Seringai m***m sang pangeran

1159 Words
Di balkon kamarnya yang luas dan megah, tubuh tinggi besar milik Garry Jarvis terlihat merebah santai di sebuah sofa panjang. Ia menikmati malam dengan rokok di japitan tangan juga segelas wiski di atas meja. Mata coklatnya sesekali menyipit, menghirup asam nikotin lalu menghembuskannya kembali. Dari tadi siang hingga petang menjelang, ia tidak bisa mengenyahkan bayangan Asih dari kepalanya. Bukan soal birahi lagi, tapi wajah angkuh dan dingin itu membuat Jarvis kesal setengah mati. Ia tidak sabar memberi Asih pelajaran karena berani menghancurkan mimpinya untuk hidup melajang. Tanggal pernikahan akan segera digelar dua minggu lagi. Apapun yang terjadi, sudah tidak ada alasan bagi Asih untuk mundur. Sedang asyik menyesap wiski di mulutnya, ketukan pintu dari luar mengusik Jarvis. Siapa lagi kalau bukan sang Ibu yang terus membujuk Jarvis agar tidak lagi berulah lebih jauh? "Gara-gara kamu, sepanjang lamaran tadi, Asih terus menatap ke mobilmu. Ibu bilang apa? Jangan bertingkah!" ucap Nyonya Carissa menyingkirkan botol wiski dari atas meja. Ia begitu benci melihat anaknya tidak bisa lepas dari alkohol. Satu-satunya yang bagus dari diri Jarvis hanya satu. Dia mewarisi gen Pak Januar yang anti main perempuan. Tapi, berbeda dengan sang Ayah yang berkomitmen pada satu wanita, Jarvis setia pada dirinya sendiri. Menolak untuk menyentuh gadis manapun dengan alasan ia terlalu tinggi. Sialnya, pria narsis itu justru harus menikahi gadis desa yang tidak punya kelebihan apapun di matanya. Fisik Asih memang di atas rata-rata, tapi tidak cukup membuat Jarvis mau menerima. "Dia pasti berpikir, kalau aku ini tampan dan menyesal karena malah menikahi pria cacat dengan puluhan alergi," ucap Jarvis berdecak sinis. Ia ingat bagaimana tatapan dingin gadis itu tadi siang. Tenang, tapi menantang. "Pria cacat yang dia pilih itu kan kamu! Jarvis sadarlah! Dua minggu lagi kalian akan menikah! Kenapa tadi siang kamu tidak ikut turun?" keluh Nyonya Carissa merebut rokok dari tangan anaknya. Jarvis berdesis kesal karena waktu santainya dinodai hal menyebalkan. Lagi-lagi itu karena Asih, wanita gila yang mau-maunya saja menikahi pria tidak normal. Sudah sejak lama Nyonya Carissa berpikir kalau Jarvis tidak suka perempuan. Tapi pandangannya sedikit berubah saat Asih datang hari itu, ia yakin kalau anaknya itu tertarik. Jadi daripada menimbulkan kecurigaan tentang orientasi seksual, Nyonya Carissa setuju dengan keputusan suaminya. Lebih cepat lebih baik, sebelum Jarvis berubah pikiran lagi. "Terserah! Toh pernikahan hanya di atas kertas. Pada dasarnya, wanita itu akan menjadi milikku. Mau aku apakan terserah aku." Jarvis meninggalkan Ibunya dengan gerutuan kasar dan keras. Masa bodoh dengan pandangan sosial orang lain. Selagi Asih terus menghalanginya hidup tenang, Jarvis tidak akan tinggal diam. Harga diri gadis itu pasti ada di tubuhnya. Aku hanya perlu membuatnya melayaniku hingga gila. Sampai dia memohon agar aku mau melepasnya, batin Jarvis menatap ranjangnya yang selama ini begitu dingin. Tinggal menghitung waktu tempat itu akan dipanasi saat petang dan dihangatkan oleh tubuh wanita saat pagi. "Besok pergilah ke butik. Asih akan melakukan fitting gaun pernikahan. Datang dan katakan segalanya agar tidak ada masalah saat resepsi." Nyonya Carissa melempar kartu alamat ke atas nakas lalu berlalu dari sana dengan hentakan marah. Ia sudah pusing memikirkan kelakuan anaknya. Jadi paling tidak, Jarvis harus bisa mengajari Asih bagaimana caranya menjaga reputasi keluarga. Jarvis mengambil kartu butik itu lalu melemparnya begitu saja ke tempat sampah. Ia tidak sudi menuruti keinginan sang Ibu. Daripada membujuk bukankah ancaman justru lebih efektif? batin Jarvis melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia sibuk berpikir hingga berakhir dengan tidur pulas. * Pagi itu, Mila menawarkan dirinya untuk menemani Asih ke kota. Sejak lamaran kemarin, dia yang paling antusias untuk ikut ke butik. Melihat betapa kayanya keluarga Jarvis, Mila jadi penasaran dengan gaun Asih. Meski kata orang, Jarvis laki-laki cacat, tetap saja Asih akan menjadi seorang Nyonya besar yang kaya raya nanti. Dua jam menempuh perjalanan dengan mobil, mereka akhirnya sampai di depan butik besar pusat kota. Mila menatap takjub pada bangunan bergaya eropa itu. Ia hanya pernah berkunjung ke toko baju impor atau desainer lokal. Belum pernah seumur hidup menapakkan kaki ke dalam butik mewah. Sementara Asih sendiri melangkah masuk dengan keraguan besar. Semenjak pertemuannya dengan Jarvis kemarin, tidurnya jadi gelisah, seperti ada yang mengganjal. "Saya sudah ada janji," kata Asih pada penerima tamu di dekat pintu masuk. Ia mengeluarkan kartu anggota VVIP milik Nyonya Carissa, begitu melihatnya, si penerima tamu langsung memberi sambutan hangat. "Ah, Anda pasti calon menantu Ny Carissa, silahkan masuk. Kami sudah menyiapkan beberapa gaun untuk Anda," ucapnya mengantar Asih dan Mila untuk berjalan melewati lorong menuju ruang utama. Asih tertegun, merasa baju juga sepatunya tidak layak pakai di sana. Setiap melangkah, desain tempat itu terkesan glamour dan mahal. Mila juga merasakan hal serupa, ia langsung minder karena nasib Asih akan jauh lebih tinggi darinya nanti. "Teman Anda bisa duduk di sini, sementara Anda mencoba gaunnya di sana. Mari saya bantu," ucap wanita penerima tamu itu menunjuk ruangan bertirai yang ada di tengah. Mila memberi isyarat agar Asih menurut. Sejak tadi sepupunya itu terlihat tidak tenang. "Pergilah. Pasti pilihannya tidak hanya satu," bisik Mila mendorong punggung Asih. Gadis itu akhirnya setuju, ia mengikuti wanita si penerima tamu, meninggalkan Mila di sofa panjang dengan minuman dingin di atas meja. "Andai si Jarvis itu tidak cacat, aku pasti sudah bunuh diri karena iri pada Asih," gumam Mila menatap senang pada minuman dingin dan buah anggur di atas meja. Tidak masalah lelah sedikit, pumpung ada di tempat bagus, ia bisa mengambil foto untuk update status. Lima menit memotret sana sini, tiba-tiba seseorang datang lalu tanpa permisi duduk di sofa yang sama dengan Mila. Awalnya Mila tidak menggublis, tapi begitu melihat paras rupawan si lelaki, matanya langsung tertambat takjub, enggan teralih. "Boleh duduk di sini sebentar?" tanya lelaki yang tak lain adalah Jarvis. Ia memberikan senyuman khas penggoda dengan kedipan mata kecil. Mila tak ayal meleleh, ia tanpa sadar sampai menelan liur saking terpesonanya dengan sosok Jarvis yang begitu gagah dan berkharisma. Jas itu membalut bahu juga lengan Jarvis dengan sempurna. Apa dia sengaja ingin dekat denganku? batin Mila kegirangan sendiri. Rasanya tidak sia-sia mengantar Asih ke kota. Saat melangkah ke tempat bagus, yang datang pun adalah hal luar biasa. Namun, belum Mila memulai sebuah obrolan, ruang ganti di mana Asih mencoba gaun perlahan terbuka. Jarvis mendongak, menatap tajam pada sosok ramping yang menggunakan gaun putih panjang sebatas d**a. Asih begitu anggun, cantik sekaligus seksi. Kulit lehernya yang jenjang seakan memanggil Jarvis agar dijejaki. Entah kenapa hasrat itu selalu timbul setiap beradu mata dengan si calon istri. Asih sendiri terkejut, mundur satu langkah dari tempatnya berdiri. Ia tidak menyangka akan bertemu laki-laki tanpa etika itu. Cara menatap Jarvis bahkan lebih menjijikkan dari kemarin. m***m, seperti menelanjangi. Mila langsung tersadar ada yang tidak beres. Tempat semahal itu tidak akan sembarangan mengijinkan tamu lain masuk ke ruangan yang bukan miliknya. Tapi memangnya siapa dia? Mila menggeleng, kebingungan sendiri. Jarvis lantas berdiri, berjalan mendekati Asih dengan langkah angkuh dan arogan. Ia begitu ingin memberitahu dengan siapa Asih berhadapan sekarang. Gadis itu, harus tahu siapa calon pemiliknya, batin Jarvis menyeringai lebar. Terbayang sudah, permainan gila macam apa yang akan ia lakukan di malam pertama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD