Hari pertama menjadi istri

1093 Words
Aku duduk di samping pria yang akan menjadi imam keluargaku, pria yang dijodohkan oleh orang tuaku. Pria yang masih tampak muda, namun sudah berumur 30 tahun. Karena wajahnya yang tampan sehingga ia terlihat lebih muda dari yang seharusnya. Selendang putih mengerudungi kepalaku dan kepala pria di sampingku. Baru kuingat, bahwa aku tidak tahu siapa nama pria yang akan menjadi suamiku ini. Aku meniliknya, namun ia sama sekali tak menolehku. Aku semakin yakin kalau pria di sampingku ini juga terpaksa menikahiku. Lantas kenapa ia tak menolaknya saja, aku akan sangat berterima-kasih jika ia melakukannya. Kudengar suaranya yang juga nikmat didengar, mengucapkan ijab qabul untukku. Ada rasa sakit teramat yang kurasakan kali ini, membuat dadaku sesak. Semua orang yang hadir serentak meneriakkan kata 'Sah!'. Lantunan doa menyambut ijab qabulku yang entah bagaimana ada bulir-bulir bening melintas di pipiku. Dengan sigap aku mengelap pipiku, aku tidak ingin orang tuaku melihatku menitikkan air mata. *** Acara ijab qabul berjalan lancar, tanpa ada hambatan. "Kila, mulai hari ini kamu akan tinggal di rumah Bapak Bima." ucap ibu yang membuatku meneteskan air mata yang sedari tadi kubendung. Ibu segera memelukku, menepuk punggungku pelan, hangat rasanya. Setelah berpamitan dengan orang tuaku dan adikku, Sera, aku pergi meninggalkan rumah yang sudah kutempati sejak bayi ini. Jangan ditanya bagaimana hatiku saat ini, sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Hari yang seharusnya menjadi hari bersejarah nan indah bagiku, terasa menyakitkan. Di sepanjang perjalanan aku hanya diam, mematung. Begitu juga dengan pria yang duduk di sampingku, ia sama sekali tak mengucapkan apapun kepadaku. Ia adalah suami sahku, sah di mata agama dan negara. Namun nyatanya dia tak menganggap ku sebagai istrinya. Aku memang menaiki mobil sedan mewah berwarna hitam bersama dengan pria yang sudah mengucapkan ijab qabul untukku. Sementara Pak Bima dan istrinya menaiki mobil lain, tepat berada di belakang mobil yang aku naiki. Setelah sekitar 1 jam perjalanan, akhirnya aku sampai di kediaman Pak Bima. Aku keluar dari mobil, aku menyapu pandangan di halaman rumah yang super luas. Bangunan rumah juga tampak luas dan besar, sangat megah untukku. Tanpa mengajakku, pria yang sudah menjadi suamiku hanya meninggalkanku dan masuk ke dalam rumah. "Kenapa cuma diam saja Kila, ayo masuk. Sekarang kamu menjadi bagian keluarga kami, ini juga rumah kamu." ucap istri Pak Bima, Bu Dewi, ibu dari suamiku. Aku akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah yang bak istana ini dengan digandeng oleh ibu mertuaku. "Dira sebenarnya punya rumah sendiri, namun sementara kalian tinggal di sini dulu sebagai pasangan pengantin baru.". Dira, ternyata itu nama pria yang sudah sah menjadi suamiku. Ibu mertuaku mengantarkan ku ke kamarku, tentu saja kamar Dira selama ini. Ketika aku masuk, kulihat Dira sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian kasual. Ia duduk bersandar di ranjang, sementara matanya fokus menatap ponselnya. "Nanti barang-barang kamu akan dibawa ke sini sana Mbok Ijem. Kamu kalau ada perlu apapun, bilang sama ibu ya." ucap Bu Dewi, ibu mertuaku yang sangat baik sejauh ini. "Dira, kamu jangan kerja terus. Luangkan waktu kamu di hari pernikahanmu ini dengan bijak." ucap ibu mertuaku ke anak laki-lakinya yang sejak tadi tak melihatku sama sekali. Dira tampak tak mempedulikan ibunya, aku heran kenapa bisa dia bersikap dingin kepada ibunya sendiri. Ibu mertuaku sudah keluar kamar dengan memelukku sebelumnya. "Kamu tidur di lantai. Di kamar ini sengaja nggak ada sofa biar kita bisa tidur seranjang. Tapi aku nggak akan sudi tidur dengan lintah darat seperti kamu. Mimpi saja kamu, nikmati tidur di lantai." ucap Dira yang masih tak mau melihatku. Hatiku hancur setelah mendengar ucapan Dira barusan. Dia bahkan menganggap aku lintah darat, mungkin karena aku hanya anak orang miskin yang tak sederajat dengannya. Luas kamar Dira sendiri 10 kali lipat luas kamarku. Bagaimana dia tidak berpikir negatif kepadaku, aku hanyalah anak bawahan Pak Bima, ayahnya. Sementara sekarang aku sudah menyandang status istrinya, istri Dira Sudrajat. "Iya." jawabku singkat karena rasa sakit hatiku yang sudah menggunung. Aku lalu membaringkan tubuhku di lantai, tak jauh dari ranjang. "Jauh-jauh kamu, aku nggak sudi dekat dengan kamu." ucapnya lagi yang semakin menyayat hatiku. Aku beranjak lalu berjalan menjauh, barulah aku membaringkan tubuhku dengan posisi miring. Tiba-tiba kepalaku dihantam bantal yang cukup menyakitkan, membuat kepalaku pusing. "Itu bantalmu." ternyata Dira yang melempar bantal untukku. Namun caranya melemparkan bantal seperti sengaja agar aku terkena, tepat di kepalaku. Aku mengambil bantal lalu kubaringkan tubuhku pelan, dengan posisi miring. "Hei, lindar (singkatan lintah darat). Kunci dulu pintu kamar. Jangan sampai ibu apalagi ayah tahu kalau kamu tidur di lantai. Atau aku akan menyiksamu lebih dari ini!". Teriak Dira padaku yang seakan-akan aku ini tidak ada harga dirinya sama sekali. Aku beranjak lalu mengunci pintu kamar, tanpa berganti pakaian aku langsung berbaring di lantai. Rasa amarahku seakan memuncak, ingin sekali aku menangis namun sepertinya tak akan bisa. Yang ada, pria yang sudah berstatus suamiku ini akan semakin membenciku. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah diam, berusaha agar suamiku, Dira tak semakin membuatku tersiksa berada di rumah megah ini. *** Tok tok tok, terdengar ketukan pintu kamar yang disambung dengan panggilan suara wanita. "Mbak Kila, Den Dira, Nyonya sama Tuan udah nunggu di meja makan." ucap wanita itu dibalik pintu, mungkin itu adalah mbok Ijem. Mbok Ijem sendiri merupakan asisten rumah tangga di rumah semegah ini. "Iya." ucap Dira setengah berteriak, ia lalu melirikku yang sudah beranjak dari tempat kuberbaring berjam-jam lamanya. "Ganti pakaianmu, bodoh!" ucapnya dengan tatapan benci yang diluncurkan kepadaku. Aku tanpa menunggu lama lalu masuk ke ruangan pakaian yang ada di kamar ini. Aku membelalakkan mata melihat betapa besar dan mewahnya untuk sekedar ruang pakaian ini. Aku mengingat bahwa ibu tadi bilang sudah membelikanku beberapa baju dan beliau letakkan di ruangan ini. Aku menyapu pandanganku sampai akhirnya kutemui gamis-gamis cantik menggantung dengan sempurna. Aku kemudian mengambil satu untuk kukenakan. Selesai mengganti pakaian, aku berniat untuk mengganti jilbab yang aku pakai. Siapa sangka sesosok pria berdiri memperhatikanku dari luar ruangan, siapa lagi kalau bukan Dira. Aku yang sudah melepaskan hijabku sebelumnya lalu dengan cekatan memakainya. "Cih, aku juga tidak akan sudi menyentuhmu." ucap Dira yang kemudian berlalu pergi. Aku kemudian berjongkok, kakiku terasa lemas tiba-tiba. Bagaimana bisa aku menutupi tubuhku dari pria yang berhak atas tubuhku ini, suamiku-Dira. Aku seperti sudah melakukan dosa besar, aku menyesali perbuatanku barusan walaupun aku melakukannya tanpa sengaja. Bulir bening tiba-tiba menghampiri pipiku mengingat apa yang barusan Dira katakan padaku, dia tak sudi menyentuhku. Lalu apakah aku harus bahagia karena sebenarnya aku juga belum bisa membuka hatiku untuk suami yang dipilih orang tuaku ini. Namun untuk apa pernikahan kami jika kami saling tidak menginginkan, kenapa aku harus menjalani takdir yang menyedihkan ini? Kenapa ia harus setuju dengan perjodohan kami kalau ia tak mengharapkanku? Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD