1. Awal Pertemuan

1282 Words
Selama Bu Sievania memilih pakaian, aku selalu menemaninya. Sesekali Bu Sievania meminta pendapatku mengenai gamis yang menurutnya bagus, aku hanya bisa menjawab kalau semua gamis di sini akan sangat cocok jika dikenakan oleh Bu Sievania. Aku tidak bohong, hal itu memang benar. Tubuh ramping serta wajah cantik yang Bu Sievania miliki membuat semua gamis akan terlihat sangat cocok jika dikenakan olehnya, itu semua aku perhatikan dari postur tubuh serta wajah dan warna kulit Bu Sievania. Namun, menurutku ada warna gamis yang sangat cocok di kulit Bu Sievania yaitu warna merah maroon. Sama seperti gamis yang kini tengah Bu Sievania kenakan, wanita yang sedang memilih gamis itu terlihat sangat perfect sekali hari ini. Beberapa pakaian sudah menumpuk di meja kasir, itu semua pilihanku dan Bu Sievania. Aku sebenarnya merasa sangat heran mengapa Bu Sievania selalu memborong banyak pakaian di tokoku, bahkan itu tidak hanya sekali saja melainkan sudah berkali-kali. Niat hati ingin bertanya, tetapi aku merasa segan. Aku merasa tidak sedekat itu dengan beliau meskipun beliau sering ke sini, aku tetap menjaga sedikit jarak agar Bu Sievania tak lagi menggodaku yang menginginkan menjadi menantunya. Sungguh hal itu sedikit mengusikku, siapa yang tidak ingin menikah? Tentu saja semua orang ingin, termasuk aku. Hanya saja, belum ada yang berani mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Padahal jauh di dalam lubuk hatiku, sempat terpikir kalau aku ingin menikah muda. "Risa?" Aku tersadar dari lamunanku begitu mendengar suara Bu Sievania juga tepukan di bahuku, beliau menatapku heran. Apa aku terlalu lama melamun sehingga tak menyadari kalau ternyata Bu Sievania sudah selesai memilih? "Ah, sudah, ya Bu? Mari kita ke kasir." Menutupi kegugupanku yang tertangkap basah sedang melamun, aku mengajak Bu Sievania ke kasir. "Oh ya, ngomong-ngomong Ibu beli ini semua buat siapa? Banyak sekali, Ibu seperti memborong semua yang ada di sini." Aku segera merapatkan bibirku begitu kata-kata itu terlontar, sungguh aku tak sengaja mengatakan pertanyaan yang ada di dalam benakku secara langsung. Yang tak aku duga adalah Bu Sievania membalikkan tubuhnya kemudian menatap ke arahku dengan senyuman lebarnya, seakan ia begitu senang mendengar pertanyaan yang aku lontarkan. "Baju-baju ini mau Ibu kasih ke saudara-saudara Ibu, mereka pada suka sama bahan dan juga model gamis ini. Mereka selalu menitip kalau Ibu mau ke sini, sebenarnya bisa saja sih mereka ke sini sendiri. Hanya saja Ibu yang melarang mereka," ucap Bu Sievania kemudian terkekeh. Aku mengernyit, mengapa Bu Sievania harus melarang saudara-saudaranya datang ke sini? Bukankah justru bagus kalau mereka datang ke sini sendiri, itu berarti Bu Sievania tak perlu lagi datang ke sini dengan membawa banyak pakaian. "Kamu mau tau apa alasan Ibu melarang mereka ke sini?" tanya Bu Sievania seakan ia mengerti apa yang ada di benakku, karena aku memang merasa sangat penasaran, sontak saja kuanggukkan kepalaku. "Alasannya Ibu enggak mau mereka ketemu sama pemilik toko ini," ucap Bu Sievania. Tunggu bukankah pemilik toko ini adalah aku? Jadi Ibu Sievania tidak ingin saudara-saudaranya bertemu denganku? Ada apa ini sebenarnya? Aku merasa sangat bingung. "Kamu tau? Saudara-saudara Ibu itu juga sedang mencarikan jodoh untuk putra mereka, tentu saja Ibu tidak ingin kamu bertemu dengan mereka. Bisa-bisa mereka mencuri start duluan menjadikan kamu menantu mereka, padahal 'kan Ibu yang meminta duluan." Aku melongo mendengar ucapan Bu Sievania, jadi beliau serius ingin menjadikan aku menantunya? "Ibu kalau bercanda suka begini, ya? Hahahaha." Aku berusaha tertawa walau itu terdengar garing, tapi sungguh aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku ketika kata-kata menjadi menantu itu sering sekali Bu Sievania ucapkan. "Ibu serius mengatakan itu, Ibu ingin agar kamu menjadi menantu Ibu. Ibu ingin kamu bisa menikah dengan putra Ibu," ucap Bu Sievania dengan wajah seriusnya. Dan kali ini aku sangat-sangat yakin kalau kata-kata ingin menjadikan menantu itu benar-benar serius, sangat tak dapat dipercaya olehku. "Maaf, Bu. Bukannya Risa menolak, hanya saja Risa tidak mengenal putra Ibu." Aku berkata benar 'kan? Bagaimana mungkin aku menerima tawaran Bu Sievania sedangkan aku sendiri pun tidak mengenal putranya. "Ah iya ya, mengapa Ibu bisa lupa. Kebetulan sekali ini putra Ibu sedang dalam perjalanan menjemput Ibu, kalian bisa berkenalan nanti." Bu Sievania berucap setelah mengecek ponselnya yang aku yakini ia tengah memeriksa aplikasi chat dengan putranya. Mendadak aku yang menjadi gugup, seperti apa ya anak Bu Sievania? Apakah ia akan seramah Bu Sievania? Aku harap begitu karena jika iya maka setidaknya suasana perkenalkan tidak akan menjadi canggung. "Dia sudah menunggu di depan, kamu tolong kasih tau putra Ibu kalau sebentar lagi Ibu keluar ya setelah membayar belanjaan ini." Mataku sontak membulat, mengapa harus aku? "Maaf, Bu. Kenapa harus Risa?" tanyaku yang tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. "Loh? Katanya kamu tadi mau kenalan sama anak Ibu," ucap Bu Sievania membuatku mengerutkan dahi. Memangnya aku pernah berkata kalau aku ingin berkenalan dengan anak Bu Sievania? Aku tadi hanya berkata kalau ... ah sepertinya Bu Sievania sudah salah paham mengenai penolakanku yang aku buat sehalus mungkin itu. "Ibu sepertinya salah paham, Risa tadi cuma ...." Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku ketika Bu Sievania menarik tanganku. "Yuk, Ibu sudah selesai membayar. Pokoknya kamu harus kenalan sama anak Ibu supaya kamu bisa menjadi menantu Ibu." Aku menghela napas, Bu Sievania ini sepertinya tipe orang yang tidak ingin ditolak. "Alex!" Pria yang dipanggil Alex itu menoleh. Sejenak aku terpana dengan wajah serta penampilannya, aku yakin anak Bu Sievania yang baru kutahu bernama Alex itu pasti pekerja kantoran. Itu terlihat jelas dari penampilannya yang rapi serta berjas, aku tersadar ketika Bu Sievania menyenggol lenganku. Ternyata pria bernama Alex itu sudah berada tepat di depanku, ia menatapku datar. Aku meringis, seakan berada di dalam situasi yang sulit. Sejenak tatapan itu seperti menyiratkan luka dan aku semakin terperosok jauh dalam mata hijau ah ... bukan hijau, tetapi hijau keabu-abuan. Alex ini sepertinya keturunan bule, bukan dari Bu Sievania mungkin saja dari suaminya Bu Sievania. "Kenalin ini pemilik butik langganan Mama, namanya Risa. Risa ini masih muda loh, umurnya 20 tahun dan masih menyelesaikan skripnya, tapi dia itu udah hebat bisa bangun butik seperti ini. Mama suka sekali pakai pakaian dari sini karena dia yang buat desainnya sendiri," ucap Bu Sievania seakan mempromosikan diriku. "Hai, nama saya Alex." Pria itu mengulurkan tangannya, aku mematung. Seakan tersadar aku menangkupkan kedua tangan di depan d**a, sejenak aku melihat Alex menatapku heran. Namun, begitu ia mengerti, ia menarik kembali tangannya. "Risa," ucapku pelan. "Nah kamu dengar 'kan suaranya lembut begitu, cocok banget jadi istri kamu. Risa yang lembut pasti bisa mengimbangi kamu yang keras kepala." Dengan blak-blakan Bu Sievania mengatakan hal itu, kudengar Alex berdecak kesal. Sepertinya pria yang aku taksir usianya hampir tiga puluh tahunan itu tidak suka mendengar perkataan Bu Sievania. "Ma, udahlah. Enggak usah jodoh-jodohin Alex lagi, Alex bisa cari sendiri." Suaranya terdengar kesal, atau memang pria itu sedang kesal. "Kamu itu kalau enggak gini mana mungkin bisa dapat jodoh, umur udah 34 tahun tapi masih aja enggak mau cari istri. Biar Mama aja yang turun tangan." Ternyata aku salah mengira, wajah dan usia Alex jelas saja tak sesuai. Pria yang aku kira baru akan memasuki usia kepala tiga, justru sudah lebih dari perkiraanku. "Maaf ya, Mbak? Mama saya ini kalau ngomong suka melantur. Jangan didengerin lagi kalau dia bicara apa-apa, ayo Ma kita pulang. Belanjanya udah selesai kan?" "Ih, Alex! Kamu ini kurang ajar banget sama Mama! Mama enggak melantur tau! Mama begini juga agar kamu bisa segera menikah. Nak Risa jangan menolak, ya. Walau kelihatannya menyebalkan putra Ibu ini baik sekali," ucap Bu Sievania sambil menepis lengan Alex yang akan menarik beliau pergi, aku hanya tersenyum menanggapinya. Agak bingung sebenarnya. "Ingat ya, Mbak! Jangan didengerin perkataan Mama saya. Ayo, Ma! Kita pulang." Alex membawakan belanjaan Bu Sievania kemudian mengajak paksa Bu Sievania memasuki mobil, tak ingin memikirkan hal-hal aneh aku memutuskan kembali memasuki toko.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD