Aku masih penasaran dengan apa yang sempat kudengar dari Mbok Siti, tetapi saat aku menanyakannya ulang, Mbok Siti malah mengalihkan pembicaraan. Dari gelagatnya, seakan ia tengah keceplosan dan takut untuk memberitahuku. Aku memang sangat penasaran dengan itu, tetapi aku tidak mungkin memaksa Mbok Siti untuk bercerita tentang masa lalu Alex. Menurutku alangkah lebih baiknya kalau Alex yang bercerita sendiri tentang masa lalunya daripada aku mendengar itu dari orang lain. Lagipula, bagiku masa lalu itu sama sekali tidak penting, karena semua orang punya masa lalu termasuklah diriku. Tidak baik mengungkit-ungkit masa lalu di saat orang itu pun tak mau menceritakannya.
Aku merasa bosan berada di rumah besar ini, apalagi semua yang di sini terasa asing bagiku. Tidak ada hal yang bisa aku lakukan di sini, tadi aku baru saja selesai berkeliling, melihat-lihat isi rumah mewah ini. Meskipun Mbok Siti menemaniku, tetapi beliau tidak akan mungkin terus menemaniku karena beliau pun masih harus bekerja. Saat Mbok Siti menemaniku, aku tak merasa kesepian. Namun, saat beliau akhirnya harus melanjutkan pekerjaannya, aku merasa sepi.
Akhirnya aku memutuskan pergi ke kamar, sesampainya di sana aku baru ingat ketika melihat koperku yang berada di dekat sebuah lemari besar. Aku memutuskan untuk menyusun barang-barangku ke dalam lemari.
"Ini baju siapa?" Aku bergumam pelan begitu melihat banyaknya baju perempuan yang tergantung di dalam lemari.
Aku mengurungkan niatku untuk berkemas karena ada baju-baju itu di dalam lemari, aku takut aku salah jika tidak minta izin dulu pada Alex. Nanti akan aku kemasi setelah Alex pulang.
Akhirnya aku memutuskan untuk menggambar desain baju yang baru saja untuk menghiasi masa senggangku. Hingga tiba-tiba saja dering ponselku berbunyi pertanda ada panggilan masuk, tertulis nama Nindi di layar ponselku. Aku mengernyit bingung, heran karena Nindi tiba-tiba menghubungiku.
"Hallo, Nin, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Ris."
"Ada apa lo nelepon gue?"
"Lo lagi di mana sekarang?"
"Gue lagi ada di rumahnya Mas Alex, lagi ngerjain desain. Kenapa emangnya?"
"Lah? Kok lo malah ngerjain desain sih? Lo 'kan baru nikah sama si Alex, masa iya suaminya ditinggal sibuk sama isterinya? Bukannya kalian mesra-mesraan juga. Kan pengantin baru," ucap Nindi menggoda.
"Gue boring, Nin, daripada gabut mendingan gue ngerjain desain. Lagian Mas Alex nggak ada di rumah, tadi habis nganterin gue ke sini, dia pergi ke kantor. Ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal katanya."
"Astaga, suami lo bisa-bisanya ya kerja di hari kedua kalian menikah. Nggak habis pikir gue," ucap Nindi.
"Kan udah gue bilang kalau dia ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal, Nin."
"Ck, terserah lo aja deh. Walaupun sebenarnya gue khawatir sama lo."
"Nggak perlu ada yang dikhawatirkan, gue baik-baik aja kok di sini." Kudengar decakan dari seberang sana.
"Duh Risa, lo nggak paham juga apa yang gue omongin ya?"
"Nanti aja mikir paham nggak pahamnya, sekarang gue mau tanya. Lo ada apa nelepon gue?" tanyaku.
"Hehehe, bantuin gue dong, Ris."
"Bantuin apaan?"
"Nyari referensi buku buat skripsi," jawab Nindi.
"Ya udah deh, berhubung gue juga lagi nggak sibuk ya ayo aja."
"Duh, baik banget sih pengantin baru satu ini? Ya udah gue kita ketemu di tempatnya langsung ya," ucap Nindi.
"Iya."
"Gue tutup dulu teleponnya."
"Salam dulu, Nindi."
"Hehehe iya, lupa, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Tut.
Aku bersiap-siap pergi untuk menemani Nindi mencari buku referensi skripsinya, aku sudah memesan taksi online pun saat aku telah siap. Sebelum pergi, aku menghampiri Mbok Siti untuk menitipkan rumah pada beliau saat aku pergi.
"Mbok, saya pergi dulu ya? Tolong jaga rumah," ujarku.
"Iya, Nyonya." Mbok Siti yang sedang mengepel lantai dapur mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Saat aku keluar rumah, bertepatan itu pula taksi online yang aku pesan tiba. Aku langsung menaiki taksi itu dan meminta sang sopir mengantarku ke alamat di mana aku dan Nindi bertemu nanti.
Tak butuh waktu lama untuk sampai karena tempatnya tidak terlalu jauh, selesai membayar aku langsung turun dari taksi itu. Berjalan memasuki pusat perbelanjaan, Nindi mengabarkan kalau ia menungguku di toko buku.
"Akhirnya sampai juga pengantin baru satu ini," ucap Nindi saat melihat keberadaanku.
"Lo udah cari bukunya?" tanyaku.
"Belum lah, kan gue mau minta tolong sama lo," jawabnya sambil menyengir.
"Dasar ya lo ini," ujarku geleng-geleng kepala.
"Ya udah yuk kita cari! Sekalian gue juga mau cari buku yang sesuai judul gue." Aku dan Nindi berjalan menyusuri area toko buku ini untuk mendapatkan buku yang kami cari.
Cukup lama kami berkeliling hingga kami berhasil mendapatkan buku yang kami butuhkan, selesai membayarnya ke kasir kami keluar dari area toko buku itu.
"Ris, lo udah makan belum?" tanya Nindi.
"Udah tadi." Aku menoleh ke arah Nindi.
"Gue belum makan nih, kita makan dulu yuk. Tadi gue nggak sempat sarapan, lapar banget gue sekarang."
"Dasar lo, kebiasaan banget nggak sarapan. Kena asam lambung baru tahu rasa lo," ucapku.
"Gue emang udah ada penyakit asam lambung kali, Ris."
"Iya, tapi takutnya ada nanti makin parah karena lo telat makan terus."
"Iya deh nanti gue rutin makan."
Aku mencibir mendengar perkataan Nindi, aku yakin Nindi pasti tidak akan melakukan hal itu. Aku sudah sangat hafal dengan sifat temanku yang satu ini.
"Eh, Ris, itu bukannya suami lo?" Nindi menghentikan langkahku, memintaku untuk menoleh ke samping kiri.
Aku melihat ke arah yang Nindi lihat, tubuhku mematung saat melihat suamiku memasuki toko pakaian dengan seorang wanita.
"Dia sama siapa itu, Ris? Kok sama cewek sih?" tanya Nindi.
"Mungkin itu sepupunya," jawabku berusaha positif thinking.
"Lo pernah cerita sama gue kalau lo udah ketemu sama sepupunya suami lo, gue rasa cewek itu terlalu dewasa buat jadi sepupu Alex. Lo sendiri yang bilang kalau Alex itu paling tua dari sepupunya yang lain." Aku terdiam mendengar perkataan Nindi, pandanganku mengarah pada Alex yang tengah berbincang seru dengan perempuan itu.
"Mungkin itu temannya, Nin."
"Teman mana yang nganterin beli baju coba, Ris? Gue jadi takut."
"Takut apa?" Nindi menatapku, seakan ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya.
"Nggak ada, gue berharap mereka emang hanya teman aja. Atau kalau nggak gimana kalau kita samperin mereka? Biar kita nggak penasaran, kita langsung tanya aja," ucap Nindi..
"Nggak ah, Nin, katanya tadi mau makan. Ayo kita cari makan aja." Aku menarik tangan Nindi dan mengajaknya pergi dari sana.
"Tapi suami lo, Ris—"
"Gue percaya suami gue, Nin, lagian kamu menikah baru kemarin. Nggak mungkin dia ngelakuin hal jahat kayak gitu apalagi terang-terangan 'kan?" Aku berusaha berpikiran positif karena menurut jurnal yang aku baca, jika kita berpikir positif, maka sesuatu yang positif akan terjadi. Sebaliknya jika kita berpikiran negatif, maka hal negatif lah yang akan terjadi.