Panggilan untuk suami

1016 Words
Aku keluar kamar dan menuju ke ruang makan yang ada di lantai 1, sementara kamarku berada di lantai 2. Aku menuruni tangga dengan menyapu pandanganku, kulihat-lihat lagi apa saja yang ada di rumah yang bak istana ini. Mataku berhenti menatap pada foto yang sangat besar terpajang tak jauh dari ruang tamu. Foto ayah mertuaku, ibu mertuaku dan juga suamiku. Dilihat dari foto itu, sepertinya Dira adalah anak satu-satunya keluarga kaya raya ini. Lalu kenapa Pak Bima menginginkanku sebagai menantunya? Kenapa beliau tak mencari menantu dari keluarga terpandang. "Ayok Kila, cepetan sini, jangan melamun di situ." ucap ibu mertuaku yang membuatku tersadar dari lamunanku. Aku tersenyum kepada ibu mertuaku yang sedari tadi bersikap baik padaku. "Iya bu." jawabku singkat. Aku duduk di samping Dira, suamiku. Ia tampak tak peduli denganku, namun aku juga tak ambil pusing dengannya. Sejak kejadian di kamar tadi, aku sudah tahu kalau Dira tak menginginkanku sebagai istrinya. Setidaknya aku akan menyiapkan mental untuk semua sikap dinginnya dan kata-kata kasarnya padaku nanti. Aku menatap meja makan yang dipenuhi makanan super nikmat, aku menelan ludah ketika melihatnya satu per satu. Ibu mertuaku mengambilkan nasi untukku, aku langsung merebut centong nasinya, tentu saja dengan sopan. "Biar Kila sendiri, Bu." ucapku, ibu mertuaku kemudian membiarkanku mengambil makanan sesuai keinginanku. Andai saja ini bukan di rumah mertuaku, aku pasti sudah menyantap semua makanan di depanku ini. Atau setidaknya aku akan mencicipinya satu per satu, dilihat dari tampilannya saja sudah sangat menggoda. "Kila kalau butuh sesuatu, panggil mbok Ijem, atau ibu ya." ucap ibu mertuaku, aku mengangguk pelan lalu melempar senyum. "Kalau bisa kalian cepat punya anak, ayah sudah tak sabar ingin menimang cucu." sahut Pak Bima, bos bapakku yang sekarang menjadi ayah mertuaku. Aku cukup terkejut dengan permintaan Pak Bima, namun aku hanya mengangguk karena bingung harus bersikap bagaimana. "Dira anak kami satu-satunya, dia pandai cari uang tapi tak pandai cari istri. Kami akhirnya memilih kamu, jadilah istri Dira dan ibu dari cucu kami." lanjut Pak Bima, aku hanya bisa tersenyum kali ini. Kulirik Dira, dia sama sekali tak peduli dan hanya sibuk dengan makanannya. Dira selesai makan, ia langsung berdiri dan pamit masuk ke kamar. Aku yang sebenarnya belum selesai makan terpaksa mengikutinya karena merasa kurang nyaman berada di meja makan bersama kedua mertuaku. "Apa aku boleh memakai selimut di sana?" tanyaku setelah aku menutup dan mengunci pintu kamar, aku menunjuk ruang pakaian. "Terserah, asalkan kamu tidak bermimpi bisa tidur denganku di ranjang ini." sahutnya yang ketus, aku tak peduli. Aku berjalan menuju ruang pakaian lalu mengambil 2 selimut sekaligus. Satu untuk alas tidurku dan satu lagi akan kugunakan sebagai selimut. Sebelum tidur, aku melaksanakan sholat, bergantian dengan Dira. Tentu saja Dira tak sudi melakukannya berjamaah denganku. "Kenapa kamu mau menikah denganku?" aku memberanikan diri melontarkan pertanyaan ini ke Dira yang sedang memandang ponselnya. "Berhentilah mengajakku bicara, aku nggak suka denger suara kamu." sahutnya yang membuat luka baru di hatiku. Belum ada 24 jam aku menjadi istrinya, rasanya aku sudah mendapatkan banyak hinaan darinya. Namun aku harus terbiasa dengan sikapnya tersebut, bagaimanapun aku adalah istri sahnya sekarang. Aku berharap hubungan kami membaik seiring berjalannya waktu. Atau setidaknya dia akan menceraikanku bila memang tak menginginkanku sebagai istrinya. Aku kemudian memilih tidur hanya dengan beralaskan selimut, dari pada harus memikirkan rumah tanggaku yang entah bagaimana nasibnya kelak. *** Aku bangun tepat waktu seperti biasa, ketika adzan subuh berkumandang. Aku kemudian menggosok gigiku, mencuci muka lalu mengambil air wudhu. Setelah itu aku menunaikan sholat subuh. Ketika aku merapikan mukena, kulihat Dira sudah tak lagi di ranjangnya. Aku kemudian merapikan selimut-selimut yang kugunakan semalam dan menyimpannya di ruang pakaian. Semoga saja ibu mertuaku tak mengetahuinya karena Dira akan menghukumku setiap aku membuat kesalahan. Sebisa mungkin aku harus bertahan di rumah ini, setidaknya sampai operasi Sera yang dijadwalkan 3 bulan dari sekarang. Ketika aku keluar dari ruang pakaian, kulihat Dira sedang bersujud, sholat. Aku cukup kagum dengannya karena ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang muslim walau kehidupannya bergelimangan harta. Namun mengingat betapa dingin sikapnya padaku, Dira hanyalah manusia biasa. "Kamu kuliah?" tanya Dira tiba-tiba, aku mengangguk tanpa menjawabnya dengan kata-kata. "Kamu bisu?" teriaknya yang membuatku terperanjat, bagaimana bisa dia meneriakiku pada jam segini. "Kamu bilang kamu nggak suka denger aku ngomong. Mau kamu apa?" balasku, aku merasa kesal pada suamiku. Walaupun aku sadar sikapku kali ini hanya berbuah dosa, bagaimanapun Dira adalah suamiku. Dira mendekatiku yang duduk bersandar di lantai. Dia memegang daguku kuat, sampai aku merasa sakit dan berteriak "Ah." karena ulahnya. "Kamu berani membentakku?" ucap Dira yang tampaknya marah karena aku sudah membentaknya. "Maaf.." ucapku yang kali ini aku mengucapkannya tulus dari hati. Bagaimanapun, aku tidak seharusnya membentak Dira karena dia adalah suamiku, imamku. Dira melepaskan tangannya dari daguku lalu mendorong wajahku pelan. "Jangan bicara kalau aku tak tanya sama kamu. Jawab aku kalau aku tanya. Apa kamu sebegitu bodohnya sampai perlu aku kasih tahu?" ucap Dira dengan menatap tajam ke arahku, aku mengangguk pelan. "Nggak jawab?!" teriak Dira lagi, "Iya." jawabku singkat. "Kamu kuliah hari ini?" tanya Dira yang sudah mulai menurunkan volume suaranya. "Iya, aku hanya cuti sehari saja." kataku menjelaskan. "Aku nggak tanya, aku cuma tanya kamu kuliah atau enggak. Jawab seperlunya, kamu lupa aku nggak suka denger suara kamu?!" sahut Dira yang semakin membuatku geram. "Maaf." sambungku, singkat saja karena aku merasa kesal padanya. Menikah adalah ibadah terpanjang, kalau pernikahanku seperti ini yang ada aku hanya mengumpulkan banyak dosa. Bukan pahala yang kudapat, hanya dosa yang akan semakin berlipat. Bagaimana tidak, setiap saat yang ada aku hanya kesal dan marah kepada suamiku. "Cuma maaf?" Dira masih berdiri di depanku, sementara aku masih duduk di lantai. "Kamu nggak mau sebut namaku?" lanjutnya, aku bingung dengan permintaannya barusan. "Maaf Pak Dira.." kataku pelan yang langsung disahut dengan teriakan Dira "Yah!!!", aku terperanjat kaget. "Apa aku setua itu kamu panggil pak?" ucap Dira yang masih marah padaku, "Lalu aku harus panggil apa?" sahutku. "Kamu harusnya siapin sebutan untuk suamimu." ucap Dira pelan sembari mendorong kepalaku menggunakan telunjuk tangan kanannya, tepat di keningku. "Sayang..." ucapku malu, aku sendiri tidak ingin menyebutkannya namun aku berusaha agar Dira tak semakin marah padaku. "Kamu mau aku muntah mendengar kata itu dari mulutmu?" jawab Dira yang lagi-lagi meninggalkan luka di hatiku. "Aku akan memanggilmu sesuai keinginanmu, sebutkan saja apa maumu." ucapku pelan, aku frustrasi dengan keinginan suamiku ini. "Baiklah, aku akan menghukummu kali ini." ucap Dira, aku terperanjat mendengar kata-katanya barusan. "Aku panggil mas saja ya.." ucapku sedikit manja, berharap Dira tak akan menghukumku. Dira tampak diam, setelah itu melirikku tajam. "Bersikaplah layaknya seorang istri di depan ayah sama ibu. Kalau kamu tidak ingin aku menghukummu." ucap Dira yang membuatku merasa lega, syukurlah pikirku. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD