2. Pria Aneh

1258 Words
Pagi hari yang begitu cerah, aku sedang berada di dapur membantu bunda yang sedang memasak. Hari ini aku akan pergi ke kampus untuk mengajukan judul skripsiku, mungkin hari ini akan sangat sibuk bagiku karena aku tak hanya pergi ke kampus saja melainkan juga harus pergi ke toko. Tak ada orang yang bisa aku titipi toko itu, bunda? Tentu saja beliau akan sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Adikku masih sangat kecil sehingga tak mungkin sekali ditinggal, adikku yang bernama Rian usianya masih dua tahun. Usiaku dan Rian memang terpaut cukup jauh, dua puluh tahun barulah bunda bisa memiliki Rian. Bunda sedang menggoreng tempe mendoan, sedangkan aku sendiri menyiapkan sayur sop untuk penghangat di pagi hari yang dingin ini. Aku memotong-motong wortel, brokoli dan kol tak lupa jamur sebagai pelengkap barulah mencucinya. Setelah selesai dengan sayuran-sayuran itu, aku menyiapkan bumbu untuk membuat sayur sop. Sebenarnya bisa saja membeli bumbu jadi, tetapi bunda hanya ingin masakan itu dibuat dari kerja keras hasil kita sendiri. Itu akan terasa lebih lezat dan puas karena hasil masakan sendiri walaupun tak seenak bumbu jadi yang diberi banyak penyedap rasa, aku hanya memberikan sedikit saja penyedap rasa untuk membuat rasa dan aroma sayur sop buatanku semakin kuat. "Ris, kamu siap-siap aja sana. Katanya mau ke kampus, biar Bunda yang menyelesaikan semua ini," ucap bunda ketika aku akan membantu beliau menyiapkan meja makan. "Enggak apa-apa, Bun. Biar Risa aja yang nyiapin, ini juga sebentar lagi selesai." Aku mempercepat pekerjaanku agar cepat selesai. "Nah udah selesai, kalau gitu Risa ke kamar dulu, ya Bun?" Sebelum pergi aku sempatkan mencium pipi "Ih belum mandi udah cium-cium pipi Bunda, mandi dulu sana!" Aku hanya tertawa kemudian bergegas pergi ke kamarku. Setelah selesai bersiap, aku kembali ke ruang makan. Di sana sudah ada ayah dan Rian, ayah tengah memangku Rian sedangkan bunda menyuapi Rian bubur. Aku tersenyum melihat itu, mereka terlihat seperti keluarga bahagia. Bergegas aku menghampiri mereka. "Pagi, Ayah!" Kulabuhkan kecupan di pipi ayah hingga membuat beliau tertawa. "Pagi adik kakak tersayang," ucapku sambil mengecup pipi Rian yang gembul itu. "Pagi juga, Nak. Mau ke kampus, ya?" tanya ayah yang kubalas berupa anggukan kepala. "Bunda enggak disapa juga nih?" tanya bunda membuatku tertawa, aku yang akan duduk pun kembali berdiri sekadar memberikan kecupan dikedua pipi bunda. "Padahal tadi udah loh, Bun." Aku tertawa melihat wajah kesal bunda. "Ya kan tadi kamu belum mandi, lain kali ingat. Jangan cium pipi Bunda sebelum kamu mandi, bau!" Bunda pura-pura menutupi hidungnya seakan mengekspresikan kalau aku yang belum mandi itu bau, padahal tadi aku sudah menyempatkan mencuci muka serta menggosok gigi sebelum melaksanakan shalat subuh. Memang dasar Bunda saja yang terus menggodaku. "Iya, siap Bunda!" Aku hanya mengangguk. "Ayah enggak ke bengkel?" tanyaku pada ayah ketika melihat pakaiannya yang santai. "Enggak, hari ini Ayah mau main puas-puas sama Rian. Kata Bunda kamu Rian udah makin pinter sekarang, Ayah jadi penasaran." Setelah obrolan singkat itu, kami memulai sarapan. Aku tersenyum ketika melihat bunda dengan cekatan menyiapkan sarapan untuk ayah, ah aku ingin kelak ketika menikah memperlakukan suamiku nanti sama seperti bunda memperlakukan ayah. "Tokomu bagaimana?" tanya ayah setelah kami selesai sarapan. "Baik, Yah. Banyak pelanggan yang puas dan kembali lagi ke toko Risa, Risa senang banget akhirnya toko itu bisa berkembang hingga sekarang." Aku selalu antuasias ketika sudah membicarakan toko pakaian yang aku kelola itu, semua impian dan harapanku memang ada di sana. "Baguslah, ayah senang mendengarnya. Sukses terus, ya, Nak. Semoga saja kamu bisa menjadi desainer terkenal dan bahkan banyak toko yang kamu kelola," ucap ayah. "Aamiin ... makasih doanya, Ayah." Aku memeluk ayah dengan erat, kurasakan usapan lembut di kepalaku hingga membuatku nyaman. "Ya udah kalau gitu, Risa berangkat dulu, ya? Yah? Bun?" Aku menyalami tangan ayah dan Bunda kemudian memaksa Rian agar mencium tanganku. "Assalamualaikum ...." "Waalaikumsalam ...." Sebelum pergi kusempatkan mengecup pipi Rian yang membuatku gemas kemudian aku pergi menuju motorku, sekali lagi aku menoleh untuk sekadar melambaikan tangan barulah kini aku fokus mengendarai motor matic-ku. Setengah perjalanan aku begitu bingung ketika motorku tiba-tiba saja mogok, aku melihat motorku mengecek apakah aku kehabisan bensin atau tidak. Ternyata bensin pun masih full, lantas apa yang salah? Aku sama sekali tak mengerti mengenai mesin meskipun ayah mengerti. Aku berusaha menelepon nomor ayah, tetapi tidak aktif. Aku baru ingat ternyata ponsel ayah masih di charger, pantas saja aku tidak bisa menghubunginya. Ayah memang selalu seperti itu, menonaktifkan ponselnya ketika sedang di charger. Terpaksa aku menelepon bunda, nyatanya panggilanku yang kesekian kalinya sama sekali tidak diangkat. Sepertinya ayah dan bunda kompak tidak memainkan ponsel saat bersama Rian, alasannya agar Rian tidak kecanduan ponsel diusianya yang masih belia. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di samping motorku, aku terperangah apalagi ketika kaca mobil itu dibuka. Nampaklah pria tampan dengan balutan jasnya yang rapi juga kacamata hitam yang menempel indah di matanya, meskipun samar-samar aku ingat kalau pria itu adalah anak Bu Sievania yang tak lain adalah Alex. "Masuk!" Aku hanya diam saja ketika suara berat itu mengajakku ah lebih tepat seperti perintah mungkin? Menyuruhku agar masuk. "Maaf, Bapak bicara dengan siapa?" Aku tidak ingin geer dulu, siapa tahu ada orang di belakangku. Terdengar decakan suaranya pertanda kalau ia marah mendengar pertanyaanku, loh memangnya ada yang salah dengan pertanyaanku, ya? "Tentu saja saya bicara dengan Mbak! Oh ya jangan panggil saya Bapak, saya bukan orangtua kamu!" Perkataannya begitu sinis hingga membuatku terkejut, dia mengajakku masuk atau berperang sebenarnya? "Jangan panggil saya Mbak, saya juga bukan Kakakmu," balasku dengan berani. Kulihat ia memutar kedua bola matanya malas. "Ya, sekarang ayo masuk!" Tentu saja aku menggeleng, mana mungkin aku mau masuk ke dalam mobil pria asing hanya berduaan pula. "Maaf, Pak. Saya bawa kendaraan sendiri," ucapku membuat ia melotot. Sepertinya aku kelepasan hingga memanggil pria itu dengan sebutan bapak, habisnya aku bingung ingin memanggil pria itu apa. "Kendaraan yang sedang macet itu? Yakin bisa membawamu ke tempat tujuan?" Aku mengerjap, mengapa pria itu bisa tahu masalah yang aku hadapi? "Sudahlah ayo masuk, akan saya antarkan kamu ke tempat tujuan. Motor kamu sudah saya hubungi orang yang akan memperbaikinya," ucapnya. "T-tapi saya ...." "Masuk atau saya tinggal!?" ancamnya dan hal itu membuatku mau tak mau masuk ke dalam mobil, tepatnya di belakang. "Saya bukan sopir kamu by the way," protesnya. "Maaf saya tidak ingin menjadikan kamu sopir, hanya saja kita bukan muhrim jadi tidak membenarkan kalau saya duduk di sebelahmu." "Fine!" teriaknya kesal setelah itu aku dapat merasakan kalau mobil ini bergerak. "Makasih banyak Bapak sudah mengantar saya sampai ke sini," ucapku setelah mobil berhenti tepat di depan kampusku. "Masih memanggil saya bapak?" tanyanya sinis. "M-maaf, Mas." Akhirnya aku memanggil ia seperti itu, bukankah itu lumrah? "Saya suka dengan panggilan itu daripada kamu memanggil saya bapak, oh ya nanti akan saya jemput kamu setelah selesai." Aku mengernyit. "Jemput?" tanyaku keheranan. "Iya, motor kamu kan masih berada di bengkel. Kerusakan mesinnya cukup parah, ya sudah saya pergi dulu." Belum sempat aku protes, pria itu sudah memasuki mobilnya kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan aku yang masih tercengang dengan kelakuannya. "Pria itu benar-benar aneh," gumamku. Mengapa aku menyebutnya aneh? Tentu saja aneh, kami tak saling mengenal, tetapi ia suka rela membantuku. Padahal di awal pertemuan kami, ia tak terlalu menyukaiku. Lantas sekarang mengapa tiba-tiba ia berubah menjadi baik? Apakah ada hal yang ia harapkan dariku? Apakah itu adalah hal buruk? "Astaghfirullah, kenapa pikiran lo bisa gitu, Risa?" Segera aku beristighfar ketika aku sudah mulai bersuudzon pada orang lain, aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mungkin saja pria itu memang aslinya baik, hanya saja pertemuan pertama mereka saja ia bersikap begitu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD