bab 2

1823 Words
Surabaya, 20 Maret 2019 Kutarik napas panjang sembari mengelus d**a, ketika memasuki ruang perawatan bedah di salah satu rumah sakit berbasis militer, tempatku bekerja hampir lima tahun ini. Entah mengapa sejak tadi malam, perasaanku dirundung rasa gelisah tiada henti. Padahal aku tidak memikirkan dan melakukan apa pun. Rasanya seperti ada sesuatu yang besar akan terjadi namun tidak bisa kutebak. Semoga ini bukan pertanda hal buruk.  Melempar senyum seraya menyapa tim kerjaku yang terdiri dari empat orang. Ada Mbak Eka-- senior yang sudah dua puluh tahun lebih menjadi perawat yang kini menjadi ketua tim,  ada Rangga--teman satu leting saat masuk ke rumah sakit ini,  dan ada Ella--senior dua tahun di atasku namun usianya satu tahun lebih muda.  Tepat pukul delapan setelah apel pagi, kami melakukan timbang terima. Hari ini ada sekitar lima belas pasien dengan kasus bedah seperti soft tissue tumor,  batu ureter,  tonsilitis,  hingga gangren. Telepon ruangan berdering membuatku dengan sigap menjawab panggilan itu. Ternyata panggilan dari perawat bedah di ruang operasi untuk mengirim pasien yang akan dioperasi hari ini. "Pasien atas nama Pak Hendra dengan abses manus dextra masuk OK," kataku pada tim yang jaga malam selagi kami masih timbang terima. Pak Sardjito yang bertubuh tinggi kurus dengan rambut beruban, segera mengambil file rekam medis dan kursi roda untuk mengantar pasien tersebut ke kamar operasi. Setelah timbang terima selesai, kami pun berbagi tugas. Ada yang bagian perlengkapan file, biasanya dilakukan oleh ketua tim sedangkan sisanya sebagai perawat pelaksana termasuk aku. "Oh ya,  aku ambil hasil lab dulu," pamitku kepada Mbak Eka. Perempuan paruh baya itu mengangguk lalu berkata, "Nanti hasil lab-nya Bu Asih kamu laporin ke dokter Bambang ya. Rencana operasinya nanti sore, kadar gula terakhir sih masih tinggi. Tapi nanti kamu lihat hasil terbaru biar dikonsulin ke dokter penyakit dalam." "Iya, Mbak." Aku melangkah dalam diam ketika jantungku berdebar semakin kencang, berulang kali menarik napas dan mengembuskannya perlahan berharap rasa gugup tak berujung ini akan berakhir, hingga kaki berbalut celana hijau botol berhenti di depan ruang laboratorium yang letaknya tepat di belakang UGD rumah sakit. Mengedarkan pandangan mencari sesuatu yang mungkin mengusik diriku. Namun, mereka semua asing, orang-orang yang terlihat menganteri untuk pengambilan darah pun rasanya sibuk dengan urusannya sendiri. Setidaknya, tidak ada hal yang perlu ditakutkan. Bergegas mengambil hasil laboratorium pasien agar perasaan tak enak ini segera hilang. Sayang, sepertinya dewi fortuna tidak sedang memihakku hari ini. Tak sengaja, kedua manik mata bulatku menangkap sosok pria memakai kemeja cokelat dan berkacamata sedang menelepon seseorang, berdiri tepat di depan poli umum.  Waktu serasa berhenti berdetak, bahkan aku merasa hanya kami berdua yang membeku dalam jarak tak sampai sepuluh meter dari pintu laboratorium. Wajahnya tak banyak berubah, apalagi penampilannya yang sederhana dengan rambut hitam tebal yang kini sedikit memajang sebatas daun telinga. Dia tampak kurus daripada terakhir kami bertemu empat tahun lalu.  Pria itu memandangku begitu lekat dibalik iris matanya yang cokelat. Yang dulu menjadi favoritku. Kini terjawab sudah rasa gelisah yang menghampiri sejak semalam. Takdir sepertinya sedang ingin mengajakku untuk bermain lagi, saat sosok itu masih saja berdiri di sana dengan tatapannya yang tidak bisa k****a. Perpisahan tanpa kata empat tahun lalu kembali datang seperti memori yang dipaksa keluar oleh waktu. Tapi, sejauh apa pun manusia berpisah pasti akan dipertemukan dengan keadaan berbeda. Kutelan air liur sambil menggeleng berusaha membuyarkan serpihan kenangan itu. Dia tersenyum sambil mendekat seolah menyodorkan kembali lembaran demi lembaran kisah yang dulu pernah membuat kami gila. Ingin menghindar, namun sialnya kedua telapak kakiku seperti diberi perekat hingga bergerak pun rasanya tak kuat. "Amel." Suaranya... Pria bergigi gingsul itu mengulurkan tangan kanannya. "Apa kabar?" Aku tidak baik setelah bertemu hari ini. "A-aku ... baik," jawabku dengan gugup dan merutuki diri sendiri mengapa harus seperti ini di hadapannya. "Aku harus ke ruangan." Dengan langkah cepat, kutinggalkan dirinya meski sejuta pertanyaan muncul dalam pikiran.  Sedang apa dia di sini?  Siapa yang sakit? Kenapa dia harus datang ke rumah sakit ini? Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Pria itu datang lagi. Lebih tepatnya saat dia mengantar temannya yang harus dirawat inap karena patah tulang, setelah kecelakaan sepeda motor yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit. Suasana begitu kaku saat aku melakukan pengkajian dan persetujuan operasi pada teman pria itu. Ini terlihat seperti mangsa yang masuk ke kandang predator. Dia memilih pergi meninggalkanku yang sedang mengukur tekanan darah temannya. Aku menoleh sejenak sembari menghela napas. Kami benar-benar terasa asing. Padahal dulu kami begitu dekat seperti insan yang tak terpisahkan. "Kalian seperti musuh," kata teman pria itu yang bernama Eko. Aku pernah bertemu dengannya saat dia membeli obat di tempat kerjaku dulu. Eko juga satu tempat kerja dengan pria itu. Yang kutahu Eko dan dia sudah berteman cukup lama. "Diam,  saling tatap,  lalu pergi," lanjutnya. "Aku tidak menginginkan seperti ini, Mas," kataku dengan wajah datar meski sebenarnya hatiku sedang teriris. "Waktu yang menginginkan kalian berdua. Kamu dan Ardan. Aku tahu kalian berdua masih saling...," Aku tersenyum kecut lalu memotong kalimatnya dan berkata, "Kami sudah tidak memiliki harapan. Tensinya 110/80. Nanti rencana operasi sekitar pukul empat sore dengan dokter Maya. Sekarang puasa dulu sampai ada panggilan dari ruang operasi." #### 1 Oktober 2012 Satu bulan berkenalan dengan Ardan membuatku menemukan teman yang bisa diajak sharing. Pria 24 tahun itu memiliki kesamaan yang hampir mirip denganku. Selera musik,  makanan,  film,  hingga watak. Kadang kami bisa seharian penuh membahas hal yang tidak penting seperti bagaimana upil bisa terbentuk, mengkritik motorku yang selalu mogok ataupun suara motor CB miliknya yang memekakkan telinga hingga bagaimana cara makan mi dengan resep berbeda setiap hari. Yang membuatku terkejut setengah mati adalah ternyata dia masih membujang. Ardan sempat ngambek karena aku pernah memanggilnya bapak saat pertama kali bertemu. Awalnya aku tidak percaya hingga dia menunjukkan bukti KTP dirinya. "Aku ini masih perawan,  Mel. Masa kamu panggil aku bapak sih!" "Lha,  salah sendiri tampangmu kayak bapak-bapak, hahaha... " Mulut Ardan mengerucut lalu dia mengacak rambutku dengan gemas. "Anak itu ponakanku. Namanya Raditya dan dia emang suka ngikutin aku kemana-mana." "Kenapa dia manggil kamu Maman?" "Oh itu,  dulu pas dia masih usia berapa ya,  dia manggil Maman, kata Ibuku artinya paman." Selain itu kami memiliki panggilan tersendiri. Dia memanggilku penyu karena tubuhku yang pendek tapi wajahku masih unyu meski usia sudah 23 tahun. Sedangkan Ardan kupanggil Om bebek karena dua minggu setelah chat di aplikasi line,  dia memanggilku dengan sebutan 'beb'. "Bab beb bab beb,  emang aku bebek," kataku kesal saat dia membawakanku makanan ke apotek. Hingga pada hari Sabtu tanggal 6 Oktober,  Ardan mengajakku kencan untuk pertama kalinya. Gugup?  Tentu. Ini kencan pertama setelah lima tahun aku memutuskan untuk fokus pada diri sendiri setelah patah hati. Selesai shift pagi di apotek,  Ardan menjemputku dengan motor andalannya. "Bisa naik?" tanyanya dengan tatapan mengejek. Aku menggeleng sambil merengut. Bagian jok belakang motor CB150R milik pria bermata lentik itu cukup tinggi bagiku. "Pendek sih," ejek Ardan membuatku melototi dirinya. Dia terkekeh sambil menurunkan pijakan di belakang kaki kirinya lalu mengulurkan tangan kirinya padaku. "Ayo aku bantu naik." Kupegang tangan kirinya sebagai tumpuan di tangan saat kaki kiriku memijak pijakan itu. Dia pun melajukan motornya meliuk-liuk menerobos beberapa pengendara lain membuatku merinding. Waktu itu aku tak berani memeluk pinggangnya, alhasil aku hanya berpegangan pada besi pembatas jok dibelakang pantatku. Ardan membawaku ke warung tempe penyet untuk makan malam. Meski sederhana tapi terasa istimewa saat dia menceritakan pengalaman kerjanya di salah satu bengkel milik perusahaan motor Indonesia yang tak jauh dari warung ini. "Awal aku kenal rokok ya di sana. Gara-gara sering disuruh beli rokok sama temen-temenku. Lagian servis motor tanpa rokok rasanya nggak enak." "Jangan merokok di depanku," pintaku. "Aku agak sesak karena asapnya." Dia mengangguk. "Makanya hidung tuh mancung kayak aku biar nggak sesak. Hidung pesek terlalu hemat oksigen sih." Refleks kuinjak kakinya karena kesal. Kadang ingin rasanya aku menyumpal mulut Ardan jika mengejek bentu hidungku atau tinggi badanku sebagai ocehannya. Aku merengut namun Ardan selalu berhasil menaikkan mood-ku ketika dia mengusap rambutku dengan kasih sayang. #### Semua ingatan yang terjadi di antara aku dan Ardan rasanya seperti baru kemarin terjadi. Namun kini semua berbeda,  kami berdua duduk berhadapan di kantin rumah sakit di jam makan siang dalam keheningan dan atmosfer yang begitu membekap d**a, hingga bernapas pun rasanya tak nyaman.  Pada akhirnya, Ardan meminta ijin mengajakku sekadar makan siang sembari menanyakan kabar. Aku menunduk sambil mengaduk semangkuk soto ayam yang masih mengepul panas dengan tak minat. Kedua mataku tidak berani menatap dirinya karena setiap kali kami saling memandang pasti ada luka yang dulu membuat kami sama-sama hancur. Bedanya,  Ardan kini lebih tenang dan dewasa daripada diriku. "Pekerjaanmu baik-baik saja kah?  Apa kamu masih betah di sini?" tanya Ardan. Kuremas tangan kiriku di bawah meja. Jika boleh,  rasanya aku ingin menulikan telingaku sekarang. Aku tidak ingin ada secercah perhatian darinya yang menghancurkan dinding pertahanan yang kubangun untuk melupakan dirinya hampir empat tahun ini. Sebagai ganti jawaban, kuanggukan kepala padanya. "Kamu?" "Aku masih seperti ini." Kuintip dirinya dari balik bulu mataku. Seperti apa maksudnya? Apa dia ingin bilang bahwa dia belum bisa melupakanku? Melupakan hubungan kami? "Kamu sudah lebih baik dari terakhir yang aku lihat, Mel," katanya. Aku mendongak menatap wajahnya tak suka. Jika bisa,  aku ingin mengeluarkan semua unek-unek perasaanku padanya, bagaimana hancurnya diriku setelah kami berpisah. Butuh waktu lama hingga aku benar-benar seperti ini dengan memasang topeng di depan semua orang bahwa aku baik-baik saja. Tidak. Aku tidak pernah baik-baik saja. Namun apa dayaku,  saat batin dan otakku saling melempar umpatan mana yang lebih pantas diucapkan kepada Ardan. Hingga hanya anggukan kepala yang bisa kulakukan. Aku pengecut. "Apa kamu ...," Ardan menggantungkan kalimat sejenak sambil melahap soto ayamnya. "Apa kamu ... tidak keberatan jika aku mengajakmu pergi keluar nanti malam atau saat kamu libur kerja?" "Untuk apa?" Aku mulai gelisah. Aku tahu dia sedang mempermainkan dinding pertahananku. Kuletakkan sendok dengan tak nafsu. Selera makanku hilang. Pikiranku sedang diajak oleh pria berbibir tipis itu untuk menerka apa yang akan terjadi nanti. Terutama ke mana hubungan ini akan berakhir. "Aku ingin kita berteman,  Mel. Tidak enak jika kita merasa seperti orang asing." "Memang. Bukankah kamu bilang lebih baik menjadi orang asing yang tidak menaruh harapan?" Ardan terdiam menatap biji mataku. Tangan kanannya mengusap wajahnya dengan gusar. Dia menarik seulas senyum tipis. "Aku tahu. Hanya saja ... ini berbeda. Aku murni ingin berteman denganmu." Dia masih sama. Suka menarik ulur perasaan seorang perempuan. Namun hatiku memberontak ingin mengiyakan ajakannya karena ada secuil rindu yang masih tersimpan. Tapi tidak dengan otakku yang menyuruh untuk menolak karena tahu aku bakal tersakiti lagi. Aku terdiam menimang kedua pilihan ini. Melihat Ardan membuatku ingin mengulang apa yang dulu kami lakukan. Tapi di sisi lain,  aku tidak ingin kami berdua tersakiti dan saling menghancurkan seperti dulu.  Kedua mata Ardan menatapku menanti jawaban sedangkan bibirnya menggumam sesuatu yang tak jelas. Apakah dia berharap juga? Apakah waktu memang menginginkan kami kembali bersama? "Aku ... mau." Senyum tipis terukir di bibir Ardan yang membuatku ikut tersenyum. Sisi lain dalam diriku mengejek bahwa pilihanku kali ini salah. "Aku hanya mencoba menjadi teman. Dan teman tidak harus menjadi pasangan kan?" gumamku pada diriku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD