“Aku sing wani dewe yo, Mas. Ndak apa-apa naik motor sendirian.” Rengek gadis itu. Karena sekarang, Nobelia sedang berdiri di pinggiran terminal Tawangmangu, dan punggungnya menggendong tas ransel seberat 23 kilogram. Sembari Nobelia merengut-rengut bete, kaki-kakinya pun aktif menendang batu kerikil.
“Aku iso motoran sendiri. Ngebut ke Magetan sih masalah kecil, Mas! Berani suer deh.” Nobelia mengacungkan jari telunjuk dan tengah. Jangankan jarak dekat, bolak-balik Solo-Tangerang saja pernah ia lakoni tanpa istirahat, kok. Naik MTT Gas Turbine Superbike, yang dijuluki Most Powerful Motorcycle Ever to Enter Series Production itu, lho. Sebuah trail dari jenis enduro adventure sih lewat!
Laki-laki berambut gondrong di samping Nobelia menghela napas frustasi, sudah satu jam ia didesak tak karuan member Green Heaven Batavia itu. Tidak manja sih, tapi sifat tak sabarannya itu merepotkan. Berulang kali sudah diyakinkannya kalau rombongan dari Solo bakal sampai tak lama lagi, tapi kepala batu si gadis cantik rupanya sulit ditembus sebuah kompromi sekali pun. Lagipula, tidak etis membiarkan anak gadis mengendarai motor trail sendirian. Sementara banyak pemuda siap jadi ajudan pribadi, mboncengin.
“Lha, lha, kan yang mau muncak itu banyakan toh temen-temenmu. Yang dari kota Semarang juga masih dalam perjalanan. Yo tunggu sebentar lagi bisa, ndak? Aku isin sama romomu.” Alibinya keren, Nobelia takkan sanggup berkutik jika nama Azam sudah disambit ke permukaan.
See, gadis itu pada akhirnya hanya memilih bersidekap sembari mengembungkan pipi, lalu duduk lagi di atas kramik terminal, berselonjor kaki, masih ngambek. Ah, menyebalkan sekali! Semua keterlambatan ini gara-gara rombongan UKM Mapala dari UNS yang entah nyangkut di mana dulu. Mungkin mereka semua tenggelam di Kaliurang?
“Mas Bowo, kalau mereka belum datang juga, aku pokoknya mau naik motor duluan saja. Biar aku nungguin temen-temenku di warungnya Sardi. Tak bawa trailmu ke sana poko’e!” Kali ini Nobelia mengancaman. Salah siapa melewati batas waktu yang sudah disepakati bersama? “Aku poko’e—”
Suara dari derum motor-motor, garang menginterupsi omelan Nobelia. Dari tikungan jalan, kendaraan roda dua muncul satu demi satu beserta para penunggangnya. Paket lengkap dengan mengenakan atribut seperti pembalap Moto GP. Nobelia kemudian berdiri, berkacak pinggang, siap-siap menyemburkan lava yang sudah bergolak di dalam tempurung kepala.
Ban motor bagian depan pun berdecit dekat mata kakinya, hampir melindas ujung sepatu hiking Nobelia kalau saja pengemudinya tidak terlalu mahir. Tanpa harus repot melepas helmnya, Nobelia sudah tahu siapa orang itu.
“Hah, orang bilang ketua BEM-J itu pandai mengatur waktu, on-time, tapi apa buktinya? Kamu membuat pendakian hari ini ngaret dua jam tahu! Dua jam! Nyari gula jawa dulu di alun-alun Solo ya kalian semua?” Sembur Nobelia dengan tak main-main. Alih-alih tersinggung, rombongan Mapala UNS justru malah tertawa, cekikikan, pemuda somplak di hadapan Nobelia bahkan ikut-ikutan. “Hebat, ya! Kalian semua masih sempat-sempatnya menertawaiku!” Alis gadis itu keriat-keriut.
“Hehe iya, habis wajahmu lucu banget sih kalau lagi marah. Kayak panda mau lahiran.” Jawaban itu bikin kesal/
Hah! Nobelia menyipitkan mata, berpikir ekstrem mau menyarangkan bogem mentah ke mukanya Asyaddi. Tapi tidak jadi, kasihan karena minggu depan pemuda itu punya jadwal rapat bersama seluruh jajaran anggota BEM.
Kemudian—
Tak ada kilatan petir menghujam di siang bolong, tapi awan mendadak benderang kala seorang pemuda turun dari boncengan Asyaddi. Dengan amat sok keren gayanya. Sosok gagah yang luput dari perhatian Nobelia beberapa menit lalu itu menyopot pelindung kepala. Gerakannya sangat luwes, dan jujur saja; mengesankan. Lensa matanya mungkin mengandung zat dopamine, hingga kelopak mata di kedalaman sana mampu memproduksi endorphin berlebih. Yang secara mistis telah menimbulkan sebuah perasaan tenang. Lantas, satu senyum kecil yang dilukis dengan sengaja itu mendebarkan, terasa menghantar listrik ke aliran darah Nobelia.
“Assalammu’alaikum.” Ucapnya. “Apa kabarmu, Nona bunga daisy yang dirahmati Allah?”
Bukan saja kedua matanya menyimpan daya tarik karena bernuansa teduh, tajam dan cemerlang dalam satu momen, namun juga suaranya sanggup menyeret indera Nobelia menuju lembah keterpikatan. Pria ini pernah hiking bareng dengannya, lalu mengumpulkan segenggam daisy di puncak Prau dulu, dan menyerahkan seikat yang indah itu padanya. Jadi, mana mungkin Nobelia lupa?
Nobelia cepat-cepat menyadarkan diri dari perasaan asing itu. Hey, Nobelia, ingatlah baik-baik siapa pemuda tengil itu! Dia adalah tukang gombal, tukang rayu, tukang tebar pesona sana-sini dan Nobelia takut terpesona sungguhan.
“Oh? Aku sehat sampai mampu membawa beban berat ini, menunggu kedatangan kalian berjam-jam lamanya bukan masalah besar. Jadi—aku sangat sehat.” Nobelia lalu mengedikkan punggungnya dengan tak acuh, nada sarkasmen itu mengundang kedutan geli dari mulut orang-orang. Ya ampun, sungguh tak ada siswi SMU seumuran itu yang begitu seberaninya pada mereka; Abang-abang gahar yang suka naik gunung dan motor trail.
“Kamu bisa lihat kalau aku tidak berkendara sendirian saja.” Pemuda itu lantas merapikan helaian rambut yang menempel di atas dahinya, karena tetesan keringat. Dan di mata Nobelia, itu seksi sekali. “Keterlambatan ini disebabkan olehku, jadi kamu hanya boleh marah padaku. Andai ban motorku tidak pecah di jalan, kamu pasti sudah berada di puncak Lawu sekarang.” Kedipan mata pemuda itu seperti blitz kamera paling menyilaukan sedunia. “Yah, meskipun kenyataannya begitu, bukankah tak baik umat Tuhan sepertiku berandai-andai? Kalau begitu mari, lekas kita hilangkan kerutan kesal di wajahmu itu.”
Tahu-tahu saja, pemuda itu sudah berada tepat di samping Nobelia, membuat pegangan tangannya di motor trail hijau Mas Bowo terlepas. Kendaraan roda dua itu diambil-alih secara cepat darinya, dan Nobelia tak kuasa menahan jengitan.
“Mau apa kamu?”
“Apa lagi? Membawamu menuju Cemoro Sewu, tentu saja. Aku memerlukan motor trailku yang kamu pegang stirnya itu.” Kekehan panjang itu pun mengakhiri kalimatnya. Nobelia merengut, ia kira tadi motor itu milik Mas Bowo. Huh, pantas saja si Om-om gondrong itu tak mengizinkannya mengendarai motor tersebut. “Atau kamu mau aku bawa ke KUA?”
Kalau jantung bisa erosi, mungkin Nobelia tengah mengalaminya sekarang. Ditinggal melamun sebentar doang, si cowok rese itu sudah sukses bikin onar lagi! Mama, kenapa anakmu bisa ketemu begundal ini lagi sih, Nobelia meratap dalam hati. Godaan-godaan receh yang dilemparkan untuknya bikin gerah. Dasar, setan gombal receh!
“Haha! Lucu.” Nobelia jalan duluan, lalu mengentak tanah. Marahnya itu bikin gemas.
“Gadis Daisy, jadi kamu pilih jalan kaki daripada naik motor bersamaku?” Mesin trail itu masih tak dinyalakan oleh si pemuda, dia dengan menjengkelkannya kini malah menyejajari langkah-langkah lebar Nobelia dengan kaki mendayung.
Nobelia jelas enggan melirik, masa dari sekian banyak anggota Mapala, ia harus menyerah dalam boncengan laki-laki itu? Ah, padahal Nobelia berharap mereka tak akan ketemu di pendakian kali ini.
“Tidak ada lagi tumpangan kosong di belakang sana loh, Nona. Kamu bisa lihat motor-motor trail itu sudah penuh sesak, dan satu-satunya pilihan untukmu menumpang hanyalah aku.” Ketika Nobelia melirik galak, lelaki itu tengah mengulum senyum penuh kemenangan. Tak adil sekali, mana ada senyum manipulatif bisa jadi sebegitu gantengnya dipandang mata!
“I’m yours now, the one and—“
Nobelia memutar bola mata, super kesal, “Siapa sih kamu, dasar menyebalkan!”
Seringai lebar pun menghiasi paras pemuda itu, “Aku Saif. Saif Ali.” Nada bicaranya jenaka, dia mengirim sebuah sinyal-sinyal kehangatan yang membuai. “Bukankah kita tak sempat berkenalan secara wajar? Kamu selalu punya alasan menolak berjabat tangan denganku. Aku kira Galunggung dan Prau bakal membuka kesempatan itu untuk kita, tapi kamu sama kerasnya seperti batu-batu di sana. Sekarang, instingku mengatakan jika Lawu akan merubah segala keadaan aneh di antara kita. Dimulai dari siapa namamu, Gadis Daisy?”
Nobelia tergoda memberi satu jawaban paling manis di bumi, namun akal sehatnya menolak. Gadis itu masih punya banyak stok kalimat pedas buat bahan pelajaran agar pemuda itu sadar, kalaulah—tidak semua perempuan suka digombali seorang laki-laki. Titik.
“Haruskah aku jawab, sementara teman-temanmu itu lantang memanggil namaku?” Nobelia menantang.
“Kan, sudah kubilang, Gadis Daisy. Aku hanya ingin kenalan denganmu pakai cara yang umum.” Tekannya dengan gemas. “Apa itu terlalu sulit bagimu? Atau kita langsung jadi teman saja dan kamu dinner bersamaku?”
“Nobelia.” Gadis itu akhirnya menyahut pendek, akhiri secepat mungkin daripada ia harus terus-terusan mendengar ocehan melantur pemuda itu.
“Suaramu seperti suara semut.” Si pemuda kian usil.
“Nobelia.” Jawab Nobelia sekali lagi.
“Ya?” Saif masih pura-pura tak dengar apapun.
“Nobelia Tanzil Wiratama, dengar?!” Sahutan galak itu pun tak pelak memancing reaksi yang lucu.
Saif memahat gelegar tawa yang tak luntur ketika mengatakan, “Oke, Nobelia, aku senang mendengar namamu itu, lewat dirimu.”
Nobelia tidak mau apa-apa sekarang, ia cuma ingin banyak-banyak beristighfar saja. Rasanya, sangat tidak tahan lama-lama bicara dengan pemuda bernama Saif ini. Kesal!
***
Setengah jam mereka menempuh perjalanan darat menggunakan trail enduro adventure, menuju basecamp Cemoro Sewu. Iring-iringan kendaraan itu disuguhi pemandangan berbukit yang sangat menakjubkan. Lahan-lahan perkebunan milik warga mengumpang, saling tumpang tindih namun juga teratur. Persawahan hijau membentang ikut memanjakan mata mereka. Membuat perjalanan terasa begitu cepat, melesat-lesat terpindai oleh retina. Namun, Nobelia menyayangkan karena ia harus satu motor dengan si pria menyebalkan; Saif.
Di tengah perjalanan itu, si Saif bertanya, “Kamu baru pertama kali ke Gunung Lawu?”
Nobelia menggumam malas sebagai jawabannya, dan berharap Saif tak usah tanya-tanya apapun lagi. Malas sekali sih mesti berbicara dengan dia.
Tapi Saif lagi-lagi ngeyel, “Nanti, aku ingin mengajakmu turun melalui Cemoro Kandang.”
Nobelia langsung membalas, “Kamu pikir aku mau?”
Saif tak bisa tidak tertawa, bunyinya renyah ditemani oleh deru angin. “Aku yakin kamu tidak akan menolak. Selain lebih indah, Cemoro Kandang dipenuhi banyak misteri. Kamu pasti belum melihat kupu-kupu hitam bercorak ungu.”
Oh, Nobelia merinding. Kata orang, kupu-kupu hitam Gunung Lawu bukanlah kupu-kupu biasa—namun sebuah jelmaan, penjaga gunung, sama seperti burung jalak sang penunjuk jalan bagi para pendaki yang tersesat. Konon burung jalak tersebut adalah Kiyai Jalak. Yah, apapun mitos yang ada tersebut, pokoknya Nobelia percaya Gunung Lawu diciptakan oleh Allah. Tuhan-Nya, dan segalanya diatur oleh-Nya.
“Aku tidak mau jalan denganmu! Dasar kamu tukang gombal!” Sembur Nobelia.
“Begitukah? Tapi mau tidak mau kamu bakal jalan sama-sama bersamaku mendaki Cemoro Sewu. Melewati setiap spot-spot seperti hutan, rerumputan, batu, sendang serta kolam, sampai tanjakkan cinta, Gadis Daisy. Dan kita lihat saja nanti, bagaimana kamu dan aku akan melangkah bersama melewatinya.” Ujar Saif dengan percaya diri, dan panjang lebar.
Angin kini menampar-nampar wajah Nobelia dengan lembut, menggelitiknya. Dan ucapan Saif membuat ulat di tubuh Nobelia menggeliat. Uh, kok respon tubuhnya aneh gini sih?
“Sudah deh, kamu fokus saja ke jalanan dan berhenti bicara macam-macam.” Sahutnya ketus. “Aku tak tahu berapa umurmu, tapi kamu kekanak-kanakan sekali.” Dikatakannya sangat hati-hati supaya pria itu tak bisa dengar.
“Umurku sekarang 25 tahun. Kenapa? Kamu mau mencocokannya denganmu, gadis 17 tahun?” Saif menyerobot cepat. Rupanya, telinga pemuda itu setajam kelelawar juga, dan mungkin mereka sama-sama mampu menangkap gelombang ultrasonik. Dan kalau Saif lihat spion, dia bakal menemukan raut Nobelia yang super weird.
Gadis itu melipat kedua tangan di depan d**a seperti origami bangau yang angkuh, “Aku belum 17 tahun, ulang tahunku 3 bulan lagi.”
“Oh, gadis musim panas. Tidak mengherankan kalau kata-katamu menyengat seperti matahari.” Itu bukan sebuah sindiran, ada senyum dalam suaranya. Tapi tetap saja Nobelia cemberut, secara tidak langsung Saif mengatainya perempuan bermulut jarum.
“Sok tahu kamu ini! Pernah nonton Maze Runner enggak? Aku ini badai matahari, dan kata-kataku meluluh lantakkanmu seperi itu.” Serang Nobelia.
“Wow, aku menunggu diluluhlantakkan olehmu.”
Nobelia ingin sekali membelah kepala Saif pakai golok Salanungga. Lalu mencongkel otaknya dan meneliti lipatan di sana menggunakan mikroskop untuk membuktikan jikalau ada sel-selnya yang memang terganggu. Saif mungkin penduduk Saturnus yang terusir ke bumi akibat keseringan mengganggu gadis-gadis setempat.
Well, lupakan soal Saif dan segala keabsurdannya yang menjengkelkan itu. Sebab, mereka kini telah memasuki area Cemoro Sewu yang tempat parkirnya dipadati oleh motor dan mobil. Banyak orang lalu lalang membawa secangkir wedang jahe, atau semangkok mie rebus dari balik tenda warung yang berjejer di sepanjang jalan. Nobelia turun dan melepas helm pinjamannya lalu menyurukkannya ke d**a Saif.
“Aku rasa kamu tipe yang suka mengagungkan komitmen basa-basi, jadi Kudanil, aku ucapkan terima kasih atas segala kebaikanmu semenit lalu.” Ucap Nobelia.
Gemerisik dedaunan di antara ranting puspa seolah mengolok-ngolok Nobelia, merujuk pada ucapan tak ikhlasnya itu. Kalau saja Saif sensian, Nobelia mungkin sudah ditendang ke Sendang Drajat, biar berenang bareng ikan-ikan gaib saja sekalian.
“Simpan saja ucapan itu, sebab kehadiranmu jauh melebihi esensi dari terima kasih itu sendiri.” Saif membalas kalem. Tidak salah jika Nobelia mencap pemuda itu sebagai playboy, sebab senyum nakal yang tersungging di bibirnya mengalahkan bastard sejati se-Italia. “Kamu yang bersedia terduduk di belakang punggungku adalah alasannya. Terima kasih karena telah sudi mengisi sisiku yang kosong.” Sambung pemuda itu.
Nobelia jerih diperhatikan intens dari ujung kepala sampai kaki, daya akomodasi pengelihatan Saif fantastis, seolah sedang mengulitinya hidup-hidup.
“Dan aku kira, semua bidadari itu bersayap. Punya sepasang sayap yang membentang dari ujung ke ujung. Tapi ternyata, bidadari zaman sekarang tidak lagi sama, ya. Mereka menggendong tas ransel berkilo-kilo beratnya. Seperti kamu sekarang ini; Bidadari Backpacker.”
Ada ketertarikan macam apa Saif dengan gadis SMU macam Nobelia? Mau membuat gadis itu terserang diabetes sejak dini? Well, daripada susah-susah mencari jawaban, lebih baik Nobelia cepat mengenyahkan diri saja dari hadapan pria itu. Nobelia pusing, dan kehadiran Saif malah memperparah sensasi kleyengannya.
Basecamp Cemoro Sewu terkenal kecil seperti pondok Smurf, tetapi halamannya sangat luas. Seperti landasan pesawat terbang. Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Luar biasa sekali, belum-belum, sudah banyak pendaki yang gemetaran karena dingin, padahal tubuh mereka dibungkus hoodie dan jaket yang tebal. Dari jarak beberapa meter, Nobelia bisa melihat setengah lusin dari rombongan Green Heaven Batavia melambaikan tangan padanya. Berteriak penuh energi. Nobelia seperti dibakar semangatnya agar cepat menepi, rombongan Mas Bowo yang jalan paling awal disalipnya. Nobelia tak sabar menikmati sepiring nasi soto, pisang dan goreng talas. Gadis itu pun mendongak untuk menghalau terik matahari demi menatap kemegahan sang Lawu di depan sana.
Nobelia takjub sekali. Kreasi Allah begitu mewah dan mengundang untuk segera dijelajahi, “Yup, I am here finally, it’s always further than it looks. It’s always taller than it looks. And—it’s always harder than it looks.”
“Abangmu nggak ikut muncak, Nobel?” Kokolot GHB itu menyapa duluan, namanya Topan. Orangnya tinggi besar seperti Troll, tapi dia tidak bodoh. Mahasiswa yang kuliah di jurusan Pemetaan dan Geodesi itu malah cerdasnya minta ampun. Nobelia pun cengengesan setelah tidak lupa cium tangan. Baginya, Topan sudah dianggap seperti Guru pribadi sendiri, untuk mengenal alam lebih dekat lagi.
“Nggak, Mas. Soalnya Papa sudah ngirim Abang ke nerakanya dunia.” Itu artinya pada sebuah misi. Candanya. Topan manggut-manggut seperti burung perkutut, lalu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
“Kita berangkat 30 menitan lagi. Nah, sebelum itu lebih baik kamu isi perut dulu. Anak-anak sudah pada selesai makan. Tadi sudah Mas pesankan soto ayam.”
Tak perlu disuruh dua kali, Nobelia langsung melesat penuh semangat. Di ujung bangku berspotlight suram, Nobelia menemukan Kharisma Pandjie duduk menyendiri ketika ia menyibak tenda warung. Terhidang mug besar di hadapan cowok itu, yang kini mengepulkan asap. Dari baunya, Nobelia bisa mengirup perpaduan aroma jahe dan manisnya madu.
Eh, mungkin tapak kaki Nobelia terlalu merisihkan telinga hingga membuat lamunan Pandjie terganggu, ya? Mata itu kini menatapnya, kesayuannya mengingatkan Nobelia pada sebuah pagi tak bergerimis. Nobelia pikir begitu.
“Uh, eh, hai—” Sapanya sekikuk ketemu dengan orang asing, mendadak speechless. Nobelia memang biasa bekerja sama bersama Pandjie dalam organisasi sekolah, dan berinteraksi di luar itu jadi membuatnya bingung. Pandjie ini ketua OSIS di sekolahnya. “Apa kabar?”
Pandjie menunjukkan satu raut wajah paling sangsi sepulau Jawa. Sedetik, sebelum geliat alis tebal itu berubah jadi teduh. Tawa kecil menguar dari sela-sela bibirnya yang dipahat terlalu ramah, “Kabarku baik sama seperti saat rapat kemarin lusa. Aku agak kaget, kamu ternyata selupaan itu—padahal kinerjamu sebagai sekretaris patut diacungi jempol.” Pandjie menjawabnya, Nobelia mendadak merasa t***l sekali.
“Oh ya, aku lupa.” Kepalanya malah berputar seperti kipas angin, gagal menemukan kosa kata yang tepat.
“Duduk sini,” Pandjie menepuk slot kosong di sisi kirinya itu. “Kamu mau makan soto, kan? Ayo, kita makan bersama.”
Mula-mula, Nobelia meragu, namun pada akhirnya ia mengurai langkah jua. Ketika duduk manis di samping pemuda itu, sebuah spasi kecil memisahkan di antara ia dan Pandjie.
“Erh, apakah kamu sengaja menungguku untuk makan bersama?” Well, barangkali saja Pandjie berpikir ia gadis yang menyebalkan, yang terlalu percaya diri. Tapi mari kita gunakan kedua kata saja dalam kasus yang satu ini—masa bodoh.
Pandjie kemudian mengulum senyum, “Kamu pintar berspekulasi, dan aku senang tebakanmu tidak pernah meleset.”
***
“Suatu tempat antara wilayah bawah pendakian serta puncaknya adalah jawaban atas segala misteri mengapa kita harus mendaki. Maka, ingatlah selalu satu hal kawan-kawanku semua, bahwa sesungguhnya bukan gunung yang mesti kita taklukan—melainkan kita sendiri, diri kita.” Topan cukup bijaksana dalam memimpin perefleksian diri sehingga anggota Mapala dan Green Heaven Batavia menjadi kesatuan saat melingkar. Berjumlah 16 orang pendaki. Perempuan di sana hanyalah Nobelia serta adiknya Topan, Hilary.
“And the experienced mountain climber is not intimidated by a mountain, he is inspired by it.” Dan rombongan itu pun kini mengangguk-angguk, semua orang di sana tahu bahwa Topan memang pemuja William Artur Ward sejati.
“Maka tinggalkan kesombongan kita, sebelum kita mencicipi keagungan Tuhan lewat cipta-Nya. Satu hal itu tidak punya daya guna. Sebab setiap puncak yang baru didaki selalu mengajarkan kita akan sesuatu, dan percayalah, ilmu tak berdampingan dengan keangkuhan serta kesombongan ketika kita mampu mensucikan niat untuk beraktivitas.” Suara itu lebih menggema daripada suara Topan, lebih dalam, menyihir.
Nobelia menatap pemuda itu. Saif seperti seekor bunglon yang sangat pandai menempatkan diri dalam berbagai situasi. Hei, Nobelia, apakah itu berarti kamu terpesona pada pemuda itu? Gadis itu buru-buru menggelengkan kepala. Itu jelas tidak mungkin—alias dalam bahasa Inggrisnya; Impossible.
“Ada yang tidak kamu mengerti?”
“Heh?” Semua mata tertuju pada Nobelia ketika Saif melontarkan pertanyaan, jadi ia ketinggalan banyak hal karena sibuk berenang dalam pikirannya sendiri? Ya Rabbi, Nobelia kesal mengakui biangnya tak lain tak bukan; Saif. “Nggak ada kok.” Yup, everything it’s gonna be okay, setidaknya itu harapannya.
Setelah memanjatkan doa, pukul satu siang mereka pergi meninggalkan basecamp. Rombongan memulai perjalanan pertama menuju Pos satu Wes-Wesan yang bisa ditempuh selama 1-1,5 jam. Pada jalur ini treknya biasa saja. Tidak susah tidak juga curam. Tidak sesulit jalan Cirith Ungol menuju Gunung Doom, hanya saja pepohonan rimbun membungkus bagiannya, menjadikan suhu lebih dingin meski mentari masih benderang. Aneh, sinar kuning yang merangkak naik di atas angkasa itu tak mampu mengusir kabut dari sang Lawu. Seolah kabut-kabut itu telah menasbihkan diri sebagai sebuah teman setia yang mendampingi kesunyian gunung.
Terdapat pula lokasi bagus untuk tempat pendaki bercamping, sebab permukaan tanahnya ditumbuhi oleh tanaman perdu setinggi mata kaki. Ada beberapa tenda yang kala itu ditinggal pergi para penghuninya. Berjalan agak jauh lagi, mereka kini melewati perkebunan milik warga yang berpetak-petak. Bau tanah basah tercium menyejukkan rongga paru-paru, pembersihan alami dari pahangnya asap knalpot di kota metropolis.
“Sendang Panguripan.” Mendadak, Pandjie sekarang sudah bersisian dengannya, lalu menunjuk ke sumber air yang ramai-ramai dibidik oleh para pendaki. “Konon, sendang itu memiliki kekuatan supranatural. Sumber airnya sendiri sering sekali dimanfaatkan oleh peziarah untuk mencari kebaikan hidup. Mereka percaya kalau air yang ada di dalam sana itu pernah digunakan oleh Raden Brawijaya saat melarikan diri ke gunung. Katanya, airnya berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit.”
Mereka pun berpandangan, bertukar senyum. Nobelia tertarik pada penjelasan Pandjie, yang notabene sebagai anak kota, namun seolah berkewajiban menjelaskan mitos sendang tersebut padanya.
“Pendapatmu bagaimana? Sebab menurutku, di antara cara berpikir yang menyimpang dari kebenaran adalah percaya pada khurafat dan mitos.” Nobelia akhirnya mengemukakan suaranya, aneh memperbincangkan sesuatu dengan Pandjie di luar masalah organisasi.
“Memang, mitos itu sendiri adalah cerita-cerita yang tak terbukti kebenarannya. Seperti asal-usul suatu tempat, alam atau manusia, yang mengandung arti dalam dan diungkapkan secara gaib, yang nantinya bakal membentuk keyakinan tak punya landasan. Seperti apa yang kamu bilang tadi, percaya pada mitos dan khurafat pada hakikatnya adalah pemikiran masyarakat musyrik jahiliyyah, loh. Mereka bersandar pada keduanya hingga merusak akal dan begitu pula dengan teori keilmuannya, sehingga akidah dan muamalah mereka sesat dan menyesatkan karena sama sekali tidak pernah berpegang teguh pada wahyu Allah Ta’ala.” Pandjie memaparkan pemikirannya.
“Hmmm, jadi kusimpulkan, kamu berpendapat bahwa penyimpangan khurafat dan mitos terletak pada penisbatan terjadinya sesuatu meliputi musibah serta kemudahatan dan kemanfaatan kepada selain Allah. Baik itu tempat, benda, atau binatang—bahkan manusia, serta pula bangsa-bangsa jin dan lain sebagainya. Sebab anggapan tersebut bertentangan dengan prinsip dasar agama Islam.”
Pandjie tidak mengangguk, tetapi kini bola matanya berbinar seperti intan, “Selain menyelisihi penisbatan kejadian alam semesta selain kepada Sang Pencipta, Allah, kepercayaan terhadap khurafat serta mitos yang direalisasikan ke dalam bentuk ritual tertentu, misalnya saja sesajen maupun ruwatan untuk memohon kebaikan hidup, telah menyimpang dari prinsip Islam yang mengajarkan kita pada ketauhidan. Yaitu berdoa, untuk berlindung dari sebuah kesulitan hidup hanya kepada-Nya.” Pandjie pemikir yang konvesional, dan punya prinsip, jelas tak menunjukkan toleransinya pada kepercayaan semacam itu.
“Jadi, kamu tidak percaya dong, sama keangkerannya gunung ini, Dji? Nanti kena tulah sama penunggunya baru tahu, lho,” Wisnu, salah satu anggota GHB itu ikut angkat bicara. Mungkin, perbincangan Nobelia dan Pandjie sampai ke belakang. Ada yang menertawakan, ada juga yang bertampang serius. Pandjie sendiri santai saja, pemuda itu meraba-raba sisi ransel untuk meraih botol air.
“Kalau soal sikapku, aku menggantungkan hidupku hanya kepada satu-satunya Dzat yang mengatur segalanya di jagat raya ini. Wallahu.” Ucapan Pandjie sederhana, namun amat bermakna.
Kurang lebih setengah jam kemudian, mereka tiba di Pos I. Beberapa pendaki pun memilih beristirahat di warung makan. Sebagian menyeduh kopi, sebagian pilih tidur. Nobelia sendiri merasa butuh melemaskan otot punggung yang kebas alih-alih menyerbu gorengan hangat. Gadis itu cuma butuh minum, perutnya melilit karena hawa dingin. Selagi meneguk air mineral, tanpa sadar matanya bergerak mencari-cari, melirik ke sana ke mari berusaha menemukan—sepenggal nama itu menggantung di tenggorokan. Sekejap saja Nobelia menyesal sekali. Sebab pada saat bersamaan, manusia ganjen satu itu juga tengah menatapnya lekat. Di sela-sela antrian kasir, si Kudanil itu membuat gerakan tangan dan mulut yang Nobelia simpulkan menjadi sebuah kalimat penuh kepedean seperti misalnya, merindukan aku?
Kontan saja, gadis itu membalas pakai gerakan neck slice ke sisi lehernya. Nobelia menjauh, keluar dari warung demi menghirup udara segar. Ah, paru-parunya yang tadi tersumbat terbebaskan sudah. Terlebih, organnya itu tidak perlu lagi kembang-kempis gara-gara ditatap Saif lama-lama.
Sekitar satu jam rehat, mereka melanjutkan perjalanan menuju Pos II Watu Gedeg, yang bisa ditempuh dalam kurun waktu 1,5-2 jam. Pada jalur pendakian kedua ini, mereka bertemu dengan bebatuan besar yang dinamai Watu Jago. Dan mulai dari Watu Jago, hanya ada batu-batu besar menghiasi sepanjang mata memandang. Namun bebatuan tersebut adalah bebatuan yang sudah ditata khusus untuk didaki, katanya sih persembahan dari masyarakat setempat. Karena jalurnya cukup mudah, dalam ukuran kecepatan pendaki yang berpengalaman mereka mampu menyingkat waktu tempuh menjadi 1 jam 20 menit saja. Lalu kembali beristirahat di Watu Gedeg untuk isi perut. Lagi. Hawa gunung yang dingin itu memang membuat mereka cepat lapar.
Kenyang, rombongan kembali memutuskan untuk berlanjut menuju Pos III Watu Gede yang bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan. Pada jalur ini, trek mendaki sudah mulai berat. Banyak bebatuan tajam dan tepi jurang yang menghadang di tengah jalan. Untungnya cuaca menjelang sore itu cerah berawan. Coba bayangkan kalau saja hari itu turun hujan, jalan di depan akan sangat licin. Terik matahari di atas langit perlahan meredup, hendak menutup diri. Sebentar lagi bakal tenggelam dan menghilang di ufuknya.
Beban di atas punggung Nobelia mulai mempengaruhi konsentrasinya dalam melangkah, beberapa kali dia merasakan lengannya mengalami kesemutan. Ujung pundaknya itu bahkan serasa ditikam oleh tombak. Gadis itu meringis ditingkat ia tak mampu menahan kebas yang mengalirinya.
“Kemarikan ranselmu, biar aku yang bawa.” Tanpa menoleh, Nobelia tahu siapa yang bicara. Sebab langkah orang itu kini berada di sisinya. Namun, Nobelia merasa tidak perlu menggubris apapun. Ia cuek saja menikung tajam di tanjakan.
“Nobelia, kubilang ranselmu.” Kalimat yang tegas itu bikin merinding. Saif tidak pernah memanggil namanya, dan mendapati ucapan bernada retoris tersebut membuatnya susah mengeluarkan karbondioksida. Bisa galak juga si Saif itu.
“Aku tidak apa-apa.” Jawab Nobelia.
Tapi Saif juga keras kepala, “Lenganmu cedera!”
Dengan acuh tak acuh, kakinya hendak menggapai pijakan yang berundak-undak, sembari menopang lengan pada bebatuan besar di kanan kiri jalan. Namun apalah daya jika tapak sepatu yang melicin bekas melintasi lelumutan itu malah menggeliat. Nobelia memekik kaget, enggan menjerit meski pada akhirnya harus tersungkur. Tidak, tapi nyatanya ia tidak terhempas jatuh. Seseorang telah merengkuh tubuhnya dengan sigap. Kokoh, serta tidak tergoyahkan. Padahal sedetik yang lalu, Nobelia hampir yakin kepalanya bakal membentur batu di bawah kedua kakinya, terbelah dua dengan mengenaskan kalau saja ia tidak dipeluk erat-erat.
Dipeluk?
Kerikil di sepatu mereka spontan berjatuhan ke bawah sana, menerjunkan diri ke permukaan yang miring. Karena itu pula Saif memaki, “Apa kepala kerasmu itu mau kuhancurkan pakai palu, hah?!” Pemuda itu dengan garang membentak.
Ini amat gawat. Ketika kaki Nobelia mencari tempat berpijak yang aman agar segera melepaskan diri, bebatuan kecil justru kembali menjebaknya—membuat kaki Nobelia panik mengais-ngais. Tubuh Saif jadi ikut merosot akibat tekanannya tersebut. Tanpa bisa dicegah lagi, kedua tubuh mereka jatuh berguling-guling. Nobelia memejamkan mata, menghindar dari serangan batu-batu yang beterbangan ke wajah dan badannya saat itu juga. Beruntung, lengan Saif protektif melindungi dan menyandarkannya ke dalam dekapan d**a. Agar Nobelia tidak usah lihat pemandangan ngeri jatuh dari ketinggian 10 meter.
Mereka mendarat dengan suara yang berdebum keras ke pasir. Sebetulnya, Saiflah yang menimbulkan suara gaduh itu. Bagian punggungnya membentur permukaan pasir yang kasar, tempurungnya juga menghantam batu. Erangan pendek laki-laki itu terdengar kesakitan dan tersiksa. Nobelia meringis ngilu, tubuhnya membeku dalam dekapan Saif. Tak mampu bergerak karena terlalu takut, jarinya bergetar mencengkeram jaket parasut Saif.
“Kamu baik-baik saja, huh?” Saif meremas pundak gadis itu. Dicobanya menemukan wajah Nobelia, tapi gadis itu bersembunyi di dengan lekat di d**a. Saif mendudukkan diri karenanya, dan otomatis Nobelia tersampir di pundaknya. Saif seakan menyentuh boneka karet yang tak bernyawa.
Tahu kondisi makin tak kondusif, diraihnya bahu gadis itu. Tidak kasar, namun tegas. Aksentuasi yang beratributif berbeda. Sekejap ia bisa melihat wajah pias Nobelia yang mirip lilin karena terlalu pucat. Gadis itu terlihat sulit menemukan kesadaran bagai penderita avitaminosis.
“Hei? Lihat aku, tolong, Nobelia, lihat aku!” Saif merangkum wajah Nobelia, “Gadis Daisy, tolong kembali padaku.” Desahnya putus asa, jiwa Nobelia seolah-olah telah tercerabut dari dalam raga. Saif frustasi pada kekosongan yang menghuni manik cokelat itu.
“Nobelia.“ Panggil Saif sekali lagi.
“Keningmu, ber—darah?” Telunjuk gadis itu terulur menyentuh luka akibat benturan di atas dahi Saif. Sisi wajah pria itu yang lecet-lecet membawa sepenuhnya raga Nobelia kembali ke muka bumi. Tak lagi mengelana meski masih shock.
“Ya Allah, kamu terluka. Kamu, ber—darah, gara-gara aku.” Nobelia terisak panjang pendek. Mendadak, keinginan untuk menangis sejadi-jadinya di hadapan Saif menguat.
Tanpa alasan yang jelas, rahang Saif tiba-tiba mengetat marah. Kobaran di matanya baru kali itu Nobelia temukan pada pribadi yang sebelumnya terasa begitu ceria. Saif sangat berbeda kini. Menyeramkan, kehangatan dalam maniknya tidak lagi berfungsi sebagai serotonin, tidak lagi menularkan asam amino tryptophan yang menciptakan ketenangan. Ini justru sebaliknya, tatapan Saif mengacak fungsi otak Nobelia yang seketika lumpuh. Di mata yang mulai meredup, Saif seperti berubah menjadi gelombang elektromagnetik. Sifat dasarnya merambat menurut garis lurus hingga membentuk sebuah bayang-bayang. Saif serupa cahaya yang memaksa ia menutup matanya, kehilangan hitungan napasnya sendiri, dan kepalanya itu dibungkus oleh selubung gelap.
“Bro, Masha Allah!”
Rombongan Mapala dan Green Heaven Batavia berlari tanpa memedulikan keselamatan masing-masing saat menuruni tanjakan berbahaya. Kerikil kecil campur pasir beterbangan saat diterjang banyak sepatu. Sebelum jatuh, Saif dan Nobelia memang berada di bagian paling akhir, jarak mereka terpaut cukup jauh beberapa meter dari rombongan.
“Kami melihat kalian terjatuh dari tanjakan di atas sana—“ Topan mempercepat langkah, napasnya putus-putus karena panik. Lelaki itu menjadi orang pertama yang melihat keadaan Saif dan Nobelia dari jarak agak dekat, karena dialah pemimpin Green Heaven Batavia, dia yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi selama proses pendakian.
“Sobat, kalian baik-baik saja? Apa Nobelia terluka dan pingsan?” Tanyanya lagi, beruntun karena begitu cemas.
Saif bangkit berdiri, menggendong Nobelia di kedua lengannya, “Dirikan tenda, kita harus bermalam di sini.” Pria itu mendesak, lalu dengan cekatan memindahkan Nobelia ke sisi bebatuan, dan meletakkan kepala gadis itu dengan amat hati-hati pula. Disangga oleh jaket parasut yang dilepasnya.
Kemudian, perintahnya yang terakhir pun terdengar oleh Topan, “Lengannya cedera. Aku butuh seceret air hangat untuk mengompresnya.”
***