bc

Fajar Merah di Atas Langit Aljazair

book_age0+
973
FOLLOW
14.4K
READ
family
tragedy
bxg
like
intro-logo
Blurb

[21+]

Nobelia dan Saif terjebak di penampungan korban perang Aljazair. Tak saling kenal, bahkan tak menyadari jika keduanya berasal dari satu negara yang sama. Hingga suatu peristiwa tak terduga memaksa mereka duduk dalam satu pelaminan. Menikah.

“Bagiku, menikah bukan hanya menyelesaikan ijab qabul. Esensinya lebih dalam daripada itu. Tentang restu, niat, dan tujuan rumah tangga ke depannya. Dan kamu, malah dengan santainya menyepelekan hal yang bagi orang lain dianggap penting. Maaf, tapi sampai sekarang aku masih belum bisa melihat di mana letak hatimu.”

[Nobelia T. Wiratama]

“Lalu apa yang kamu inginkan? Kamu ingin aku membawamu pulang, bertemu kedua orang tuamu dan memohon restu mereka? Kalau iya, tolong nona, buka matamu dan berjalanlah di bawah sinar matahari dengan kaki telanjang. Agar kamu lekas bangun dan berhenti bermimpi.”

[Saif Ali Yazein]

Ketika Saif Ali Yazein—sang penunggang kuda negeri Timur yang dingin, mengenalkannya pada satu buah suku kata; luka. Dan kata lainnya; terluka. Langkah apa yang harus Nobelia ambil? Tenggelam bersama luka itu, atau berlari menjauh, atau mungkin, kembali pada perasaan masa lalunya?

***

chap-preview
Free preview
Bab 1 : Manusia Sepenuhnya Salmon
Ternyata, memiliki nama depan Nobelia tak serta merta membuat gadis itu dihadiahi penghargaan Nobel paling prestisius. Boro-boro, Nobelia sendiri nyatanya tak pernah mau menyentuh apapun yang berbau eksak. Tak pernah mau menyentuh penggaris, sempoa, atau pun jangkar, kalau pada ujung-ujungnya ia cuma disuruh menghitung. Tak pernah mau belajar bagaimana caranya mencampur cairan-cairan di gelas beaker pula. Nah, justru gadis itu sibuk berpetualang ketika teman-teman sekelasnya berdiskusi perihal reaksi kimia dan tek-tek bengeknya yang rumit. Tak ayal jika nilai Fisika dan Kimia di rapotnya jeblok. Tapi Nobelia tak peduli, buat apa ada IPS kalau dia tidak bisa melarikan diri dari IPA? Ya, kan? Baiklah, begini— Kronologisnya, Nobelia memang tak menjadi sepandai Mamanya, tak sejenius Abang dan Papanya, tak ditakdirkan menuruni gen brilian otak keluarganya. Hal ini terjadi di bidang hitung-hitungan. Biarkan saja, sebab Nobelia tentu punya kapasitasnya sendiri. Dia lebih senang melancong, naik gunung, menyelam, dan juga menjadi seorang aktivis. Bukan sekali dua dia bolos sekolah gara-gara sibuk dengan kampanye perlindungan lingkungan hidup. Disidang kedua orang tuanya bukan lagi hal yang menakutkan, Nobelia toh sudah terbiasa menghadapi protes mereka terkait jadwal yang padat dalam lingkup demikian. “Mama, sinar matahari itu berjuta-juta tak terhingga banyaknya. Namun, faktanya cahaya matahari hanya satu dari matahari yang tunggal. Walaupun yang aku pegang itu apakah sun beam, cahaya kecil, cahaya besar, apakah bentuk sebuah cahaya segitiga, oval, bundar, kalau aku letakkan mataku dalam cahaya itu, bukankah aku hanya akan melihat satu matahari saja?” Pertanyaan itu pernah dilontarkannya kepada Asha yang amat menguasai bidang tersebut. Dan dulu, percakapan ini berlangsung ketika Nobelia menjabat sebagai Duta Lingkungan Hidup se-SMA ibu kota, ia menenangkan Mamanya yang gelisah. Cemas jikalau putrinya tak mampu membagi waktu antara pendidikan, organisasi, dan ibadah. Terlebih, takut Nobel jadi gadis yang zuhud jabatan di usia belia. “Tanggung jawabku memang besar, aku harus memantau berjuta-juta sinar matahari yang tak bakal bisa kutampung seluruhnya. Lagi pula, aku pun juga belum tahu apa sesungguhnya yang ingin kugenggam, Ma. Boleh jadi kekuasaan, pengalaman, eksistensi, pujian, kehormatan atau keikhlasan memedulikan hidup dari makhluk lain. Tapi seperti apa yang kubilang tadi, bukankah cahaya itu satu saja? Aku ingin masuk ke dalam cahaya itu. Sehingga aku hanya akan melihat satu cahaya. Cahaya yang terang serta menghangatkan semua hal di dunia, memberi manfaat, serta menghidupkan selayaknya matahari.” Nobelia terdengar sangat tulus dan tidak mengada-ada. Asha, dengan manik secemerlang madu menatap anak gadisnya lamat-lamat, tak bisa menahan diri untuk segera memeluk tubuh Nobelia. Yang kini bergelung nyaman dalam hangatnya dekap seorang ibu. Maka Nobelia berkata lagi; “Izinkan aku mempelajari sebanyak-banyaknya hal, Mama. Izinkan aku terbang lebih tinggi lagi dari sebelumnya.” Asha mengusap rambut putrinya, mencium puncak ubun-ubunnya. Setelah si sulung meninggalkan rumah untuk mengikuti pendidikan militer, cepat atau lambat adiknya juga bakal menyusul. “Billahi, putriku. Mama ridha melepas ke mana saja kamu ingin melangkah asalkan langkahmu tetap berada dalam koridor cahaya. Kebajikan dan agama menjadi tujuanmu.” Itu pesan Asha, sekaligus ridhonya yang diberikan kepadanya. Ketika proyektornya mati, film itu pun langsung menghilang dari kepala. Nobelia kini mendadak mellow karena teringat Asha dan percakapan mereka sekitar 6 tahun yang lalu itu. Oh, betapa Nobelia rindu Mamanya. Wanita itu banyak menjalani setiap hari-hari tanpa putra-putrinya, yang semuanya mempunyai tempat tinggal masing-masing sekarang. Yang satu tinggal di asrama Batalyon, dan yang satunya lagi di apartemen milik Lembaga Pemberdayaan Perempuan. Nobelia sedih, tapi mau bagaimana lagi? Lebih baik ia fokus pada pekerjaannya terlebih dahulu, agar nanti Nobelia segera punya waktu buat menelpon sang Mama. Well, tapi sepagian itu ponselnya sudah berdering nyaring. Sepenggal nama muncul di layarnya. Tertera di sana sebuah nama; Papa. Nobelia yang tengah sarapan, menyambar ponsel dan sneaker di rak sepatu dengan tergesa. “Halo, Pa, Assalammu’alaikum?” Suara Nobelia mirip korban penculikan yang mulutnya disumpal kain. “Di mana?” Sebuah pertanyaan simple, namun hampir saja membuat Nobelia menyemburkan roti isinya kuat-kuat. “Di apartemen, Pa. Seperti biasanya, aku lagi sarapan nih.” Kekehan super canggungnya itu pasti terdengar amat mencurigakan di telinga Azam. Aneh sekali kan, Nobelia susah berpura-pura biasa di depan Papanya. Oh ralat, mereka bahkan tidak saling berhadapan, membuktikan bahwa pria itu mampu memberi intimidasi jarak jauh pada siapa saja. “Oh ya? Di mana tempat sarapanmu? Kamar mandi atau gudang?” Sisa roti isi di tangan Nobelia jatuh sudah, mayo putih mengotori jari-jarinya tanpa ampun. Wait, wait, wait, jangan bilang kalau Azam— “Apartemenmu sepi, lampunya mati, dan juga setengah baju dalam lemari ikut menghilang bersama penghuninya. Jadi ke kama perginya kamu?” Suara Khairul Azam yang berat itu mengalun mistis di ambang telinga—seperti Hitler yang tahu musuhnya sedang bersembunyi di tempat mana pun. Alamak! Nobelia Tanzil Wiratama, mati kamu! Tak diragukan lagi jika Papanya berada di dalam apartemennya. Kepala Nobel bahkan ikut memproyeksi apa kiranya yang sedang lelaki itu lakukan. Duduk di sofa ruang tamu, menopang kaki, lalu satu ponselnya dipakai buat menelponnya, dan satu ponselnya yang lain dipakai juga buat SMS Mamanya. Nobelia menepuk jidatnya berkali-kali tanpa suara. Lalu apa yang harus dikatakannya? Nobelia tercekat, “Sebenarnya aku—“ Namun Azam lebih cepat menyambarnya, “Apa yang sampai membawamu terbang jauh-jauh ke Nusa Tenggara sana?” Hebat, awesome, bravo! Nobelia spontan menjatuhkan tulang rahang. Seharusnya dia tak perlu heran kenapa Papanya tahu, dulu kan Azam bekerja sebagai mata-mata. Papanya itu mantan Intelijen. “Calm down, Pa, please. Tarik napas dan kendurkan dulu urat-urat di leher itu, oke?” dalam kenyataannya, Nobelia yang grogi, ia menjalankan instruksinya sendiri. “Aku bersama LPP Bone dan ormas setempat mau kampanye, Pa. Kami juga mengadakan sosialisasi selama satu minggu sambil membuat penelitian tentang kebudayaan daerah. Aku tidak bisa kalau tidak terjun langsung bersama dengan teman-temanku. I’m so sorry,” Karena tidak sempat memberi tahu, tidak minta izin terlebih dulu, lanjut Nobelia dalam hati. Ada rasa bersalah terselip di lubuk hatinya. Kelar S1 Sosiologi bukannya santai sebentar di rumah menemani Mamanya, ini dia malah sibuk melancong ke tempat-tempat terpencil. “Papa, please don’t angry to me. Kegiatan ini sangat penting untukku.” Nobelia memelas, lantas hening beberapa lama. Gadis itu menunggu dengan jantung berdebar. Hanya suara deru kipas angin di kamar penginapan yang menemani kegelisahannya. Kalau ternyata Azam memaksanya buat segera mengepak barang pagi itu dan kembali ke— “Sesibuk apapun kegiatanmu di sana, carilah mushala untukmu melaksanakan kewajiban sebagai muslimah yang taat pada Tuhan. Jaga selalu kesehatanmu di sana, Nobelia.” Azam tiba-tiba memberi sebuah pesan yang mendamaikan. Nobelia jadi terenyuh. Pria itu lantas menutup, “Assalammu’alaikum.” Bibir Nobelia terbuka. Layar ponsel diperhatikannya baik-baik, memang sambungan telepon dengan Papanya telah terputus. Artinya, bukankah ia sudah mengantongi izin resmi untuk mengikuti kegiatan di Nusa Tenggara Timur ini? Berita hebat! Yoohoo! Khairul Azam yang terbaik! Sebelum turun ke lantai bawah, Nobelia menyempatkan diri mengetikkan sebuah pesan, emoticon peluk dan cium melengkapi kalimat akhirnya. “Akan kulaksanakan kewajiban itu bukan karena aku takut padamu, namun kulakukan itu sebagai bukti ketaatanku pada satu-satunya Dzat yang menurunkan perintah demikian untuk manusia.” Nobelia mengulum senyum, dan lalu berpikir sebentar, sebelum menambahkan, “Have a nice day, Papa. I really love you.” Send. Senyum mengembangnya tidak pernah pudar lagi kala ia menuruni tangga-tangga kayu. Sambil bersenandung nasyid favoritnya, gadis itu lalu mengetuk pintu bernomor 15 dengan tidak sabaran. Berseru kencang-kencang. “Kanayaaa, hurry up—“ Nobelia mau menerjang masuk buat menyeret temannya yang lama saat memilih baju, namun pintunya malah terkunci. Terpaksa Nobelia menggedornya secara bar-bar. “Masha Allah! Kana, sebentar lagi sudah mau jam 8 nih! Kamu bakal membuat kita telat!” Kurang lebih menunggu selama 10 menit, pintu kayu itu pun akhirnya terbuka. Menampakkan sosok gadis berjilbab biru, yang senada dari head to toe. Bibirnya yang dipoles lipstick merah maroon pun mengerucut dengan sebal. “Heran, kamu selalu bertindak bar-bar, Obe. Kamu kan tahu kalau perempuan butuh persiapan.” Gerutunya jengkel, seperti tawon betina yang sarangnya diusik galah oleh anak kecil. Nobelia memutar bola mata, menunjuk pakaiannya sendiri. “Tidak, kok. See,” Gadis itu bergaya seperti seorang jurnalis sejati. Casual, dengan cardigan hijau yang lebih mirip seragam anak moge. “Sepatuku bisa diajak berlari di jalanan berbatu, sementara kamu ujung-ujungnya menyusahkan. Lalu apa gunanya persiapan itu sejak subuh tadi, hm?” Nobelia memang ditakdirkan menjadi manusia yang ceplas-ceplos. Kanaya lantas menuruni tangga dengan hati-hati, dan balas berkomentar, “Kamu ini kan bukan perempuan yang sesungguhnya, kamu tidak bisa merasakan apa yang kurasakan sebagai perempuan sejati. Dituntut tampil dengan sempurna itu bagian dari sifat alami seorang wanita dewasa, tahu!” Mendengus, Nobelia pun merasa status perempuannya kini menjadi terinjak-injak. Ya Rabb, jarang berdandan bukan berarti membuat ia tidak wanita sama sekali. Tetap saja, paham feminisme seperti pakai kosmetik dan sepatu heels merasuk ke sanubarinya. Hanya mungkin saja keluar pada waktu-waktu tertentu. Di luar penginapan itu, mobil sedan lengkap dengan seorang supir yang dikirim LPP Bone sudah menunggu dua gadis tersebut. Kala Nobelia menunjukkan tanda pengenalnya pada lelaki itu, si supir cekatan membuka pintu untuk Kanaya serta dirinya. “Tidak perlu kok, Pak. Lebih baik langsung ke kemudi saja.” Nobelia mencegah saat si supir mau bergerak ke sisi seberang, gadis itu kemudian berlari kecil ke samping kiri, membenahi cardigannya sebelum duduk di jok. “Apa kubilang, kamu membuat orang lain terlalu lama menunggu kita.” Nobelia berbisik, sementara Kanaya kali itu membalas dengan cengiran minta maaf a la kadar dan sekejap saja, disibukkan oleh gadgetnya. Kegiatan asyik sendiri Kanaya itu menular juga pada Nobelia, yang langsung mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Namun ia tidak tahu mau mengerjakan apa karena handphonenya sudah seperti kuburan. Sunyi dan senyap. Line tidak berdentang, BBM apalagi, akun ** juga belum bikin. Lengkap sudah dengan isi chat yang semuanya centang satu. Heh? Sebetulnya, apa sih yang jadi kendala? Tidak bisa memainkan sesuatu atau galau karena sesuatu? Sepanjang perjalanan itu, Nobelia terus menggenggam ponselnya. Bolak-balik memeriksa pada setiap aplikasi yang terpasang di sana, membuat Kanaya menoleh curiga. Apalagi saat mendengar Nobelia menghela napas berkali-kali, sudah jelas masalahnya pasti hanya ada satu. “Hubungi saja nomornya—kenapa kamu membuat segala sesuatunya jadi serba sulit, sih?” Kanaya nyeletuk pedas. Nobelia lantas menengok, berusaha sebaik mungkin membuang mendung di wajahnya yang tiba-tiba mengental tersebut. Gara-gara tadi cek BBM lagi, dan menemukan tanda centang masih belum berubah menjadi huruf D, moodnya pun langsung terjun bebas. “Haha, kamu ini bercanda, ya? Mana mungkin aku galau.” Nobelia tertawa garing, kalimatnya itu malah semakin menguatkan opini Kanaya, yang langsung mendaratkan sebuah sentilan di atas keningnya. Sambil menyipitkan mata, Kanaya sekarang berlagak seperti ibu-ibu yang mau menasehati putri semata wayangnya perihal asmara. “Oh, jadi benar? Kamu galau gara-gara si cowok taipan cucu Lettu itu?” Kanaya geregetan merampas ponsel milik Nobelia. “Hah! Benar-benar minta dihajar pria ini. Berani sekali dia menggantung hubungan dengan teman baikku yang cantik ini, membuat galau setiap hari karena kehadirannya yang hilang timbul seperti Casper! Dia pikir dia itu siapa!” Kanaya menepis tangan Nobelia yang berusaha untuk menjangkau ponsel. “Diam, Obe! Lelaki seperti ini harus diberi pelajaran!” “Ya Allah, Kana! Kamu mau apa, sih? Kembalikan ponselku! Kana!” Nobelia panik bukan kepalang, raut Kanaya sangat mencemaskannya. Mobil sedan itu serasa berguncang karena hentakan sepatunya. Terlambat, Kanaya sudah duluan mendial sebuah nomor telepon. Sederet nomor yang diberikan oleh pemuda itu padanya. Kalau-kalau, ponsel utamanya tak bisa dihubungi oleh Nobelia. Tak lupa, Kanaya sekarang mengaktifkan mode loudspeaker. Nada sambung yang terdengar kemudian malah menyerupai denting piano di pemakaman buat Nobelia. Nobelia memberontak, “Kana, kembalikan! Nelepon internasional itu mahal, tahu!” “Nanti pulsanya aku ganti, kok! Yang paling penting sekarang adalah sebuah kejelasan, Be! Kamu mau selamanya hubungan kalian itu tidak jelas, samar-samar, blur seperti efek gambar yang sering dipakai sama remaja zaman sekarang kalau sedang foto-foto? Kamu capek kan menunggu kabar tak pasti melulu dari dia?” “No, Kana! Jangan gegabah deh!” “Halo, Assalammu’alaikum?” Suara maskulin itu menginterupsi keributan yang terjadi. Tangan Nobelia langsung jatuh ke pangkuan. Berakhir sudah eksistensi harga dirinya. Meski sisi terkecil di sudut hatinya melompat girang sebab berhasil mendengar suara itu kembali. Yang dirindukannya, boleh dibilang begitu. “Sekarang, katakan padaku di mana keberadaanmu! Di mana kamu sampai tidak bisa membalas pesan dari teman baikku, ha! Karena perbuatanmu itu, dia jadi tidak semangat beraktivitas, tahu! Apa kamu mau terus mempermainkan perasaannya? Sampai kapan kamu mau menggantungnya seperti ini? Kamu kira perempuan bakal tenang ditinggalkan tanpa kabar?” Kanaya mencerocos, seperti kembang api yang meledak-ledak di langit. Nobelia mengusap wajahnya. Harus dibuang ke mana mukanya? Tak ada kantong kresek. Mana fasilitas darurat mobil ini? Ya Allah! Panas dingin, perutnya kini mendadak bergolak ingin muntah. Lelaki itu pasti kaget setengah mati, tak menyangka bakal mendapatkan serangan brutal pada pukul 07.30 pagi. Eh, jam berapa tepatnya sekarang di negara Brazil sana? Otaknya ikut korslet, tersumbat hanya untuk dipakai berpikir hal yang sederhana. “Kanaya?” Suara itu menebak-nebak. Anehnya tetap tenang menyikapi situasi. Agaknya, dia sudah terbiasa dilabrak oleh perempuan. “Ya! Aku Kanaya Sonya! Teman baiknya wanita yang kamu campakkan begitu saja setelah melarikan diri ke luar negeri. Katakan, di mana kamu sekarang Kharisma Pandjie!” Sanggupkah Nobelia tetap tersadar dalam gempa bumi ini? Sementara teriakan demi teriakan dari Kanaya membuat kupingnya nyaris meledak. Lalu, tawa yang renyah itu pun terdengar di telinga mereka, “Take it slow, Kana. Aku juga masih menjabat sebagai teman baikmu, kan?” Di ujung sana lelaki itu masih jua memperdengarkan tawa. Tidak adil! Dalam keadaan darurat ini malah semakin melumerkan hati Nobelia. “Tsk, tak usah mengalihkan pembicaraan segala, jawab saja pertanyaanku tadi!” Kanaya memang salah satu gadis pemberani yang Nobelia kenal. Oh, lebih tepatnya gadis yang sering meledak-ledak seperti petasan. Kembang api sih terlalu cantik dan elegan. “Aku di kantor polisi.” Jawabnya pada akhirnya. “Ada alasan yang lebih bagus?” “Kana!” Nobelia menyentak, rebutan ponsel lagi. “Bisa kamu kembalikan ponsel ini pada pemiliknya sebentar? Aku mau selesaikan soal mencampakkan tadi yang kamu maksud itu, Kana.” Ada nada geli yang ikut terselip di sana. Kanaya dan Nobelia saling melempar pandangan. Oh menjengkelkan sekali sih. Setelah Kanaya membuat kekacauan itu, malah Nobelia yang harus menghadapi akibatnya. Curang lagi! Dengan setengah enggan, Nobelia akhirnya mengambil alih ponselnya itu. Sebelum bicara, tak lupa ia menonaktifkan mode loudspeakernya. “Adjie?” Gumamnya ragu-ragu. Nobelia begitu tak enak hati. Soalnya, mereka memang tidak punya hubungan spesial yang dinamakan orang-orang dengan sebutan Long Distance Relationship. Teringat kata-kata temannya pada lelaki itu tadi malah membuatnya ingin menutup telepon saja. Maluuuuu! “Kamu tidak kenapa-napa kan, Bee?” Oh Ya Allah, mendengar lelaki itu bicara dengan amat perhatian, bunga tiba-tiba bermekaran di hatinya. Dunia terasa lebih indah daripada menit sebelumnya. “Nggg—tidak, kok. Harusnya aku yang bertanya itu padamu. Kamu lagi di kantor polisi? Kenapa? Apa yang sudah terjadi?” Tanyanya dengan beruntun, seperti gerbong kereta api Babaranjang saja. “Koperku hilang, Bee. Aku dan Edgario baru take off jam 9 malam tadi. Kami makan di restoran sebelum kembali ke flat. Tapi waktu kami ke parkiran, kaca mobilku sudah pecah berantakan. Sebagian besar barang-barang kami ada di dalam sana, termasuk ponsel itu.” Pandjie pun memaparkan dengan singkat, padat, dan juga jelas. Nobelia kini membungkam mulutnya mendengar penjelasan itu, “Masha Allah, aku tidak tahu kalau kamu sedang mengalami musibah. Ng, dan aku tahu menerima pangggilan seperti ini pasti sangat menjengkelkan buatmu.” Nobelia melempar pandang pada jalanan yang tak terlalu ramai, “Maaf, tidak seharusnya Kanaya marah-marah padamu untuk sesuatu yang tidak bisa kamu mengerti.” Lalu sunyi menghampiri. Nobelia bisa mendengar latar orang-orang berbicara bahasa asing. Pandjie pasti sedang sibuk beberapa jam terakhir ini. “Siapa bilang? Aku mengerti, Bee. Aku justru ingin mengucapkan terima kasih pada Kana karena seperti yang Sayyidina Umar bin Khattab pernah bilang, bahwa orang yang paling disukai, adalah orang yang mengingatkan kita pada kesalahan.” Jawab Pandjie dengan gaya yang diplomatis. Alis Nobelia bertautan, saling merangkul bingung. Apa maksud Pandjie? Panjdie menyambung lagi, “Maaf karena aku sudah memilih untuk tidak mengabarimu, Bee. Aku cuma ingin kamu tak cemas pada masalahku, tapi tindakanku ternyata membuat kamu berpikir yang tidak-tidak.” Erh, itu memang benar sekali, seperti misal— “Kamu takut jika aku menghabiskan waktu dengan perempuan lain di luar sana sampai tidak bisa chating dengan kamu, begitu, Bee?” Tanya Pandjie dengan gamblang. Nobelia merona. Impulsif merah kedua pipinya itu. “Kamu ngawur, mana mungkin aku berpikir seperti itu.” Nobelia akhirnya membalas dengan kalem, berdehem hanya untuk melonggarkan tenggorokannya. “Nah, tepat sekali, mana mungkin juga aku melakukannya?” Sambar lelaki itu. “Listen, Bee. Aku tidak pernah berpikir mencampakkan kamu, tidak menggantungkan kamu. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk berbuat sesuatu yang lebih serius.” Kalau mereka sedang ngobrol berhadapan, saat ini Pandjie mungkin sedang mengarahkan pandangannya yang seteduh pohon beringin. Nobelia terbatuk canggung sembari menggeser posisi duduknya yang didesak Kanaya. Gadis usil itu bersikeras mau mendengar percakapan rahasianya dengan Pandjie. “Aku rasa kamu harus cepat-cepat menyelesaikan urusanmu di sana,” Nobelia mengalihkan pembicaraan tiba-tiba serius mereka itu. “Sebentar lagi aku juga akan segera sampai di kawasan Alor Dalam. Eh, dan—aku sangat harap jika segala urusanmu akan dimudahkan oleh Allah.” “Aamiin, thanks ya.” Oh, manis sekali sih suara lelaki itu, “Kalau begitu kututup telponnya. I miss you, Bee.” I miss you? Nobelia membatu, kepalanya serasa kosong melompong. Apa jadinya tiga kata itu bagi hubungan mereka ke depan nanti? Apakah tiga kata itu bakal berubah menjadi sesuatu yang lebih romantis? Tetapi bukankah cinta tidak harus diungkap lewat kata-kata. Cinta? Hei sebentar! Please Nobelia, berhentilah mengharap atau kamu bakal jatuh lebih jauh pada perasaanmu sendiri, lebih-lebih tak perlu kegeeran begitu rupa deh! Akal sehat Nobelia memperingati. “Gimana, Be? Kalian sudah jadian?” Kanaya bertanya polos sekaligus menyebalkan. Nobelia kini melempar tatapan penuh perhitungan, antara mau menyopot hiasan di atas kerudung Kanaya, atau melemparkan si empunya keluar dari kaca mobil. “Kanaya Sonya, kamu benar-benar minta kugantung di lapangan sana, ya!” Nobelia membuka pintu mobil tanpa menunggu dibukakan oleh si supir, lalu meninggalkan teman menyebalkannya yang beku memandang lurus ke arah yang tadi ditunjuknya. Well, ternyata mereka sudah sampai? *** Alor, adalah sebuah pulau yang indah dari gugusan kepulauan Indonesia—yang terletak di sebelah timur dari Propinsi Nusa Tenggara. Sedari dulu, Nobelia selalu ingin mengunjungi pulau ini. Terlebih ketika melihat gambar dan informasinya di internet. Gadis itu langsung jatuh cinta atas keindahan taman lautnya, keramahan penduduknya yang tersohor, hingga lanskap yang cantik serta sebuah desa bernama Takpala. Akhirnya keinginan itu tercapai. Nobelia langsung bergabung bersama rombongan lain yang telah menunggu. Salaman dengan ketua LPP Bone yang lebih dari sekedar ramah menyambutnya dan Kanaya. “Kabar baik, Nobelia? Gimana acara ke penangkaran hiu minggu lalu, asik?” Wanita berbaju kain songket itu merangkul bahu Nobelia, beliau memang pernah beberapa kali menjadikan Nobelia partner bertualang di alam bebas. Hanya kebetulan di acara terakhir tak bisa ikut serta. “Asik sekali, Bu—jadi kepingin pergi ke sana lagi kapan-kapan,” Kenang Nobelia haru. “Rumah hiu putihnya di sana dibikin mirip seperti habitat aslinya, lho. Pokoknya indah sekali waktu kami menyelam.” Nobelia tertawa di sela-sela obrolannya. Sampai tidak terasa langkah membawa mereka semakin dekat ke tempat tujuan. Desa Takpala adalah sebuah desa tradisional dari Suku Abui di Pulau Alor yang terletak di sebuah dataran tinggi. Tak jauh dari Kota Alor itu, kurang lebih bisa ditempuh dalam waktu 1 jam menggunakan kendaraan beroda. Tiba di sebidang tanah lapang di muka desa yang diperuntukkan bagi tempat parkir kendaraan, Nobelia melihat di ujung tangga batu sudah siap beberapa penduduk dengan pakaian adat mereka untuk menyambut kedatangan rombongan LPP. Rumah adat itu namanya Saoata Musalakitana, berbentuk panggung dan di bawahnya terdapat balai panjang tempat menerima tamu yang tiangnya berdiri dari landasan sebuah batu besar, sehingga tak perlu ditanam dalam tanah. Rumah itu diperuntukkan bagi lurah, camat dan pembesar desa lainnya. Nobelia berjalan dengan terpukau di tengah-tengah rombongan LPP, matanya terpaku pada sekelompok pria di arah depan sana. Mereka semua mengenakan topi dengan bentuk yang khas dipadukan dengan jas, lalu selempang kain tenun, bersarung kain tenun pula dan tak lupa sebilah golok terselip di depan perut. Perhiasan yang mereka pakai berupa kalung dan pending. Sedangkan bagi kaum perempun, mereka memakai hiasan kepala berbentuk bulan sabit. Kain tenun selempang di bahu dan kain tenun menutupi dari bagian d**a hingga ke kaki. Mereka memakai subang, kalung dan gelang tangan. “Hat, hat, hat, hat, hat.” Seruan prajurit-prajurit gagah berani Takpala dalam lompatan, mereka menghentak tanah berbatu di bawahnya. Seruan itu bergerak menjauh mengikuti sang empunya, suara makin mendekat ke pusat desa di mana ritual penyambutan dan tarian-tarian akan dipertunjukkan kepada rombongan. Dendang wanita-wanita Takpala pun tak ketinggalan, menjadikan suasana semakin khusyuk dan indah syahdu. Khidmat. Berpadu manis suara gesekan dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh memagari jalanan batu Takpala. Tiba di alun-alun batu Desa Takpala, tampak tiga buah moko yang mempunyai peranan penting bagi seluruh lapisan masyarakat Alor. Moko, yang menggambarkan tentang status sosial ini, terletak di sebuah undak batu rendah di tengah satu alun-alun. Sesaat rombongan dipersilahkan duduk di salah satu sisi alun-alun. Alun-alun itu sendiri dilengkapi bangku-bangku panjang dari kayu. Nobelia dan Kanaya menghadap ke tengah alun-alun yang dilatari beberapa rumah adat. Tak berapa lama pertunjukan pun dimulai. Dua tarian dipersembahkan. Lego-lego dan satu lagi adalah Cakalele. Kedua tarian yang kurang lebih hampir sama baik dari segi nyanyian maupun gerak. Namun meski hampir sama, Lego maupun Cakalele tetap menarik untuk dinikmati secara berurut. Tarian diawali seruan prajurit Takpala yang  lantas diikuti nyanyian wanita-wanitanya. Tarian itu diiringi pula oleh suara gemerincing gelang kaki. Tarian lalu perlahan membentuk sebuah pusaran yang berpusat pada sebuah undak batu dengan tiga moko di atasnya. Saat tarian Cakalele mengganti Lego-lego, beberapa penonton diajak bergabung. Sembari menari satu atau dua orang penduduk desa mulai berkeliling untuk membagikan sirih, pinang dan kapur kepada penari serta orang-orang yang memadati alun-alun itu. Gulungan kapur sirih lalu dimasukkan ke dalam satu kantong anyaman kecil yang diselempangkan di tubuh para penduduk desa. Nobelia tertawa saat Kanaya memandangi daun-daun sirih dengan tampang yang aneh, gadis itu pasti baru sekali ini memegangnya. Apalagi disuruh memakannya, dijamin dia pasti ogah berat. “Kamu serius mau makan daun ini, Be? Ugh, tidak enak.” Kanaya mencium baunya, berekspresi seolah ia akan muntah. Kemudian, Nobelia dengan amat santai menyiapkan segala keperluannya. Sekepal daun sirih, pinang, dan kapur itu pun dicampurkannya, lantas dijebloskan semua itu ke dalam mulut dengan nikmat. “Aku pernah mencobanya di Bukit Tinggi waktu Ammu Galuh mengajakku tour ke sana. Believe me, rasanya tidak seburuk seperti apa yang kamu bayangkan kok. Coba sini, aku racikkan yang paling enak buatmu.” “Stop, Nobelia! Aku tidak mau, oke?” Kanaya lantas berdiri, memberi pandangan tajam kalau sekali lagi saja ada paksaan dari Nobelia, gadis itu bakal menendangnya sampai masuk ke dalam moko. Akhirnya, Nobelia hanya mengangkat bahu, mengunyah sirihnya dengan tenang, sesekali bertepuk tangan melihat anak-anak desa ikut menari. Uhhh, awesome sekali ya, mungkin inilah yang orang-orang bilang surga dunia itu. Dan Nobelia sedang merasakannya! Hidup bebas, sembari menikmati dan mengamatinya. Nobelia lalu mengeluarkan kameranya dari dalam tas punggung, mengatur ini itunya selama beberapa menit sebelum mulai membidik. Gambar anak-anak yang tertawa membuat ia ikutan tertawa, mereka adalah tunas pohon yang kelak bakal menjadi sebuah pohon kokoh. Yang menjaga tunas pohon lainnya yang akan tumbuh. Begitu terus-menerus, regenerasi. “Obe, sini dulu dan coba lihat orang aneh di sana itu tuh—“ Kanaya menepuk bahunya, membuat Nobelia berdiri sembari melayangkan pandangan ke arah yang ditunjuk gadis itu. “Kamu lihat tidak orang yang sembunyi di balik pohon besar itu? Kalau aku amati, pandangannya itu selalu terarah padamu.” Nobelia menaungi kepalanya, selalu memperhatikan gerak-geriknya? Dari mana Kanaya yakin, kalau lelaki itu saja mengenakan kacamata hitam. But, wait! Nobelia merasa tidak asing pada sosok itu. Bahasa tubuhnya khas. Sedetik, Nobelia sudah melompat turun dari bangku kayu. Tanpa menghiraukan teriakan Kanaya, gadis itu berlari ke seberang lapangan, dan melintasi sekumpulan orang-orang yang masih heboh menari ria. Yang bikin gemasnya lagi, sosok itu malah melarikan diri ketika Nobelia mendekatinya. “Hei tunggu! Hei! Bang Arash! Tunggu!” Setelah namanya disebut, barulah lelaki itu berhenti menggerakkan kaki. Meskipun masih memunggungi Nobelia kala itu. Nobelia sampai di sana dengan napas ngos-ngosan. “Kenapa Abang bisa ada di sini?” Tangan Nobelia berusaha membalikkan tubuh keras itu, yang sayangnya tak bisa digeser seinci pun, jadilah ia memutarinya dan berdiri di hadapan Abangnya yang sama sekali tak berekspresi. “So can you tell me, brother? Kenapa Abang bisa ada di sini?” Tekan Nobelia dengan tegas. Arash yang tak punya pilihan lain, segera membuka risleting jaket hitamnya, dan muncul di sana seragam Batalyon Raidernya yang keren. “Bertugas, seperti yang kamu lihat.” Datar saja dijawab pertanyaan itu oleh Arash. Selain itu, Nobelia juga menemukan mobil Jeep tua milik Papanya terparkir di lapangan yang awal tadi. Ada dua orang yang duduk di dalamnya. Nobelia kembali pada wajah Abangnya dan menyipit. “Tugas dari kesatuanmu, atau tugas dari Papa untuk membuntuti kegiatanku?” Nobelia curiga. “Tugas dari Mama, sebenarnya.” Arash berbicara seolah Nobelia adalah anggota Kopassus. Ergh, Arash ini kaku sekali dan tak bisa akting. Untung wajah ganteng itu tak pernah mucul di layar TV. Kalau muncul, ugh, mungkin banyak masyarakat ramai-ramai memboikot dan demo di halaman markas TNI. Gadis itu menghela napas, ternyata Mamanya sudah tahu kalau ia berada di NTT, “Bukannya Abang sedang ada tugas di Denpasar, ya?” Nobelia bertanya. Serious nih apa harus ia mendapatkan pengawalan khusus dari tiga anggota Batalyon Raider? Yang lebih menakutkan kemampuannya ketimbang pasukan Infanteri biasa. Euh kalau begitu bisa-bisa, orang yang sedang menari di alun-alun berbatu jadi bubar jalan karena takut melihat kedatangan Abang dan dua teman-temannya. “Aku dipindahtugaskan bersama Tim Unit 2 ke daerah sini,” Arash melirik ke mobil Jeep di seberang bawah sana, dua rekannya yang dikenali oleh Nobelia pun melambaikan tangan padanya. “Mama memintaku untuk memantau kegiatanmu siang dan malam. Setelah tahu kalau Papa mengizinkanmu tinggal di sini.” Nobelia meliukkan alisnya, “Terus kenapa Abang mau kabur lihat aku?” Arash menjawab pendek; “Mama bilang jangan sampai kelihatan.” Oh, dasar manusia besi satu ini! Apa Ziyadarul Arash bakal hidup seperti itu terus sepanjang sisa hidupnya? Nobelia mengalihkan perhatiannya lagi pada Abangnya lalu ke kegiatan rombongan yang terinterupsi. Arash jelas tak akan mau pulang sebelum tugas dari Asha itu selesai, ingat tadi soal mengawalnya siang-malam. “Well, Abang tak mau menunggu berjam-jam di bawah pohon ini ditemani lelembutnya kan?” Nobelia mulai transaksi tawar-menawarnya. Dihadiahi pancaran amat tak berminat dari kelopak Abangnya yang berputar malas. Yah, masih untung ia merespon daripada Arash diam saja seperti batu kerikil. “Berhubung Abang akan bersamaku sampai malam nanti, bagaimana kalau Abang, Lavi, dan Abie ikut kerja bakti bersama penduduk desa? Ayolah, paling banter juga disuruh mengangkut perabotan di alun-alun.” Nobelia membeberkan idenya. Belum mendapatkan persetujuan, Nobelia malah sudah bersiul memanggil dua rekan Arash. Sambil menggandeng lengan Abangnya yang sekaku kanebo kering itu, ia mengamati kedua anggota Batalyon Raider mampu berada di hadapannya pada kurun waktu terlalu singkat. Luar biasa, itu kaki manusia apa kaki kijang sih sebetulnya? Yang melegakan, wajah mereka lebih terlihat manusiawi daripada Abangnya. Keseruan hari itu baru dimulai. Ternyata, tidak buruk mengundang Arash bergabung. Nobelia bisa dengan leluasa mengajak Abangnya menari. Sumpah, Arash kelihatan aneh sekali! Hitam jaketnya ditimpangi mendung wajahnya. Nobelia tahu ada badai bergemuruh di sana. Tapi siapa peduli? Arash tak mungkin mengamuk hanya gara-gara disuruh menari hari ini, kan? Nobelia memegangi perut, tarian Lego-lego Arash aneh bin ajaib. Gadis itu mengedip jahil pada Kanaya, minta temannya itu merekam aksi mereka. Berlelah-lelah asyik dengan menari ria, kegiatan mereka berlanjut ke alun-alun kota Alor. Nobelia naik mobil berkap terbuka bersama Kanaya. Sebagian warga Desa Takpala yang masih muda juga menyertai rombongan itu. Mereka memulai kampanye tentang perlindungan wanita dan anak-anak dengan penuh semangat. “Aku mau dong—“ Bisikan Kanaya itu tidak elit, karena menimbulkan sinyal tak enak seperti kemunculan satu Godzila yang melahap radiasi. “Apa?” Sahut Nobelia agak ketus. “Aku mau juga dong, dilindungi Pandjie.” Bahu gadis itu menyenggol lengan Nobelia. Hah, benar-benar, Nobelia jadi bulan-bulanan ketika memegang pengeras suara dan bicara soal “perlindungan”. Kanaya terkikik sendiri, dan kikikan itu mengganggu seratus persen di telinga Nobelia. Setelah kampanye perihal perlindungan wanita dan anak-anak di kota Alor, rombongan kembali ke desa untuk esoknya memulai penelitian masalah etnik dan kebudayaan setempat. Menjelang senja, Nobelia lalu mengajak Abangnya membuat pembakaran umbi yang siang tadi diambil di kebun milik warga desa. Abangnya ikut saja, tak banyak bicara ketika menyiapkan medianya. “Abang suka mengkonsumsi umbi-umbian kalau suplai makanan habis sewaktu bertugas di pedalaman, kan?” Nobelia mulai iseng bertanya. “Iya. Salah satunya. Tapi prajurit harus siap makan apapun yang disediakan alam, termasuk daging babi dan biawak.” Arash menjawab sekenanya. Nobelia bergidik dengan ngeri, membayangkan mereka menangkap biawak, lalu menyantapnya hidup-hidup, dan juga masih bercucuran darah. “Tentu saja kami bikin api unggun, salah satu kemampuan kami adalah membuat api. Daging-daging itu lebih dulu dipanggang.” Terang Arash kala melihat kerutan di atas kening Nobelia. “Tapi tenang saja, aku tidak pernah menyentuh keduanya.” Arash menjelaskan seolah informasi itu penting buat diketahui Nobelia. Sekarang, gadis itu tengah sibuk memasukkan umbi juga kentang ke kertas alumunium, namun ketertarikannya pada kisah Abangnya tak berkurang sedikit pun, “Kenapa kok seperti itu, sih? Bukannya kalau sudah terdesak oleh rasa kelaparan, makanan apapun jadi? Tidak memikirkan soal halal haramnya?” “Mama mengamanahkannya padaku.” Nobelia terpana. Sesungguhnya sejak dulu ia selalu melihat sosok Arash sebagai panutan sejati, selain Azam tentu saja. Ziyadarul Arash kesayangannya, yang diciptakan Allah secara kaku dan lembut sekaligus, jangan tanya dari gen mana kontradiksi itu menurun. “Kamu seperti ikan salmon,” Arash mengupas kulit ubi bakar yang gosong sembari memerhatikan paras Nobelia lamat-lamat. Tiba-tiba saja dia berkata begitu. Nobelia kontan saja was-was, sedetik lalu hampir yakin kalau Abangnya bakal bilang; umbi ini seperti Stephen Hawkin’. Arash itu abnormal. Nobelia langsung saja bertanya, “Kenapa aku harus seperti ikan salmon? Aku kan Nobelia, adik perempuannya Ziyadarul Arash, putri Asha Az-Zahra dan Khairul Azam.” Samar-samar, Arash mengulas senyum, dan senyuman itu memantul pada batu besar di samping mereka. Seperti lukisan sore hari. Rasanya sudah lama sekali Nobelia tidak sedekat itu dengan Abangnya. Arash menjawab, “Seperti yang kamu ketahui, kalau ikan salmon terlahir di dalam sungai. Pada tahun pertama mereka pindah ke laut lepas. Lama berpetualang di lautan selama empat sampai tujuh tahun, pada masa itu merupakan sebuah tahap kritis ikan salmon menghadapi para pemangsa mereka. Kemudian, salmon bersama koloni-koloninya itu pun bermigrasi kembali ke air sungai, perjalanan pulang mereka memakan waktu sampai hitungan bulan. Banyak rintangan menghadang selama petualangan kembali ke rumah. Salmon tidak makan karena memiliki lemak di tubuhnya, namun tetap saja banyak ikan salmon yang mati karena keletihan, luka ataupun dimakan oleh pemangsa.” Arash mengorek-ngorek umbi lain yang masih dalam proses pembakaran, api kecilnya itu yang memerah terlihat cantik seperti delima. “Kamu lahir, disusui Mama, digendongnya dan di tahun pertama pula kamu ingin meloncat dari pangkuan setiap orang. Tidak mau diatur dan lebih senang berpetualang ke mana-mana. Sampai akhirnya kamu memutuskan untuk menyebrangi lautan demi meraih impian. Hidup yang kamu inginkan menurut caramu sendiri. Selama empat tahun panjang itu kamu tidak kembali, disibukkan dengan berbagai macam kegiatan,” Mangkuk dari tanah liat ditangan Nobelia penuh oleh umbi yang sudah dikupasnya. “Sama seperti halnya ikan salmon, masa petualanganmu itu adalah tahap yang kritis menghadapi para pemangsa. Di segala arah, ujian bisa saja menjatuhkanmu ke dalam sebuah lubang besar. Kami khawatir serta cemas padamu, sebab tidak mudah tinggal sendirian di negeri orang ketika usiamu baru saja menginjak 17 tahun.” Nobelia memang sekolah di salah satu universitas ternama di Belgia. Nobelia lalu merapat ke tubuh Abang yang ia sayangi tersebut, meletakkan kepalanya di pundak kokoh lelaki itu. Api dan Arash ternyata sama hangat, mereka berdua membujuk dalam peristirahatan. “Sekali lagi, kamu menyamakan diri dengan ikan salmon saat kamu berhasil pulang. Kembali dengan selamat membawa gelar dan banyak prestasi,” Telapak tangan Arash mengusap phasmina adiknya, elusan konstan yang membua mengantuk. Anehnya, hal itu malah datang dari tangan seorang tentara yang terkenal berkulit kasar. “Kamu bukan manusia setengah salmon, tetapi manusia sepenuhnya salmon.” Gadis itu terkikik, baru kali ini mendengar Arash menganalogikan ia dengan ikan salmon. “Kita tahu jika alam adalah guru terbaik dalam ilmu manajemen. Kehidupan ikan salmon bisa menginspirasi kita mengenai pentingnya penggabungan antara strategi yang hebat juga karakter yang kuat dalam melaksanakan sebuah misi dan tujuan. Aku melihat nilai kegigihan di balik perilaku salmon selama bertualang di lautan. Value inilah yang jadi kunci keberhasilan salmon kembali pulang dengan membawa kehormatan. Dan kamu berhasil menunjukkan semua itu ke hadapanku seterang cahaya matahari terbenam.” Kalimat paling indah yang pernah Arash kemukakan untuknya, ucapan itu menyentuh hati terdalamnya. “Tidak diragukan lagi kalau kamu punya strong corporate culture dalam satu tubuh. Sekarang aku baru paham kamu bukan gadis pembangkang. You’ve been studying with right focus, you’ve been studying with right execution and of course—you are a right people and I proud of you, Sister.” Awww, benar nih? Sejak kapan Ziyadarul Arash jadi romantis-tis-tis dan super peka begini parah? Apa gara-gara pria itu sudah tari Lego-lego dan tak sengaja ada arwah yang masuk ke tubuhnya? Hei, Nobelia mikir apa sih! Arash mencium pucuk kepala adiknya lembut. “I really proud of you, Nobelia.” “Abanggggg, jangan membuat aku jadi gadis cengeng begini dong,” Nobelia berseru manja, memeluk lengan Abang kesayangan yang terasa sebesar paha. Keras pula. “Apa aku pantas dapat pujian yang luar biasa itu darimu sementara kebanggaanku pada Abang melebihi debit air yang berdeguk di sungai sss?” “Be, debit air di sungai sss itu seperti kalkulus.” Ough, dan Arash mulai lagi. ***   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

PATAH

read
515.9K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
465.8K
bc

Switch Love

read
112.6K
bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
836.6K
bc

Everything

read
278.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook