Pagi hari ...
“Ayah, pria 30-an berjanji memberiku banyak uang setelah aku dicabuli kemarin malam.”
“Nak?! kamu baik-baik saja, Nak? Kamu dicaabuli .?! Mana pria pedofiil itu?”
“Hah pedofiil? Apa itu pedofiil, Ayah?” tanyaku pada ayah seraya menyentuh kaos ayah yang berlubang.
“Pria 30-an yang menjanjikanmu banyak uang itu ..! Mana pria itu? biar ayah beri pelajaran!” ujar ayah, tak menatap mataku. Ayah masih sibuk memeriksa keadaan tubuhku.
“Ha, ha .. pria 30-an bukan pria pedofiil, Ayah ... pria 30-an adalah malaikatku, Ayah” ucapku lagi, kulingkarkan jemariku di lubang-lubang kaos ayah lalu kuarahkan jariku yang berbentuk lingkaran ke lampu jalan yang mati. Seketika, aku terkekeh melihat jariku.
“Kamu gila ya, Nak? Dia udah bertindak caabul sama kamu .?!” tanya ayah dengan alis terangkat. Garis biru yang menebal di matanya, menatapku.
Aku pun menggeleng seraya menurunkan tangan lalu menjawab pertanyaan ayah, “Bukan .. Pria 30-an tidak bertindak caabul, Ayah ... Maksudku, pria 30-an itu adalah malaikat berupa pria berusia 30 tahun yang menyelamatkanku dari aksi pencaabulan, Ayah”
“Hah, malaikat? Mana malaikatmu ... kamu mimpi ya?” tanya Ayah lalu terkekeh seraya menggelitikku. Aku benar-benar bahagia karena ayah.
“Enggak, aku gak mimpi, Ayah ... Malaikatku itu beralis tebal, bertubuh tegap, bergigi tajam, ha ... ha ...,” ujarku, bergurau tentang gigi. Aku pun kembali melanjutkan kalimat seraya jariku menarik bibir untuk unjuk gigi, “Canda Ayah ... tapi serius, aku sangat terpukau dengan gigi-gigi malaikatku, Ayah. Giginya sangat putih mengkilap dan bersinar seperti lampu kota, tidak seperti gigi ayah,” tuturku, masih menarik pipi, tertawa.
“Ah, yang benar saja kamu, Nak ... memangnya apa yang dilakukan malaikatmu sampai-sampai kamu panggil dia 'malaikat’,” ucap ayah, mulai tak meladeniku. Ayah sibuk dengan koin-koin di kaleng.
“Ya, karena malaikatku baik sekali, Ayah. Malaikatku rela duduk di tumpukan kasur kardusku, rela mengenggam tangan dekilku, juga rela mengelus punggungku untuk menenangkanku ... Malaikatkulah yang menyelamatkanku dari aksi pencaabulan, Ayah.”
Ayahku diam, tak bersuara, masih sibuk menghitung koin-koin tak berguna.
Walaupun tak didengar ayah, aku tetap melanjutkan cerita seraya mengeruk tanah di samping kasur kardusku, “Suara malaikatku sangat berat dan gagah, Ayah. Sangat maskulin ..!” ucapku lalu ayahku menatap tajam mataku. Aku tercengang menatap ayah.
Diguncanglah bahuku berkali-kali oleh ayah lalu ayah kembali berbicara seraya memegang kedua pipiku, “Kamu beneran dicaabuli sama malaikatmu itu ... Kamu mimpi?” tanya ayahku, terkejut. Matanya terbuka lebar begitu juga mulutnya. Aku malah ingin tertawa melihat mulut ayah yang menganga.
“Tidak .. tidak, Ayah ...,” ucapku seraya melepaskan pegangan Ayah lalu aku pun melambai-lambaikan tangan yang penuh tanah pada Ayah seraya kembali berucap, “Yang mencaabuliku adalah om-om asing. Sedangkan yang menyelamatkanku adalah malaikat-pria 30-an ...,” ucapku, kerepotan menjelaskan pada ayah.
Ayah tidak meresponsku, hanya terdiam, tetapi tidak dengan matanya. Mata ayah melirik pada buah jingga yang terjatuh dari pohon tinggi di sebelah pohon kayu. Langsung saja, ayahku berlari-menghampiri buah itu sementara aku, aku hanya mengerutkan kening lalu kembali menusukkan jari ke tanah dalam-dalam.
“Udah ayah lempar-lempar pakai batu kemarin, tapi gak jatoh-jatoh juga kelapanya. Syukur sekarang jatoh sendiri,” ucap ayah seraya menghampiriku lagi.
Aku hanya bersitatap dengan ayah lalu tiba-tiba saja ayah memunculkan seringainya seraya bebicara, juga mengangkat tinggi-tinggi buah di tanganya, “Makan enak sekarang!” ujar ayah, gembira.
Aku tak merespons ayah, aku hanya menarik nafas lalu berdiri seraya membersihkan tangan penuh tanah di kaosku. Kuinjak-injakkan kaki dekilku di tumpukan kasur kardusku. Lalu aku berbalik dan melangkah.
“Kau mau kemana, Nak?” tanya ayahku, suaranya cemas.
Aku pun kembali berbalik lalu mengambil kaleng seraya bergumam, “Pergi.”
“Jangan bertemu dengan malaikat-pria 30-an itu, tidak ada manusia baik jaman sekarang. Semua hidup karena uang, pasti ada maunya saja ... hei, kau tidak makan atau menunggu ibumu, dulu?,” gumam ayahku. Aku pun melangkah lambat.
“Jangan percaya pria yang hanya memberi janji apalagi janjinya sebatas uang ... Nak, bahaya!” teriak ayah dari kejauhan. Aku tetap meninggalkannya.
***
Ayah tidak mengerti maksudku walaupun begitu setidaknya ayah mau mendengar cerita singkatku.
Aku perempuan berusia 15 tahun, tinggal di dekat pohon, senjataku hanyalah tumpukan kardus dan kaleng. Aku seorang pengemis di pinggir jalan ibu kota. Setiap malamnya saat melakukan kegiatan rutin di pinggir jalan, aku selalu menerima aksi pencaabulan dari Om-om asing. Syukur saja kemarin malam aku diselamatkan malaikat dari om-om asing-pengecut. Sebelumnya aku belum pernah diselamatkan, biasanya aku hanya berlari lalu menyeberang dan berlari lagi sampai pengecut itu tak bisa mengejarku. Begitu saja cerita singkatku.
Dan cerita singkat lainnya, orang tuaku juga pengemis, mereka mencarikanku makan sedari siang hingga malam, hanya di malam-pagi aku bertemu orang tuaku, sehingga di waktu lainnya, aku harus berkelana sendirian di tengah ibu kota. Akhirnya saat aku berusia 8 tahun, aku memutuskan untuk menjalani kegiatan rutin mengemis di pinggir jalan ibu kota.
Begitu saja cerita singkatku, aku sudah ditakdirkan untuk melanjutkan kehidupan sebagai seorang pengemis. Aku tidak tahu mengapa keluargaku mengemis karena aku sedari lahir sudah ditakdirkan seperti ini. Aku harus tetap melanjutkan takdir karena begitulah takdirku, aku tidak akan melawan walaupun aku harus mengemis di pinggir jalan ibu kota dari siang sampai malam.
***
Malam hari ...
Malam yang dingin, aku tak menerima satu pun koin sedari siang. Langit mulai memunculkan adiwarna gelap bersanding sempurna dengan bintang terang.
“Huh,” Aku mendesah karena tak satu pun pengemudi atau penyeberang memperhatikanku di pinggir jalan.
Kedua kakiku terbuka lebar, menginjak aspal jalanan, aku menatap kanan lalu bersitatap lurus pada kelokan gang di ujung sana. Aku menoleh ke kiri, menatap puluhan mobil mewah lewat begitu saja.
“Di mana malakaitku?” desahku lagi, aku masih duduk di jalan berbata merah, menunggu jawaban. Sayangnya, desahku kalah kencang dengan desau alam yang mulai membungkus jalan raya.
“Apa malaikat juga seorang pengecut?”
Kurasakan tubuhku menggigil sama seperti keseharian malamku.
Beruntung saja tumpukan kasur kardusku masih berserakan di pinggir jalan, sehingga aku bisa menggunakan benda kumuh itu sebagai alas dudukku, menghindari dinginnya trotoar yang menghantam bokongku.
Tak ada seragam hitam-hitam, tak ada seringai hebat, atau pun alis hitam tebal yang terangkat di kening. Semuanya tidak ada, aku hanya duduk sendirian di trotoar.
“Mana janjimu, Malaikatku?” tanyaku pada beberapa pengemudi motor yang kencang berlalu lalang di hadapanku.
Aku pun mengulurkan telapak tangan ke depan, berharap mendapat sedikit koin seraya kembali bergumam, “Katanya kau akan datang, Malaikat ... di mana kau, Malaikat?”
Hanya suara mesin dan juga klakson yang menjawab pertanyaanku. Begitu juga lampu jalan.
Lampu jalan yang biasanya hidup, sekarang malah memadam sama padamnya dengan hatiku.
Perutku mulai keroncongan. Sedari pagi, satu biji nasi basi pun belum masuk ke mulutku.
“Malaikat tidak datang, benar kata ayah.”
Aku pun berdiri lalu memunguti tumpukan kasur kardusku, tak lupa juga kuambil kaleng untuk ikut pulang bersamaku. Aku pun pulang ke rumah dekat pohon.
Aku tak tahu sampai kapan aku harus menunggu malaikatku untuk datang mengabulkan janjinya.
***
3 bulan selanjutnya ...
Esok, esok harinya lagi, dan terus esok-keesokannya, aku masih melaksanakan kegiatan rutinku, yaitu duduk di pinggir jalan yang sama, bersitatap di depan lampu terang ibu kota seraya berharap kedatangan malaikat yang tak kunjung datang.
Mungkin aku harus menunggu sampai gigiku kering atau loncat ke tengah jalan raya atau harus dicabuli lagi si pengecut agar malaikat itu datang.
Atau mungkin, aku harus menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya aku lelah menunggu.