh ya ada-ada saja deh kelakuannya." "Oh iya mbak, bilangin Darren dong supaya dia enggak manggil gw tante. Sebel tahu gw dengernya, berasa tua banget." "Serius anak gw manggil elo tante? Bhuahaaa aduh pinternya anak mami." saat masih berbincang dan bercanda dengan mbak Maura, tiba-tiba saja Kevin datang menghampiri kami berdua. Astaga pagiku bener-bener sial. Kevin, 30 tahun salah satu rekan kantorku namun berbeda divisi. Aku mengenalnya selama 3 tahun dan selama itu juga Kevin mengatakan jika dia mencintaiku namun sayangnya perasaan cintanya selalu aku tolak. Setahun yang lalu di saat Kevin kembali menyatakan perasaannya lagi-lagi aku menolaknya dengan sedikit kejam. Aku benar-benar tidak habis pikir dengannya sudah aku tolak masih saja tetap berusaha namun semenjak penolakanku terakhir kali hubungan kami berdua bagai kucing dan anjing bahkan puncaknya dia menyebarkan berita jika aku adalah seorang penyuka sesama jenis. "Datang ya dan jangan lupa bawa pasangan." ujarnya sombong sambil menyerahkan sebuah kartu undangan pernikahan. Mbak Maura kemudian menerima undangan pernikahan Kevin dan diberikannya satu kepadaku. "Vit, jangan lupa datang bareng pacar, itu pun kalau elo punya terus lelaki ya jangan perempuan." aku benar-benar merasa kesal dengannya. Untung saja dahulu aku menolak dirinya tetapi sejujurnya juga aku cukup penasaran dengan wanita yang akan dinikahi oleh Kevin serta merasa kasihan dengan calonnya karena akan mempunyai suami macam pria ini. "Tenang saja gw pasti datang. Gw justru khawatir kalau gw dateng elo malah ngebatalin pernikahan elo lagi. Ups, sorry." Kevin melihatku dengan tatapan tajam dan aura intimidasinya namun begitu aku tetap merasa tidak takut dengannya terlebih dia duluan yang memulai semua ini sehingga aku hanya mengikutinya saja. Kevin tidak berbicara apa pun lagi kepadaku dan setelahnya dia pun pergi meninggalkanku dan Mbak Maura untuk melanjutkan pembagian kartu undangan pernikahannya ke pegawai lainnya di kantor. "Kalian berdua tuh ya kalau sudah ketemu suka banget ribut." ucap Mbak Maura yang juga akhirnya kembali ke kubikelnya. Sorry, aku hanya bersikap bagaimana orang tersebut bersikap ke diriku. *** Siang ini aku ada janji untuk bertemu sahabatku satu-satunya, Rega. Dia sahabatku sejak duduk di bangku sekolah pertama. Aku yang memang pendiam sejak kecil memang cukup kesulitan memiliki teman namun saat masa orientasi di Sekolah Menengah Pertama tiba-tiba saja datang seorang anak laki-laki yang bersikap sok akrab denganku. Awalnya aku mengabaikannya namun lama-kelamaan kami menjadi dekat dan bersahabat hingga saat ini. Selama aku di Inggris kami berdua tidak pernah bertemu dan untuk berkomunikasi juga dapat dikatakan sangat jarang mengingat kesibukan kami selama ini. Rega juga mengambil kuliah jurusan kedokteran. Dia diterima disalah satu PTN di Jakarta dan saat ini tengah bekerja di rumah sakit milik Daddy yang beberapa hari lagi juga akan menjadi tempatku bekerja. Sebenarnya pertemuan ini juga kugunakan untuk mencari tahu tentang rumah sakit tempatku bekerja nanti. Meskipun punya Daddy, aku enggan sekali bertanya kepadanya karena sejujurnya sejak dahulu aku dan Daddy memang tidak terlalu banyak bicara satu sama lain. Namun begitu bukan berarti kami tidak dekat sebagai orang tua dan anak hanya saja Daddy yang sibuk dan aku yang pendiam cenderung malas bicara. "Sorry bro telat. Apa kabar?" tanya Rega yang baru saja tiba dan langsung duduk di depanku dengan wajah penuh senyuman seperti biasanya. Rega tidak banyak berubah. Secara penampilan hanya model rambutnya saja yang berbeda. Dahulu, dia suka sekali gaya rambut yang terkesan tidak terurus alias gondrong sehingga membuat dirinya kerap kali menjadi incaran guru BK akibat kebijakan sekolah yang melarang siswa laki-laki berambut panjang. Bukannya merasa kapok, Rega justru terus membiarkan sang guru BK menjadi tukang cukurnya selama masa sekolah dan membuat penampilannya semakin mirip dengan gelandangan yang tidak terurus. Namun saat ini rambutnya telah dipangkas rapi dengan gaya pakaian yang cukup formal. "Baik." "Astaga Bian! Elo tuh ya masih sama saja irit ngomong kaya dahulu, enggak ada berubah-berubahnya sama sekali. Eh, tetapi sekarang badan elo jadi bagus begini, apa rahasianya?" Aku benar-benar bingung bagaimana bisa bersahabat lama dengannya karena bagaimanapun kami berdua sangat berbeda. Rega yang banyak bicara dan ramah kepada semua orang sementara diriku yang berkebalikannya. Sifat, kebiasaan, serta pola pikir kami berdua juga sangat bertolak belakang namun anehnya kami tetap bersahabat baik. Oh ya, Rega memang memanggilku Bian. Darrenbian Alvito Wijaya. "Kamu juga tidak berubah." "Enggak berubah bagaimana? Elo enggak lihat apa kalau sekarang gw jadi makin cakep dan berotot begini? Enggak lihat nih otot lengan gw yang makin kekar?" "Hm." jawabku singkat dan padat. Seperti biasa Rega tidak akan pernah marah dengan sikap dan jawabanku seperti tadi kepadanya karena bagaimanapun dia sangat mengenal sifat dan kebiasaanku tersebut. "Gw pikir elo enggak mau balik lagi ke Indonesia." "Dipaksa." "Dipaksa? Sama Om Bram?" "Hm." setelahnya kami berdua terus saja mengobrol atau mungkin lebih tepatnya Rega yang berbicara dan aku yang mendengarkan. *** Makan siang kali ini aku dan mbak Maura memilih sebuah restoran di dekat daerah Kemang. Kebetulan kami juga sedang ada meeting di daerah sini. "Darren kenapa balik ke Indonesia mbak?" tanyaku sambil memasukkan sesendok nasi goreng pesananku ke dalam mulut. "Kalau elo lupa, rumahnya di sini Vit. Ada Daddy dan kedua adiknya serta maminya yaitu gw." "Maksud gw kan dia selama ini enggak pernah mau pulang kalau disuruh sama mas Bram, ada saja alasannya." "Entahlah gw sendiri juga enggak tahu alasan pastinya. Awalnya Darren masih terus menolak, katanya mau di sana sampai beberapa tahun ke depan. Tapi tiba-tiba saja tuh anak jadi nurut. Entah bagaimana caranya Mas Bram buat ngebujuk dia sampai-sampai Darren mau pulang." "Terus bagaimana kemarin? Maksud gw dia deket kan sama si kembar?" "Gw tahu kok kalau dia sayang sama adik-adiknya. Buktinya saja dia bawa banyak oleh-oleh buat mereka berdua. Cuman ya begitu, elo tahu sendiri kan kalau Darren itu irit ngomong terus minim ekspresi bahkan cenderung enggak ada sama sekali." "Sudah bawaan dari lahir kali mbak. Dulu juga seingat gw Darren memang anak yang pendiam.” "Tetap saja Vit, gw bingung. Gw takut kalau dia belum bisa menerima gw sebagai maminya. Elo tahu kan gw selalu berpikir apakah dia kuliah di Inggris karena enggak suka sama gw dan enggak ingin tinggal bareng gw atau apa. Bagaimanapun kan gw bukan ibu kandungnya." "Darren butuh waktu mungkin mbak." "Setelah 6 tahun lebih?" Aku tidak lagi menjawab pertanyaan Mbak Maura karena sejujurnya aku pun juga bingung dengan sikap dan keadaan keduanya. Mbak Maura yang terlalu sensitif dan Darren yang tidak peka cenderung apatis, sebuah kombinasi yang sulit bukan? Selesai makan siang aku dan Mbak Maura berencana untuk langsung kembali ke kantor mengingat masih ada perkerjaan yang harus segera di selesaikan namun tidak jauh dari meja kami, aku dan mbak Maura melihat Darren dengan seorang pria. Mereka berdua terlihat akrab dan dekat. Lihat saja bagaimana keduanya kini saling menyapa bahkan sampai berpelukan. Astaga! Apakah Darren satu geng dengan A'Muda?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD